Selamat membaca kisah Langit
//
"Lo...," ucap Langit menggantung.
Arin menelan ludah menunggu apa yang akan diucapkan Langit selanjutnya. Semoga keberuntungan berpihak padanya.
"Lo aneh," lanjut Langit membuat Arin bernapas lega.
Langit mengambil dompet Gerka yang tertinggal di meja kantin yang sekarang menjadi tempat duduk Arin dan kawan-kawannya.
"Gue cuma ambil dompet."
Arin mengawasi kepergian Langit dengan pandangan tidak percaya. Ia juga tidak menyadari jika tadi di mejanya ada sebuah dompet. Arin kembali duduk menatap kedua temannya.
"Serius dia gak denger?" tanya Gia setengah tidak percaya.
Arin mengangkat kedua bahunya tanda dia tidak tahu.
"Gak usah dipikirin," jawab Gia berusaha menenangkan Arin. "Anggap aja dia budek."
Arin kemudian diam. Ia menyantap nasi goreng yang baru saja diantar oleh ibu-ibu kantin. Seketika mood Arin menjadi buruk, ia kehilangan napsu makannya.
"Jadi, rencana lo apa?" tanya Gia memulai pembicaraan setelah keheningan yang tercipta.
"Gak tau. Gue gak ada bayangan sama sekali," jawab Arin malas.
"Gue heran," ucap Hanin tiba-tiba. Gadis berbadan kurus langsing itu menegakkan posisi duduknya setelah menyeruput minumannya hingga tersisa setengahnya. "Kenapa Anan punya pikiran yang kita sendiri gak nyadar kalo Arin suka sama Langit?"
"Gue gak suka Langit," tegas Arin cepat tanpa pikir panjang.
Memang itu kenyataannya. Arin tidak akan menaruh perasaan pada sembarang orang. Apalagi itu ketua OSIS yang dulu saat ia kelas sepuluh ditolak mentah ingin mendapatkan jabatan yang sama seperti Langit.
"Pacar lo dateng," seru Hanin berubah ceria ketika Saka menghampiri mereka.
"Permisi... orang ganteng mau duduk." Saka mengamati wajah Arin yang tampak murung. "Ngapain lo? Masih laper?"
"Kenyang."
Arin mendorong piring kosongnya lalu meraih tisu. Ia ingin segera pergi. Arin terlalu malas jika ada Saka di sekitarnya.
"Lo pulang bareng siapa?" tanya Saka membuat Arin menoleh.
"Mau nganterin pacar lo pulang?" balik tanya Arin.
"Boleh gak?" izin Saka kepada Arin.
Hanin terbahak geleng-geleng kepala. Entah kenapa dia selalu tertarik jika itu ada hubungannya Saka dan Arin. Dia juga melihat ada sesuatu yang dirahasiakan antara keduanya, tetapi sampai saat ini Hanin tidak tahu yang sebenarnya.
Waktu itu Hanin di kelas sendirian karena Arin sedang bersama Gia berada di kantin. Tidak tau kenapa waktu itu Hanin kurang semangat, jadi dia memilih diam di kelas.
Hanin yang duduk di bangku paling belakang berjalan maju hendak ke toilet, tetapi baru satu langkah dia menyadari jika ikat tali sepatunya lepas sehingga dia menunduk--membetulkan ikat tali sepatunya.
Suara derap kaki terdengar. Hanin berdiri melihat Saka yang tengah membuka tas milik Arin dengan gerakan celingak-celinguk takut jika ada orang yang mempergokinya.
"Ka! lo mau ngapain?" tegur Hanin mengagetkan Saka. Laki-laki itu terlihat menggakruk kepalanya yang Hanin yakini tidak gatal sama sekali.
"Dari kapan lo di sini?" balik tanya Saka gelagapan.
"Seharusnya gue yang nanya itu. Buka-buka tas Arin lagi," omel Hanin.
"Biasa lah... jangan bilang-bilang Arin ya."
Setelah mengucapkan kata terakhirnya, Saka bergegas keluar kelas. Ya, Saka sialannya Arin memang selalu jail kepada Arin, tetapi jailnya waktu itu membuat Hanin senyum-senyum sendiri karena ternyata Saka menaruh sebatang coklat ke dalam tas Arin. Merasa percuma jika dia mengatakan coklat itu dari Saka, sampai sekarang Gia hanya diam.
"Yaelah, kalian berdua kenapa gak pacaran aja sih?" tanya Hanin gemas melihat tingkah keduanya.
"Harusnya gitu ya?" Saka meminta pendapat.
Hanin mengangguk cepat berulang kali membuat Arin memutar bola matanya malas. Arin segera pergi sebelum mood-nya yang buruk menjadi lebih buruk.
"Doain aja," ketus Arin sakartis.
Gia terbahak, sedangkan Hanin pura-pura cemberut. Gia mengikuti Arin dari belakangnya meninggalkan Saka dan Hanin.
📖📖📖
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT [OPEN PRE-ORDER]
Novela Juvenil"KOK, SEMALEM GUE MIMPI SAYANG SAMA LO, YA?" ~Arin "Jangan berharap, atau lo malah terluka nantinya." ~Langit Dia Langit. Langit terlalu jauh digapai Arin. Sikapnya yang dingin membuat Arin harus mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan b...