02

236K 14.6K 163
                                    

"Morning." Davin mengecup dahi Ara yang baru saja membuka matanya, padahal hari sudah mulai siang. Gadis itu belum terbiasa dengan waktu di negara ini.

"Morning." Ara membalas dengan mengecup rahang Davin. Kemudian ia beranjak untuk membersihkan dirinya yang lengket akibat semalam langsung tidur.

Keluar dari kamar mandi, Ara tidak lagi melihat keberadaan Davin di dalam ruangan itu. Dengan hanya menggunakan bathrobe, Ara keluar kamar untuk mencari sang kekasih. Ia ingin bertanya dimana cowok itu menaruh kopernya.

"Dave..." Panggilnya yang kesekian kali.

"Dave! Kenapa nggak nyaut?" Ara menemukan lelaki itu duduk di depan televisi yang menyala.

"Apa?" Balas Davin menarik tangan Ara untuk duduk di pahanya.

"Koper aku dimana?"

"Disana." Davin menyingkir rambut Ara yang masih basah ke samping agar tidak menghalangi bibirnya untuk mengecup leher putih Ara.

"Disana mana?" tanya Ara karena Davin hanya mengatakan 'disana' tanpa menunjuk arah manapun.

"Dave." panggil Ara lagi saat Davin semakin menjadi menciumi lehernya.

"Di kamar, Sayang."

"Nggak ada."

"Kamar satunya." Davin berdecak kesal saat Ara menghindari ciumannya.

"Diem dulu bisa nggak?"

Ara memajukan bibir bawahnya mendapat teguran itu. "Mau ganti baju ish!"

"Nanti!" Sentak Davin dan kembali menenggelamkan wajahnya di lipatan leher Ara. Wangi tubuh Ara bagaikan candu baginya.

**

"Dave, jalan-jalan..." Ara merengek kepada Davin yang sejak tadi mengurungnya di kamar.

"Dave"

"Shut up!" Davin menggigit pipi Ara membuat perempuan itu meringis.

"Pengen keluar." Ara membingkai wajah Davin saat lelaki itu hendak menciumnya lagi.

Davin bangkit dari duduknya. "Sana keluar. Abis itu jangan balik kesini lagi!" Davin pergi meninggalkan kamar dengan cukup keras membanting pintu.

Ara menghela nafasnya. Begitulah tipikal seorang Davin Caldwell Smith. Galak, keras kepala dan egois.

Ara menyusul Davin yang berdiri di depan lemari pendingin. Cowok itu hendak mengambil ice cream choco mint favoritnya.

Ara datang dengan memeluk Davin dari belakang. "Nggak jadi keluar. Mau sama kamu aja."

Davin melepaskan tautan tangan Ara yang berada di perutnya. Kemudian cowok itu pergi begitu saja meninggalkan Ara yang lagi-lagi menghela nafas.

"Dave, baru sehari ketemu masa udah marahan sih?" Ara berusaha mendekati Davin lagi yang sekarang sudah duduk di depan televisi.

"Kamu yang mulai." ujar cowok itu dingin.

Ara tersenyum berusaha ikhlas atas tuduhan Davin tadi. Iya-in saja dari pada tambah marah.

"I'm sorry, babe." Ara memeluk Davin dari samping. Hingga tak lama kemudian ia merasakan kecupan di puncak kepalanya.

Seharian ini mereka habiskan dengan mendekam di kamar Davin. Mereka keluar apartemen hanya untuk brunch di bistro terdekat. Selesai makan, Davin langsung mengajak Ara untuk pulang ke unitnya.

"Dave, kita nggak kerumah orangtua kamu? Aku mau nyapa mereka."

"For what? Besok ketemu."

Ara menyetujui ucapan Davin. Mereka akan bertemu di acara wisuda yang berlangsung besok.

"Oh iya, Kak Malvin-"

"Stop panggil dia Kak! I don't like it."

Ara lupa jika kekasihnya sangat pencemburu. "Okay. Malvin nitip pesan katanya kamu disuruh buka blokirnya. Kamu blokir nomor dia?"

Davin menatap Ara dengan menyelidik. "Did you met him? You two?"

"No!" Ara tidak menyangka Davin akan bertanya kearah sana. "Kita ketemu pas Malvin jemput Kayana di kampus."

Davin kemudian mengangguk paham. "Kalo dia nggak spam stiker sialan juga nggak bakal aku blokir."

Ara terkikik membayangkan ekspresi Davin saat si jail Malvin mengirim puluhan stiker konyol.

**

Acara inti telah usai. Davin resmi mendapat gelar MBA di jenjang S2 ini. Di usianya yang masih 24 tahun, lelaki itu sudah mapan tentang masa depannya. Yang paling membuat Ara kagum adalah Davin termasuk mahasiswa lulusan terbaik tahun ini. Ara bahkan sempat mengabadikan momen dimana Davin memberikan speech singkat.

"Hebat banget pacar aku." Ara menyerahkan sebuket rainbow rose kepada Davin. Dengan bibir melengkung, Davin mengecup tepat di bibir Ara. Kemudian keduanya tersenyum.

"Good job, Lil Bro!" Daren maju untuk memeluk adiknya. Sebagai Kakak ia bangga.

"Thanks." Walaupun merasa geli, namun Davin tidak ingin menghancurkan suasana ini. Ia pun dengan terpaksa membalas pelukan Daren.

Berganti dengan sang Ayah, "What an achievement! You deserve it, son!"

Davin membalas pelukan Jackson. "Thanks Dad. I feel superior right now." Dan keduanya tertawa.

Rasanya Davin ingin menangis melihat sang ibunda. Entah kenapa, matanya tiba-tiba memanas melihat tatapan Mommy-nya yang memancarkan betapa beruntungnya wanita itu memiliki anak sepertinya.

Tanpa di suruh pun Davin langsung memeluk sang bunda dengan erat. "Mom, Dave berhasil."

Elusan lembut Davin rasakan pada rambutnya yang sebagian tertutup toga. "Anak Mommy hebat semua." Di akhiri dengan kecupan di kedua pipi Davin.

Ara bahkan menitikkan air mata yang langsung ia usap melihat interaksi Davin dengan keluarganya. Ah, sayangnya ia tidak dapat melihat Leo, anak Daren yang menurutnya seperti boneka itu. Karena Daren yang menyuruh Jennifer untuk berada dirumah saja, mengingat anaknya yang masih kecil.

"Heyyo... Kapan fotonya?" Daren mengangkat kamera yang menggantung di lehernya.

"Fotoin! Gue sama Ara dulu." Tanpa menunggu aba-aba Davin langsung menarik Ara dan memeluknya erat.

Kedua orang tua Davin tertawa melihat seberapa bucinnya anak bungsu mereka. Berbeda dengan Ara yang langsung mencubit lengan Davin. Ara merasa tidak enak dengan kedua orangtua Davin. Seharusnya Davin berfoto bersama keluarganya dulu. Bukan dengannya seperti ini.

Beberapa pose sudah tersimpan rapi di kamera Daren. Begitupun dengan foto dengan keluarga Davin.

Setelah acara selesai, Jackson mengajak mereka untuk lunch di salah satu restoran yang menyediakan Asian food. Lelaki paruh baya itu sudah rindu dengan makanan Indonesia karena sudah hampir setahun berada di tanah kelahirannya tanpa pulang ke tanah air istrinya.

D AND A [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang