Epilog

373 26 3
                                        

Selamat membaca kisah Langit

Katanya, untuk menulis sebuah cerita kamu harus ngerasain patah hati atau jatuh cinta.

Aku inget banget dulu nulis 'Langit' karena jatuh cinta. Cinta yang seharusnya nggak perlu dan kalo boleh jangan pernah ada.

Alasannya sederhana, jatuh cinta itu bukan perasaan bahagia. Aku nggak mau ngerasain itu.

Note; last part.

*****

Seperti tembakan melepas di kepalanya. seperti kehilangan sayap di ketinggian yang ia kira jatuhnya tak akan terasa sakit. Seperti itu juga harapannya pupus tak tersisa. Langit kecewa, kecewa akan semuanya.

Jantungnya terasa sesak. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Namun, ia bungkam. Ia hanya mampu terdiam. Tempat pemberhentian terakhirnya tak bisa ia pijak lagi. Setelah itu yang Langit dengar adalah panggilan namanya.

"Kak Langit."

Langit memejamkan matanya berharap apa yang dia lihat itu salah. Ia berharap saat membuka matanya adalah Arin yang berdiri di depannya dengan senyuman yang hanya di tujukan kepadanya.

Siapa lagi yang harus Langit percaya?

"Bila cinta ini tak nyata
Jangan engkau beri harapan
Sudah cukup kini kusadari
Terlalu cepat jatuhkan hati...."

Langit tersenyum pada langkahnya yang kini terasa tak ada artinya. Seputar lagu yang dinyanyikan salah satu siswa pensi di atas stage mengiringi arahnya. Seolah lagu itu adalah sindiran yang menyadarkan Langit betapa bodohnya dia saat ini. Saat di mana tepukan tangan para penonton seolah ikut merayakan kesedihannya.

Tunggu, sedih...?

"Apa itu sedih? Bahkan mati rasa sepertinya," lirih Langit.

"Arghhh!!!!!" teriak Langit di atas motor membelah jalanan ibu kota malam yang dipercantik oleh lampu-lampu malam di sisi kiri-kanan jalanan. Suasana malam ini benar-benar tidak mendukung perasaannya.

Entah ke mana dan berapa lama motornya melaju, Langit benar-benar merasa kesepian di bumi ini. Semua tak berjalan sesuai keinginannya. Semua terjadi begitu saja tanpa Langit sadari. Semua hal yang Langit rasakan adalah musuh terbesarnya dalam berharap. Langit sungguh lelah menghadapi sesuatu yang tidak bisa Langit tangani lagi.

"Le! Gilang nggak datang, lo mau maju?"

"Sial!"

"Kalo lo skip biar gue cari gantinya."

Leo tampak mengarahkan pandangan ke sekelilingnya di mana dia berada. Suasana tempatnya berkumpul tampak ramai tak seperti biasanya. Mungkin ini menjadi terakhir kalinya dia balap liar di masa sekolahnya.

"Lawannya mana?" tanya Leo.

"SMA Teladan."

"Dirga?" tanya Leo memastikan.

"Iya."

"Biar gue yang maju!" ucap seseorang menginterupsi.

Leo menoleh ke sumber suara dan terkejut saat mengetahui siapa orang itu.

"Mau ngapain lo di sini?" tanya Leo masih tak percaya.

"MANA LAWAN GUE? NGGAK ADA YANG MAJU, NIH!" seru Dirga menggeber-geberkan motornya tidak sabaran.

Tiba-tiba saja Langit sudah memposisikan motornya sejajar dengan orang yang baru saja berseru lantang. Dirga tersenyum puas setelahnya.

"Anak baru lo? Nggak pernah lihat gue." Senyum sinisnya tercetak jelas di wajahnya.

LANGIT [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang