Selamat Membaca
Arin menarik napas sekali sebelum membuka pintu pagar depan rumahnya. Angin malam semakin menyeruak menyelimuti tubuh. Arin pulang bersama setengah kekecewaan ditemani heningnya malam sepanjang jalan.
Langkahnya gontai menuju depan pintu utama. Arin melebarkan matanya begitu melihat keberadaan seseorang di ruang tamu.
"Lo ngapain di sini?"
Pertanyaan Arin itu sukses menarik perhatian Anan dari layar ponselnya. Dia menoleh ke arah Arin.
"Main," jawab Anan singkat.
Arin tertanganga tak percaya bahwa orang yang tadi pergi bersama pacarnya kini sudah berada di rumahnya yang notabenenya ini pertama kalinya seorang Anan datang ke rumahnya.
"Main?" ulang Arin masih belum puas mendengar jawabannya.
Anan tersenyum tanpa arti melihat ekspresi wajah Arin. Mungkin cewek itu kaget kenapa sudah semalam ini dia datang ke rumahnya.
"Gak boleh?" balik tanya Anan.
"Ya tapi ada perlu apa?" desak Arin lagi.
"Main Rin, m-a-i-n. Lo tau definisi main?" kesal Anan heran melihat tingkah heroik Arin.
Tak ada jawaban lagi dari mulut Arin. Bungkam. Cewek itu hanya mampu menatap Anan dengan tatapan curiga penuh selidik. Tapi hal itu mengundang senyum Anan kian lebar.
Anan memosisikan duduknya senyaman mungkin lalu berkata, "Btw, rumah lo sepi ya?"
Nah! ini yang membuat Arin was-was. Arin harus memikirkan segala kemungkinan yang terjadi untuk waspada jika terjadi apa-apa. Arin mundur dua langkah sambil jari telunjuknya mengarah ke Anan.
"Lo jangan macem-macem ya," tajam Arin tak ingin terlihat takut.
Ucapan Arin sukses membuat cowok itu bertindak. Anan berdiri lalu melangkah perlahan demi perlahan ke arah Arin yang justru mundur beberapa langkah untuk menghindar.
Suasanan mencekam sesaat sebelum diledakkan suara tawa Anan yang lepas begitu saja.
"Lo takut sama gue?" tanya Anan.
"Gak!" jawab Arin cepat.
Anan bersender ke dinding menghadap Arin sambil terus memperhatikannya dengan senyum lebar.
"Minggir lo," usir Arin karena tubuh Anan hampir menghalangi akses dia menuju kamarnya.
"Gak," jawab Anan kalem, tapi justru mengundang kekesalan Arin.
Anan maju satu langkah mendekat ke arah Arin. Walaupun tatapannya tak semenakutkan tadi, Arin akan tetap waspada.
"Lo habis nangis?"
Arin refleks memegang wajahnya. Cewek berambut panjang itu tidak menjawab pertanyaan Anan. Apakah sesulit itu?
"Minggir!" kesal Arin mendorong tubuh Anan ke samping sehingga dia bisa melewati Anan berjalan menuju kamarnya.
"Padahal gue mau tanya soal tantangan gue," ucap Anan menyusul langkah Arin.
Cewek itu berbalik membuat Anan berhenti hampir menabrak tubuh Arin.
"Gue gak suka Langit!" tegas Arin tak ingin dibantah.
"Tapi tadi apa?"
Pertanyaan itu sukses membuat Arin terbungkam. Dia kembali diingatkan ucapan Langit dan juga cara Langit meninggalkan dia lalu membiarkan Arin pulang sendiri.
"Bukan urusan lo!" ketus Arin kembali berlalu.
"Iya sih, itu urusan lo sama Langit. Tapi yang bilang gak suka terus malah ketemuan berduaan itu namanya apa?"
"Gak sengaja!"
"Gak sengaja kok kebetulan."
Tarik napas, hembuskan. Tarik lagi, hembuskan. Ini sudah jam sembilan malam dan Arin harus dihadiahi cowok tengil kayak Anan begini rasanya kepala Arin hampir pecah sampai saraf otaknya putus-putus.
"Terus lo minta gue jawab apa?"
"Iya."
"Iya apa?"
"Iya lo janjian ketemuan sama Langit."
"Gue gak janjian," sangkal Arin.
"Tapi tadi ketemuan."
"Iya gue ketemuan Anan... tapi gue gak janjian," gemas Arin merapatkan giginya.
Anan tersenyum tanpa dosa.
"Ya udah lo tidur udah malem," ucap Anan dengan nada kalem.
Arin melongo menghadapi sikap Anan yang super ajaib, ngeselin, gemes, dan Arin merasa rugi sendiri kenapa wajah Anan harus seganteng itu dengan kelakuannya yang bikin Arin ikut kehilangan setengah kewarasannya.
"Udah gitu doang?"
Arin geleng-geleng kepala tak habis pikir. Rasa sedihnya menguap begitu mudah meski harus merasa sekesal ini karena Anan.
"Iya gitu doang, emang gue mau ngapain? Lagian tadi gue bawa makanan sama minuman sendiri. Cuma numpang duduk hehe...," kekeh Anan melebarkan cengirannya.
Cewek itu langsung menoleh ke arah meja. Di sana ada dua kaleng minuman soda dan beberaba cemilan lalu dia mengalihkan tatapannya ke Anan.
"Numpang duduk?"
"Iya," jawab Anan enteng tanpa rasa bersalah.
"Lo buat gue kesel bangke!"
"Santai kali Rin, beres ini gue pulang."
"Bodo amat! gue harap lo gak perlu lagi datang ke rumah gue," ucap Arin mulai emosi.
"Ini tuh yang pertama Rin. Jadi, lo harusnya sambut kedatangan gue. Orang ganteng gini malah lo sentak mulu dari tadi."
"Ganteng iya, otaknya kaleng kosong," cibir Arin berjalan menuju kamarnya lalu menutup pintu.
Anan menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian mengambil jaketnya lalu keluar dari rumah Arin. Mendengar suara deru motor, Arin membuka tirai jendelanya mengawasi kepergian Anan sampai tak terlihat.
Arin tersenyum sambil geleng-geleng kepada.
"Andai lo belum punya pacar, mungkin gue udah teriak-teriak sendiri kali ya," gumam Arin cengar-cengir sendiri.
📖📖📖
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT [OPEN PRE-ORDER]
Teen Fiction"KOK, SEMALEM GUE MIMPI SAYANG SAMA LO, YA?" ~Arin "Jangan berharap, atau lo malah terluka nantinya." ~Langit Dia Langit. Langit terlalu jauh digapai Arin. Sikapnya yang dingin membuat Arin harus mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan b...