Seminggu sudah lepas dari masalah pertengkaran di toko baju hari itu. Tidak ada penyelesaian pasti antara Ara dan Clara. Semenjak hari itu, Ara tidak pernah lagi mendengar atau melihat batang hidung Clara.
Semua itu karena ada Davin dibaliknya. Davin, pria itu sudah meminta agensi yang menaungi Clara untuk memindah kerjakan Clara ke luar negri. Lebih tepatnya Clara di tugaskan untuk menjadi pemeran pendukung di salah satu drama luar. Ia memulai karir aktrisnya.
Saat ini, Davin dan Ara pun sedang berada jauh dari rumah. Sepasang suami istri itu sedang berada di sebuah hotel bintang 5 yang berada di Jogjakarta.
Awalnya, Davin hendak menghadiri acara yang berada di kota itu selama 2 hari. Namun karena Ara yang tidak mau ditinggal, akhirnya Davin memilih untuk membawa serta istrinya. Dari yang rencana hanya 2 hari, kini mereka sudah 4 hari berada di kota istimewa itu.
Mereka kini tengah bersantai di sebuah kamar hotel.
"Ra, kenapa nggak pernah cerita masalah Clara ke aku? Bahkan nyuruh yang lain buat nggak bilang apa-apa ke aku." interogasi Davin.
Ara mengerjap, tiba-tiba saja Davin bertanya setelah masalah selesai beberapa hari lalu.
"Ya-- aku... takut."
"Apa?"
Ara menunduk, "takut."
"Takut kenapa, Sayang?" Davin mendekat.
"Takut buat kamu kepikiran."
Davin menangkat wajah Ara yang sejak tadi menunduk. "Gimana nggak kepikiran kalo istri aku di perlakuin nggak baik kaya gitu sama orang lain? Hm?"
"Aku juga takut kalo kamu ambil tindakan gegabah kalo kamu tau."
"Seumpama aku tau, kamu bakal nyuruh aku diem aja gitu? Iya?"
"Ra, kamu itu udah di fitnah macem-macem bahkan dia udah jahat ke kamu. Kamu korban, Sayang, kenapa masih mikirin pelakunya sih?" Kesal Davin dengan sikap baik Ara.
"Aku tau dia jahat. Tapi nggak harus di bales jahat juga. Kadang aku ngerasa jahat juga kalo inget aku udah nampar dia waktu itu..." ujar Ara mulai melirih.
"Ini kamu yang terlalu baik apa malah bego sih?"
"Kok gitu?!" teriak Ara sebal karena Davin mengatainya bodoh.
"Ya mana ada orang segitu baiknya kalo nggak kamu. Terlalu baik juga nggak bagus, Sayang."
"Iya."
"Iya-iya doang bisanya."
***"Mampir kerumah Oma yuk."
"Buat apa?"
Dengan gemas Ara mencubit lengan suaminya, "kok buat apa sih?"
Davin tidak terganggu dengan cubitan serta merta wajah kesal yang Ara tampilkan. Ia masih tetap memakan salad buah yang ia inginkan sejak kemarin.
"Males ah"
"Nggak boleh gitu ah!"
Davin mendadak menyuapi Ara dengan buah pir yang tercampur dengan saus saladnya. "Emang kamu udah siap kena roasting lagi?"
Ara mencebikkan bibir dengan mengunyah.
"Nggak usah kesana nggak apa-apa. Lagian keluarga disini nggak ada yang tau kalo kita disini."
"Itu masalahnya..."
Davin mengerutkan dahi, "masalah apa?"
Ara mendekatkan badannya ke Davin, lebih mepet. "Tadi waktu kita beli baju itu, aku nggak sengaja ketemu Tante kamu sama Gaga. Terus, mereka nyuruh aku mampir."
"Lah?" Davin mengerutkan dahi. "Kok kamu nggak cerita?"
"Ini udah cerita..." Ara tertawa manis dibuat-buat serta menggit bibir bawahnya.
Davin menahan nafas melihat Ara yang bertindak seperti itu. Apalagi ada bercak saus salad diujung bibir Ara, membuat nafsu liar Davin meronta.
Davin meletakkan box saladnya ke meja kecil samping ranjang. Kemudian ia mendorong Ara hingga terlentang. "Dua ronde dulu abis itu kesana."
Bukannya menolak, Ara kini malah sudah membuka kancing atasnya, menggoda Davin yang sudah berkobar nafsu.
"Yakin cuma dua?" tanya Ara dengan suara tertahannya.
Dan pertanyaan itu semakin membuat Davin menggila.
***"Ck, kan aku tadi udah bilang kalo jangan buat di leher!!!"
"Ya mau gimana lagi?" balas Davin tanpa rasa menyesal. Sejak tadi ia hanya memperhatikan Ara yang mencak-mencak di depan kaca.
"Kamu tuh, di bilangin jawab aja! Emang kalo udah nafsu udah nggak waras kamu, Dave."
Davin menghela nafas secara kasar, "ya terus kamu mau aku gimana sekarang? Lagian tinggal tutupin pake make-up kamu kaya biasanya kan bisa! Nggak perlu marah-marah nggak jelas kaya gini!"
Ara menatap Davin dari cermin di depannya. Bibir bawahnya maju dengan pandangan menahan tangis dan marah.
"Biasa aja mukanya! Nggak usah ribet jadi perempuan."
Ara melengos, menuju kamar mandi untuk menyembunyikan tangisnya. Akhir-akhir ini ia sangat cengeng. Mendekati tanggal haid.
"Mau beli sesuatu dulu nggak?" tanya Davin saat mereka dalam perjalanan menuju rumah Oma yang jaraknya lumayan dari lokasi hotelnya.
Ara mengangguk saja. Ia masih dalam mode ngambek.
"Beliin apa enaknya?"
"Oma kamu suka apa?"
"Ya mana aku tau." Lagipula Davin tidak terlalu dekat dengan Omanya.
"Beliin makanan aja. Sama pajangan apa gitu biar nggak tangan kosong."
Davin mengangguk. Ia membuka google maps untuk mencari toko yang menyediakan pajangan klasik.
Sepuluh menit kemudian mereka sampai.
Saat memasuki toko, Ara dibuat takjub dengan produk yang mereka jual. Sangat-sangat memanjakan mata.
Matanya langsung tertuju pada sebuah pajangan berbentuk rusa jantan yang berlapis warna silver mengkilap. Ukurannya yang tidak terlalu besar maupun terlalu kecil membuat pajangan itu menjadi pilihan Ara.
Hanya menghabiskan sepuluh menit untuk membeli barang itu.
Mereka lanjut untuk membeli makanan. Ara yang menyuruh, karena ia rasa membawa benda ini saja tidak cukup.
Tiga puluh menit kemudian mereka sudah dalam perjalanan menuju rumah Oma. Dengan barang bawaan serta makanan yang akan mereka berikan sebagai buah tangan.
"Kenapa jutek gitu?" tanya Davin melirik.
"Nggak apa-apa." balas Ara berusaha menormalkan perasaan jengkelnya.
"Nggak apa-apa." tiru Davin dengan suara mengejek.
***vote and komen juseyo
KAMU SEDANG MEMBACA
D AND A [END]
RomanceKisah sebuah pasangan kekasih yang memutuskan untuk menikah dan membina rumah tangga mereka. Sikap sang lelaki yang bossy dan si perempuan yang penurut. Sangat cocok bukan? *** "Koper aku dimana?" "Disana." Davin menyingkir rambut Ara yang masih ba...