07

158K 10.3K 311
                                    

Terhitung dua hari sudah sejak kejadian dimana Ara mendapat luka akibat mengejar Davin. Dan dua hari itu pula Davin tidak menampakkan wajahnya di depan Ara.

Sering Ara menelfon, mengirim chat, namun tidak ada balasan. Bisa saja Ara datang mengunjungi pacarnya itu, namun jadwal sidang yang semakin dekat mengurungkan niatnya.

Awalnya Ara berpikir jika menjaga jarak dari Davin akan membuat pikirannya fokus terhadap sidang kelulusannya. Namun ia salah besar, rasa rindunya memecah segalanya.

Sore ini Ara bertekad untuk datang menemui Davin. Ia akan meminta maaf dan mengakui semua kesalahannya. Bahkan ia akan mengakui apa yang bukan kesalahannya jika itu yang Davin mau. Lebih baik Davin memarahinya dari pada menghindarinya seperti ini.

"Dave" panggil Ara begitu nyaring. Gadis itu langsung memasuki rumah tanpa mengetuk.

Tidak ada sahutan. Rumah ini memang hanya Davin penghuninya. Davin tidak menyuruh stay pembantunya. Hanya datang saat pagi dan sore. Itupun hanya membersihkan rumah dan mencuci bajunya. Dan juga membuatkan sarapan di pagi hari. Setelah itu, Davin akan membeli makanan diluar atau biasanya menyuruh Ara untuk membawakannya makanan.

"Dave? Are you inside?" Ara mengetuk pintu kamar Davin. Tidak ada jawaban, Ara membukanya perlahan. Ara masuk, dan ia tidak melihat Davin dimana pun.

Ara berjalan lesu menuju arah dapur. Ia sudah bertekad akan menunggu sampai Davin pulang.

Saat Ara hendak membuka pintu kulkas, Ara mendengar suara kecipak air dari arah pintu di sebelahnya.

Ara tersenyum senang begitu melihat Davin yang ternyata sedang berenang. Ara berjalan menghampiri, ia duduk di pinggir kolam dengan kaki yang ia celupkan kedalam air.

Menyadari kedatangan manusia lain di sekitarnya, Davin menoleh. Ia melihat Ara tersenyum padanya. Entah itu hanya halusinasi atau nyata, yang pasti Davin akan tetap mengabaikan.

"Dave." Panggil Ara membuat Davin berspekulasi jika itu nyata.

Davin terus berenang tanpa mempedulikan kedatangan kekasihnya. Hingga dirinya lelah, Davin pun menepi.

Davin mengambil handuk yang Ara sodorkan padanya. Ia berjalan dan duduk di kursi dekat kolam tanpa menyapa atau melirik Ara.

"Masih marah sama aku?" tanya Ara yang ikut duduk di kursi sebelah. Berbatasan meja bundar.

"Nggak ada yang marah tuh." Davin menjawab tanpa menatap Ara. Tangannya masih sibuk mengeringkan rambut.

Dengan cekatan Ara pun bangkit, ia merebut handuk itu dari tangan Davin. Kemudian dengan lembut ia mengeringkan rambut Davin.

"I'm so sorry. Maaf kalo waktu itu aku ngomongnya kelewatan. Maaf juga kalo aku pergi tanpa ijin kamu." Ara berucap dengan tangan yang terus mengusap pelan rambut Davin.

"Nggak, kamu nggak salah. Aku nya aja yang terlalu ngekang-"

"Enggak, ish! Kamu nggak salah. Aku yang salah. Dave, huaa..." Ara duduk di pangkuan Davin dan langsung memeluk lelaki yang badannya masih setengah basah itu.

Itu lah sikap Ara, tidak tegaan. Dan Davin yang licik dengan memanfaatkan sikap Ara itu. Davin hanya berpura-pura menyalahkan diri agar Ara bersikap seperti tadi. Bukan tanpa alasan, jika Davin malas mengomeli Ara maka ini lah caranya menunjukkan emosinya.

"Bangun, nanti kamu ikut basah kalo gini." Davin menjawab dengan nada malasnya. Ia menunjukkan jika dirinya masih merajuk.

"Enggak mau hiks. Aku minta maaf. Forgive me, please."

Davin tersenyum mendengar ucapan Ara yang terdengar memohon. Dengan jail pun ia mempermainkan perasaan Ara lagi kali ini.

"Maaf buat apa? Lagian aku yang salah-"

"Enggak! Aku yang salah. Kamu nggak salah. Dave, maafin aku hiks. Jangan kaya gini! Jangan hindarin aku!" Ara mengeratkan pelukannya pada leher Davin. Tidak tahu saja jika si empu sudah tersenyum penuh kemenangan di belakangnya.

"Kayanya kamu lebih nyaman sama temen-temen kamu dari pada sama aku."

"Enggak, Dave! Enggak. Hiks, aku minta maaf, hiks..." Ara sesenggukan di leher Davin.

"Lepas dulu," Davin berusaha menarik Ara yang terus menempel di tubuhnya.

"Nggak mau, muka aku lagi jelek." Ara menggeleng dalam leher Davin. Rasa geli Davin rasakan.

"Emang pernah kamu cantik?"

Seakan tersadar, Ara pun melepaskan pelukannya. Benar juga, Davin selama ini tidak pernah memujinya cantik dengan inisiatif sendiri. Selalu Ara yang bertanya seperti 'aku cantik nggak? Udah cantik belum? Cantik kan?' dan Davin pun menjawabnya dengan berdeham singkat.

Ara mengusap air matanya saat ia melepas pelukannya pada Davin. Tangan dingin Davin pun turut mengusap kasar wajah Ara yang sudah amburadul.

"Jelek. Jelek banget."

Tentu saja Ara sakit hati mendengarnya. Apalagi itu Davin yang mengucapkan. "Iya, emang aku jelek. Maaf kalo jelek. Hiks..." Dirinya pun kembali menangis.

"Nangis lagi aku ceburin kamu ke kolam!" Ancam Davin membuat tangisan Ara terhenti. Sebab Ara yang tidak bisa berenang membuat cewek itu takut jika Davin benar-benar menceburkannya kedalam kolam.

"Sana masuk, ganti baju kamu." Davin mendorong tubuh Ara agar menyingkir dari atas pahanya.

"Sama kamu." Ara menautkan jari-jarinya. "Kamu juga basah. Ayo masuk!"

"Kamu duluan, aku mau-"

"Aku nggak mau ganti kalo kamu nggak ganti." Ara memotong ucapan Davin begitu saja. Ara takut Davin akan menghindari nya lagi.

"Ya udah. Ayo."

Ara mengganti bajunya di dalam kamar mandi, sementara Davin mengganti di kamar. Satu ruangan memang. Baju Ara juga beberapa memang ada di sini.

Ara keluar kamar mandi dengan baju tidurnya. Ia memutuskan untuk menginap disini. Ara menghampiri Davin yang duduk di pinggir ranjang sambil bermain ponsel.

"Aku nginep ya?"

Davin mengalihkan perhatiannya. Ia menatap Ara yang sudah memakai piama tidur. "Hm." Sautnya dan kembali menatap ponsel.

Ara memberenggut melihat respon Davin yang hanya berdeham. Biasanya cowok itu akan sangat excited jika Ara berkata akan menginap di lain malam Minggu. Namun kali ini sepertinya Davin tidak menginginkan keberadaan Ara.

"Boleh?" tanya Ara mencari perhatian. Namun naas, hanya anggukan yang ia dapatkan.

"Dave." Panggil Ara. Kali ini ia berhasil mendapat perhatian Davin.

Dengan cepat, Ara menempelkan bibirnya ke bibir Davin. Jika dengan cara biasa ia tidak berhasil, maka dengan cara nakal Ara lakukan untuk meluluhkan Davin.

Ara menggerakkan bibirnya, melumat bibir atas dan bawah Davin. Ara semakin mengganas saat Davin tidak merespon ciumannya.

"Dave." Rengek Ara melepas ciuman mereka.

"Laper nggak? Aku pesenin." Davin memperlihatkan ponselnya.

Ara mengangguk lesu. Davin masih marah padanya. "Nggak papa kalo kamu masih marah, tapi jangan hindarin aku lagi." Ara memeluk Davin dari samping.

Seperti kebiasaan, Davin mengecup puncak kepala Ara. "Udah nggak marah, Sayang."

D AND A [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang