Selamat membaca kisah Langit
"Kamu tanya aku jawab. Kamu diam aku tak akan mengatakannya"– Langit Argiosi.
"ARIN! ARIN! ARIN!"
Teriakan keras itu berasal dari luar kelas membuat Arin berdiri dan detik itu juga Gia muncul dari ambang pintu kelas dengan langkah sedikit berlari ke arahnya. Gia memanggil Arin dari luar kelas saking tidak sabarnya. Baru setelah berhadapan dengan Arin gadis itu mengatur napasnya membuat Arin mengernyit bingung.
"Lo kenapa teriak-teriak sambil lari gitu? Ada apa?" tanya Arin ikut khawatir melihat penampilan Gia terlihat berantakan.
"Iya, Gi. Ada apaan?" sahut Hanin menghampiri Arin dan Gia.
"Kak Leo berantem! Aduh pokoknya heboh banget Rin, Kak Leo berantem sama Hilda di koridor kelas sepuluh," jelas Gia.
"HILDA?" Arin terkejut mendengarnya. Tidak percaya lawan Leo memang orang-orang lemah yang tidak sebanding dengan kekuatannya, apalagi itu adik kelas yang dia kenal sewaktu gadis itu pingsan di lapangan. Leo memang sangat hina di mata Arin, cowok itu adalah jajaran nama yang ingin Arin musnahkan di kehidupannya.
Gia mengangguk. "Iya, tapi tadi Kak Langit datang terus mukul kak Leo sampai berdarah."
"Bagus dong," komentar Arin singkat. Tapi kenapa Gia sampai datang memanggilnya? Arin rasa hal itu sama sekali tidak ada kaitannya dengannya.
"Aduh Arin... kok bagus, sih? Hilda barusan pingsan terus dibawa ke UKS sama Saka!" Gia kembali menjelaskan apa yang terjadi dan kejadian langsung menjadi pembicaraan hangat di AHS.
"Saka? Bukannya... ah!" Arin tidak mampu melanjutkan ucapannya lalu berlari pergi ke UKS yang berada di lantai dasar. Dia meninggalkan Hanin dan Gia yang memanggilnya saat Arin tiba-tiba pergi. Arin tidak mempedulikan itu, dia terus berjalan menuju UKS.
Tidak jauh dari ruang UKS Arin melihat Langit duduk sendirian di kursi panjang depan ruang jurnalistik. Wajahnya terlihat murung, kedua tangannya saling bertautan antara kedua lututnya. Arin memperhatikannya dengan teliti dari kejauhan, dia tidak pernah melihat Langit seperti ini. Terluka yang disembunyikan. Entah bentuk luka apa itu, Arin tidak tau.
Arin berjalan menghampiri Langit. Niatnya ke ruang UKS jadi urung saat melihat sesuatu lebih menarik perhatiannya. Dia Langit Argiosi, seseorang yang berhasil membuat Arin berdebar tiap kali memandangnya.
"Kak Langit ngapain?" tanya Arin lembut lalu duduk di ujung kursi dengan Langit. Sengaja membuat jarak agar Langit tidak terganggu akan kehadirannya.
Langit hanya diam dan menoleh sebentar memandang Arin lalu kembali menunduk. Pandangannya kosong ke bawah menatap sepatunya sendiri.
"Kak Langit ada masalah?" Arin masih menanyakannya dengan hati-hati. Tidak mau terlihat mencampuri urusan Langit meski kini yang dilakukan Arin justru sebaliknya.
"Nggak usah sok peduli," jawab Langit pelan tanpa menoleh.
Arin menelan ludah sesaat. Nyatanya Langit memang terlalu jauh untuk digapai. Seberapa keras pun Arin berusaha, Arin yakin waktunya hanya akan terbuang sia-sia. Langit tak akan pernah memandangnya, tak akan pernah sama sekali. Sampai kapanpun itu, Arin harusnya sadar diri.
Jangan berharap atau lo malah terluka nantinya. Kata-kata itu terus bersuara keras di kepala Arin. Berharap saja tidak boleh, apalagi berjuang? Kalaupun terluka adalah konsekuensinya, Arin akan tanggung, Arin akan terima. Tidak peduli seberapa sakitnya itu. Arin rela memaksakan diri untuknya.
"Maaf kalau kedatanganku ternyata cuma ganggu," ujar Arin beranjak dari tempat duduknya. Nyatanya ucapan Langit mampu membuat nyali Arin menciut. Bagaimana Arin bisa melakukannya kelak?
Langit mendongak saat Arin sudah berdiri. "Duduk sebentar di sini," mohon Langit nada suaranya berubah lembut.
Dasar lemah! Langit memang hebat mengunci kendali tak kasat matanya. Arin akan menolak lalu pergi begitu saja dari hadapan Langit dan mengabaikannya. Arin ingin sekali melakukannya, tapi tubuhnya justru bergerak kembali duduk di tempat semula. Menuruti perintah Langit.
Diam, itulah yang dilakukan Langit dan Arin setelahnya. Keduanya hanya sibuk dengan pandangannya masing-masing. Sampai kemudian Arin memberanikan diri memulai pembicaraan karena jengah akan sikap diam Langit.
"Kak Langit sayang banget ya sama Kak Shea?" Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut Arin meski dia sendiri ragu mengatakannya.
"Kenapa?" tanya Langit, lagi-lagi singkat tanpa banyak kata.
"Nggak pa-pa, nggak usah dijawab. Nggak penting kok," kilah Arin tak mau memperburuk suasana. Untuk beberapa saat keduanya kembali diam. Suasananya terasa begitu awkward membuat Arin tadak nyaman.
"Gara-gara wallpaper kemarin?"
Arin terkesiap mendengar pertanyaan Langit. Tidak menyangka Langit akan membahas itu padahal Arin sama sekali tidak mengungkitnya. Arin tau tentang wallpaper di ponsel Langit, tapi yang dilakukan Arin hanya diam. Arin rasa itu bukan urusannya makanya Arin tidak mau ikut campur.
"Apa yang pengen lo tau?" tanya Langit lagi berubah dengan nada ketus. Arin menggelengkan kepala.
"Nggak ada," jawab Arin.
"Yakin?"
Arin mengangguk pelan. Pandangan keduanya saking bertemu membuat Arin mengalihkan tatapan matanya ke arah lain. Tidak berani menatap mata Langit.
"Kalau nggak ada gue juga nggak bisa jawab pertanyaan lo," tutup Langit lalu pergi dari hadapan Arin. Meninggalkan Arin yang tadi memintanya untuk duduk di sini.
Arin hanya bisa menerima perlakuan Langit kepadanya, selalu seperti itu. Arin tidak bisa menolak, Arin tidak sanggup membantah. Dia dikendalikan oleh ucapan Langit.
📖📖📖📖
Thank udah baca sampai bagian ini
Aku seneng banget mulai meningkat pembacanya, tapi kebanyakan sider semua :'(
Ya kan? Ngaku deh?
Nggak papa kok, kalian mampir ke lapakku aja aku udah seneng hehehe...Bantu 15 vote
Nggak banyakKomen juga perlu
Oke??????
See you next chapter
~ T B C ~
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT [OPEN PRE-ORDER]
Roman pour Adolescents"KOK, SEMALEM GUE MIMPI SAYANG SAMA LO, YA?" ~Arin "Jangan berharap, atau lo malah terluka nantinya." ~Langit Dia Langit. Langit terlalu jauh digapai Arin. Sikapnya yang dingin membuat Arin harus mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan b...