29

96.2K 5.9K 225
                                    

"Dave, kamu tau kan kalo aku suka buat roti?" Tanya Ara memancing atensi Davin yang tengah sibuk dengan ipad di tangan.

"To the point, mau apa?" Davin bertanya tanpa mengalihkan pandangan.

Ara menarik nafas, kemudian ia mendekati Davin yang bersandar di sandaran ranjang. "Buka cafe yuk."

Davin menghentikan gerak jarinya lada layar ipad. Ia menatap Ara yang tengah menampilkan wajah menggemaskan, seperti biasa saat perempuan itu menginginkan sesuatu.

"Mabok kamu?"

Ara sudah menduga respon Davin akan negatif. "Dave, dengerin dulu. Kita ngobrol yuk." Ara masih berusaha dengan mengambil salah satu tangan Davin yang semula menyentuh layar ipad.

Davin pun menurut, ia mengamankan ipad nya terlebih dulu. Kemudian ia duduk berselonjor dengan tangan terlipat di bawah dada.

"Kan aku suka tuh buat-buat kue."

"He'em?"

"Terus kadang aku suka nganggur dirumah kan ya? Jadi, dari pada..."

"Jadi dari pada nganggur mendingan kamu buka cafe?" Potong Davin cepat.

Ara mengangguk perlahan begitu mendengar nada suara Davin yang nampak tidak setuju.

"Kapan kamu nganggur?"

"Abis kamu berangkat kerja aku nganggur, balik dari kantor kamu aku juga nganggur." Ara hanya menghitung hari dimana tidak jadwalnya mencuci pakaian.

"Dirumah banyak yang bisa kamu kerjain, Ra. Beresin gudang kek, bersihin kolam, ganti sarung bantal, bersihin loteng, beresin buku di ruang baca, kamu mau pel tembok juga bisa."

Ara sudah tertunduk lemas. Sudah tidak ada harapan lagi untuk mewujudkan salah satu impian kecilnya.

"Kamu tau kalo itu impian aku." Ujar Ara lirih.

"Tepatnya impian kamu sebelum nikah sama aku." Koreksi Davin.

"Padahal aku pengeeeen banget buka cafe kaya gitu. Sia-sia aku buat macem-macem kue selama ini."

Davin menatap Ara tidak suka. "Ya udah nggak usah buat. Lagian nggak ada yang nyuruh kamu buat Ra, nggak ada."

Ara terdiam. Kemudian ia merebahkan badannya memunggungi Davin yang masih duduk.

"Marah? Bukannya tadi kamu niatnya cuma minta izin buka cafe? Apa niat kamu emang mau kita berantem? Hm?"

Ara tak menggubris, perempuan itu memilih untuk menarik selimut hingga menenggelamkan seluruh badannya.

"Aku larang kamu juga ada alasan. Seumpama aku kasih izin, apa kamu bisa anterin makan siang setiap hari ke aku?"

"Bisa." Jawab Ara dari dalam selimut.

Davin tertawa mengejek. "Mustahil. Kamu bakal lupa waktu Ra. Apalagi kalo cafe kamu bakal laris, kamu bisa lupa kalo ada aku yang perlu kamu urus. Aku paling tau kamu gimana."

"Lagi pula kita nggak kekurangan Yang. Uang dari aku udah cukup, kamu nggak usah ikut cari uang-"

"Bukan masalah uang, itu impian aku Dave." Saut Ara yang masih tertutup selimut.

Davin membuang nafas kasar. "Percaya sama aku, kamu pasti bakal lupa sama segalanya kalo udah ada cafe. Aku nggak mau itu terjadi." Ucap Davin sebelum keluar kamar menuju ruang kerja di sebelah kamarnya.

Tengah malam Davin baru beranjak dari layar komputernya. Ia memasuki kamar dan melihat Ara yang masih bermain ponsel. Kemudian Davin berlalu menuju kamar mandi untuk bebersih diri.

Tak lama kemudian, Davin pun menyusul Ara yang rupanya sudah memunggunginya.

Seperti biasa, Davin selalu memeluk Ara jika tidur. Namun kali ini Ara menolak.

"Gerah ah, jangan peluk." Alibi perempuan itu.

Davin yang mengira masalah mereka sudah usai pun membuang nafas kasar. Ia tidur telentang dengan mata menatap langit-langit kamar. Ia melirik sekilas Ara yang masih memunggunginya.

"Terserah lah Ra. Kayanya kamu emang nggak niat minta izin dari awal. Tapi emang niat ngajak berantem. Suka banget kayanya berantem sama aku." Lagi-lagi Davin membuang nafas kasar.

"Mau buka cafe ya silahkan, aku larang juga kamu marah." Davin memiringkan tubuhnya memunggungi Ara. Dan inilah malam pertama dimana kedua sejoli ini saling tertidur memunggungi.

**

Banana pancake serta tak lupa susu coklat hangat dan coklat panas menjadi menu sarapan yang Ara pilih. Kali ini Ara sedikit lebih pagi saat mempersiapkan sarapannya dengan Davin.

Pagi pagi sekali Ara sudah bangun, entah kenapa dirinya merasa tidak nyenyak saat tidur semalam. Rasa bersalah pun menghampiri hatinya. Seharusnya Ara tidak memaksakan kehendaknya. Seperti yang pernah ia bilang dulu, ia akan bekerja jika Davin mengizinkan.

Ara ragu saat hendak membangunkan Davin. Ia merasa sedikit takut dan canggung. Lima menit Ara habiskan hanya untuk melamunkan apa yang harus ia lakukan sekarang.

Dengan nyali setipis tisu, Ara pun menuju kamarnya untuk membangunkan Davin.

Jika hari-hari sebelumnya ia akan mencium pipi Davin atau berbuat jail lainnya, maka pagi ini Ara hanya akan memanggil nama Davin. Harap-harap lelaki itu cepat bangun.

Ara menarik nafas panjang. Menguatkan nyalinya agar segera membangunkan Davin.

"Dave," panggil Ara pelan. Perempuan berumur dua puluh tahun itu berdiri di samping Davin tidur. Jaraknya lumayan jauh untuk membangunkan.

"Davin, wake up." Ucap Ara berbisik di tempatnya.

Ara  menggaruk rambutnya. Kemudian ia menggigit kukunya. Ara perlahan mendekat dan berdiri tepat di samping ranjang. Tangannya terulur untuk menggerakkan lengan Davin.

"Davin, bangun please..."

"Dave..." Ara terdengar seperti memohon. Dan untungnya berhasil. Davin membuka matanya.

Mata keduanya bersitatap, dengan gugup Ara membuang pandangan. "Aku udah siapin sarapan. Kamu mandi ya." Kata-kata yang selalu ia ucapkan setiap pagi, namun pagi ini ia sedikit gemetar mengucapkannya.

Tanpa sepatah kata Davin pun beranjak ke kamar mandi. Sepeninggalan Davin, Ara melakukan tugasnya untuk merapikan tempat tidur mereka. Setelah itu Ara mengambil kemeja, jas, celana kerja serta dasi yang akan Davin gunakan. Tak lupa kaus kaki dan sepatunya juga.

Ara menunggu Davin di meja makan. Selama menunggu, ia habiskan untuk melamun. Tak lama kemudian Davin datang dengan pakaian yang sudah rapi. Dasi kerja yang biasanya adalah tugas Ara pun sudah terpasang rapi.

Ara mendesah kecewa. Sepertinya Davin marah dengannya.

"Nanti siang aku ada meeting di luar. Nggak usah anterin makanan." Kalimat pertama Davin di pagi hari ini membuat mood Ara seketika turun. Entah Davin berkata jujur atau hanya sedang menghindarinya.

"Iya." Lirih Ara dan mencium punggung tangan suaminya.

Davin mengecup dahi Ara sekilas kemudian melenggang pergi. Ara menatap sedih kearah mobil Davin yang melaju meninggalkan pekarangan. Biasanya Davin akan menyempatkan untuk mencium bibirnya, walaupun hanya sebentar. Tapi pagi ini untuk mencium dahinya saja rasanya Davin tidak ikhlas.

Pikiran Ara terus menerus mengeluarkan pemikiran negatif.
***

vote and komen juseyo

next part gantian ara yang marah

D AND A [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang