27

95.2K 6K 178
                                    

"Tau nggak sih? Abis dari ruangan kamu tadi siang, aku ada ketemu sama orang." Curhat Ara pada Davin.

"Ya kamu kan nggak buta, Yang."

Ara dengan gemas mencubit perut Davin. "Maksud aku nggak gitu Dave!"

"Ya terus gimana?!" Tanya Davin menaikkan suara. "Sakit Ra!"

Ara memajukan bibir bawahnya, ia mengelus perut Davin yang tadi ia cubit. Kepalanya masih setia ia rebahkan di dada Davin yang sudah telentang di ranjang.

"Maksudnya tuh, tadi aku di tegur sama orang. Cewek, mukanya masih muda sih, tapi umurnya udah 30an deh kayanya."

"Sotoy!" Davin mengapit pipi Ara diantara jari telunjuk dan jempol yang ia tekuk.

"Serius ih! Tadi dia juga sempet ngomong gini 'mbak, ini kantor ya bukan pasar loak'" cerita Ara dengan menggebu-gebu.

Reaksi Davin mengelus rambut Ara sambil menahan tawa. "Terus?" tanyanya.

"Ya aku diem aja sih, yang paling buat aku gregetan itu waktu dia ngira kalo aku pembantu kamu masa!?" Ara mengangkat kepalanya serta badannya hingga kini ia seperti menindih Davin.

Davin menipiskan bibir, berusaha untuk tidak tertawa saat melihat wajah Ara yang sangat kesal. Davin membingkai pipi Ara dengan kedua tangan besarnya.

"Kamu nya diem abis di bilang gitu?"

Ara mengangguk dengan pipi yang masih Davin bingkai. Benar-benar menggemaskan bagi Davin.

Davin mencuri kecupan tepat di bibir Ara. "Kenapa nggak bilang kalo istri aku sih???" Ia menguyel-uyel pipi Ara dengan bibir menipis menahan gemas.

"Akunya nggak berani."  Adu Ara pada Davin.

"Emang pernah kamu berani? Ara...Ara... lagian baju kamu kaya gitu sih Yang." Davin menggelengkan kepala.

Ara merasa tersinggung dengan ucapan Davin. "Ya udah sih, besok aku ke kantor kamu pake gaun kalo gitu."

"Nggak gitu Sayang." Davin menggapai badan Ara yang menjauh.

Ara masih terdiam dalam pelukan Davin. Mereka saling berpelukan dengan posisi miring.

"Besok ada pesta penyambutan dari kantor. Mau ikut nggak?" Davin memainkan rambut panjang Ara dengan jari-jarinya.

"Pesta?" ulang Ara. Davin mengangguk.

"Dimana?"

"Di resto sih. Bukan pesta, apa ya... ya cuma acara biasa dari petinggi-petinggi kantor buat lebih kenal sama aku." Davin menjelaskan dengan bahasanya.

Ara menimbang, jika ia ikut, maka ia akan bosan karena tidak tau apa yang mereka bahas. Jika tidak ikut, Ara takut akan ada perempuan yang menggoda Davin.

"Ikut nggak?"

"Ada ceweknya?"

"Nggak tau Yang. Kan baru besok acaranya."

Ara membulatkan bibirnya. "Nggak ikut. Dirumah aja hehe..." Ara memberikan senyum manisnya saat melihat wajah kesal Davin.

**

"Nanti siang aku kesana lagi. Kali ini pake baju bagus deh biar nggak dikira pembantu kamu lagi." Ara mencium punggung tangan Davin.

Davin mengangguk, ia kemudian mencium lama dahi Ara. Kemudian melenggang pergi.

Setelah kepergian Davin, Ara bergegas mencuci piring kotor selepas sarapan tadi. Setelah nya, ia berencana untuk membersihkan debu-debu yang menempel di setiap titik rumahnya.

Ara yang awalnya ingin menggapai vacuum cleaner pun terhenti saat ponsel di sakunya berdering. Tertera nama Kayana disana.

"Kenapa Kay?" tanya Ara dengan ponsel di apit antara telinga dan pundak.

"Heh! Gue udah ada suami ya, yakali lo ajak nongkrong." Ara menggapai mesin penyedot debu itu dan menjalankannya.

"Ya lo lah yang kesini."

"Nggak tau gue, temen lo tuh kayanya udah betah banget di Jepang. Liat aja, bentar lagi pindah tempat tuh orang." Ara berbicara sambil menjalankan mesin penyedot debu.

"Ajak Elvan lah, buruan kalo mau main. Makan siang nanti gue ke kantor Davin soalnya."

"Yoi."

Ara melanjutkan pekerjaannya, ia juga membenahi letak-letak barang yang tersusun entah itu di meja atau sejenis guci di pojok ruangan.

Tepat saat Ara selesai dengan semua pekerjaannya, bel rumahnya berbunyi. Ia bergegas membukanya.

"Assa- MasyaAllah istri orang..." Elvan menyerobot masuk. Ia terpesona dengan Ara yang hanya mengenakan daster rumahan serta rambut yang di cepol asal.

"Sadar El sadar!" Kayana menggeret telinga Elvan, membawa lelaki itu menjauh dari Ara.

Ara tertawa sepanjang jalan mengikuti Kayana yang menggeret Elvan menuju ruang tamu.

Mereka berdua duduk sementara Ara mengambilkan minuman serta beberapa toples kue kering buatannya.

"Nih rumah jadi beda vibesnya Ra. Nggak kaya dulu." Kayana meneliti sekeliling ruang tamu. Semuanya sama seperti saat mereka masih pacaran. Tapi entah kenapa auranya berbeda dengan sekarang.

Ara menyuguhkan dua gelas air es dengan perasa di meja. "Namanya juga udah nikah."

Elvan memberengut di tempatnya. Ia mengambil sebuah kue kering dan mengunyahnya dengan kasar. "Kak Ara mah nggak mikirin perasaan gue."

Kayana berdecak, "drama banget anaknya Pak Jamal."

**

Siang ini Ara sudah sampai di loby kantor suaminya. Ia tidak perlu lagi bertanya kepada resepsionis terlebih dulu karena ia sudah mengetahui dimana ruangan Davin.

Ara berjalan menuju pintu berwarna hitam yang menjulan tinggi. Dimana itu adalah ruangan Davin. Ara langsung mengetuk pintu karena ia tidak melihat sekretaris Davin yang biasanya berada di ruang depan ruangan Davin.

Setelah mengetuk dua kali, Ara pun langsung membukanya. Dari pintu ia dapat melihat Davin sedang membahas sesuatu dengan sekretaris juga seorang perempuan di sana.

"Eh, maaf." Ujar Ara spontan dan hendak menutup pintu kembali.

Davin bergerak cepat dengan menghampiri Ara. Ia membawa Ara masuk dan menyuruh perempuan itu untuk duduk di kursi kebesarannya.

Tak berselang lama, perempuan tadi dan sekretaris Davin pun keluar. Davin menghampiri Ara dengan kemeja yang sudah ia gulung lengannya sampai siku.

"Kok udah selesai? Aku ganggu ya?" tanya Ara merasa tak enak.

Davin duduk di kursi depan mejanya. Berbanding terbalik, biasanya ia yang duduk di kursi yang Ara duduki sekarang.

"Bukan, kan emang udah jam makan siang." jelasnya membuat Ara lega.

"Tau nggak Dave? Perempuan tadi yang bilang aku pembantu kamu." Ara memajukan badannya dengan kedua siku yang bertumpu pada meja kerja Davin.

Davin membelalakkan mata, "serius? Stella yang ngomong gitu sama kamu?"

Ara mengangguk yakin. Siapa Stella?

Davin hanya mengangguk sebagai tanggapan. Hal itu membuat Ara geram. Dimatanya, Davin terlihat membela Stella Stella itu.

"Kok ngangguk doang?"

"Terus? Masa aku harus pecat dia gara-gara ngatain kamu pembantu?"

Ara mendengus tidak percaya dengan Davin. Harusnya Davin mengatakan kata kata penyemangat untuk Ara, atau setidaknya ia menegur Stella tadi.

"Nggak usah kaya bocah. Gitu doang baperan." Davin menggeleng kemudian ia membawa makanan yang Ara bawa ke sofa agar lebih memudahkan ia untuk makan.
***

vote and komen juseyo

D AND A [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang