34. Langit dan segala kerumitannya

986 68 1
                                    


Selamat membaca kisah Langit

Egoku mengatakan bahwa kamu tidak diharapkan. Tapi di dalam hati, kamu orang yang paling ku nanti—Langit Argiosi.

*****

"Diliatin aja nih, gak disamperin?" tanya Gerka menepuk bahu Langit. "Lo kalo gini terus kapan ada kemajuan?" lanjut Gerka kemudian merangkul Langit.

Langit hanya melirik Gerka tanpa berkomentar. Matanya kembali memperhatikan setiap detail interaksi antara Arin dan Anan. Seolah yang dilakukannya kali ini memang dirasa perlu. Entah atas dasar apa Langit memiliki pemikiran itu, dia hanya ingin tau sejauh mana hubungan Arin dan Anan.

"Yakin lo bakal lepasin apa yang udah lo liat? Nggak akan nyesel kayak yang udah lo lakuin ke Shea?" Gerka memberondong pertanyaan. Masih membicarakannya dengan baik-baik.

"Buat gue sekarang nggak penting," ucap Langit menoleh ke arah Gerka.

"Nggak pentingnya sampai kapan!?" tanya Gerka kepo.

Gerka tau selama penglihatannya kali ini Langit memang mulai menyimpan perasaan tersendiri untuk Arin. Dari cara memperhatikan cewek itu dari kejauhan, sampai cara menatapnya pun beda. Bahkan ketika Langit berinteraksi dengan Shea, Gerka tidak melihat pancaran sinar matanya seperti ini. Gerka tau Langit masih menyembunyikannya dengan baik.

Melihat Langit masih menutup rapat mulutnya Gerka kembali bersuara, "Lo kalau gak mencoba memulai kapan akan tau akhir?"

"Semua gak sesimpel apa yang lo omongin Ger, nggak semudah cara lo nyatain cinta ke Arin bulan lalu. Gue bukan lo," tekan Langit akhirnya bersuara.

"Tapi seenggak gue tau akhir! Gue gak perlu lagi berharap sama Arin. Gimana kalau gue nggak pernah memulai? Mungkin sekarang gue masih berharap kali."

Langit kembali diam untuk waktu sesaat. Tak ada yang salah dengan apa yang diucapkan Gerka. Langit tidak menyangkal kebenarannya, mungkin memang dialah yang terlalu pengecut. Langit selalu memiliki kendala seperti ini. Dia tau apa yang sedang terjadi, dia tau bagaimana menyelesaikannya, tapi dia tidak pernah tau bagaimana memulainya. Bukan tidak tau, Langit hanya tidak mau.

"Kalau lo suka, berjuang Lang." Gerka menepuk bahu Langit sebanyak dua kali lalu pergi meninggalkan Langit.

Apa yang diharapkan Langit dari sebuah perasaan? Langit terlalu membenci pada hal yang berkaitan dengannya. Hal yang membuat hidupnya mati rasa. Langit sudah terbelenggu dengannya, dalam kerumitan yang dia ciptakan sendiri.

"LEO BIKIN ULAH LAGI LANG!" teriak Gerka berlari ke arahnya.

"Sama siapa?" tanya Langit singkat. Dia sekarang sedang berjalan ke arah Gerka.

"Sama anak baru kelas sepuluh yang waktu itu gue kenalin ke lo," jawab Gerka berusaha mengingatkan ingatan Langit dan memutar jalannya menuju koridor kelas sepuluh.

Seketika Langit mengurangi laju jalannya. Kakinya terasa sangat berat untuk melangkah. Mungkin juga ada perubahan raut di wajahnya, tapi semoga Gerka tidak menyadarinya. Langit tau dia pasti akan berada di fase ini, namun kembali lagi pada pemikiran Langit. Meskipun Langit tau cara mengatasinya, apakah dia akan mencoba menghadapinya? Semua masih terlihat abu-abu.

"Masalah apa?" Langit masih berusaha tenang.

"Masalah keluarga," jeda Gerka. "Leo tau kalau Hilda anak dari bapak tirinya, tapi Leo nggak terima gara-gara Hilda nyari bokapnya sampai datang ke rumahnya."

Langit mengepalkan kedua tangannya sampai otot-otot di lengannya terlihat. Rahang cowok itu mengeras, apalagi ketika Gerka menyebut namanya. Sebisa mungkin Langit menahan diri agar emosinya tidak meluap dan menjadi-jadi karena amarahnya bergejolak.

"Duluan Lang, gue mau ke toilet." Gerka kemudian berlari memunggungi Langit tanpa perizinannya meninggalkan Langit begitu saja.

Langit memutar langkahnya. Dia berjalan ke arah tangga lain menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Nyalinya terlalu ciut untuk ikut campur.

"Kenapa balik? Nggak jadi nyamperin lo?" Suara dari belakang tubuh Langit membuat cowok itu menoleh ke belakang meski dia tau siapa pemilik suara itu.

Langit hanya diam, selalu seperti itu.

"Lo lihatlah bentar, kali ini gue serahin semua ke lo," bisiknya pelan lalu tersenyum penuh arti.

Lagi-lagi Langit hanya mengepalkan tangannya tanpa bertindak. Kali ini Anan berhasil membuatnya tak berkutik. Mungkin ini memang saatnya menunjukkan kepeduliannya kepada Hilda, namun Langit masih beradu dalam kegelisahan.

"Gue bisa bantu, tapi gue paling males kalau udah berurusan sama Leo," jujur Anan kenapa dia menyerahkan tugas ini kepada Langit. Bagaimanapun juga itu memang tugas Langit.

Tanpa kata-kata akhirnya Langit mengalah. Dia berjalan menuju koridor kelas sepuluh di mana keributan itu terjadi. Benar saja, tak jauh dari posisi Langit berjalan dia dapat melihat Leo dan Hilda saling berhadapan.

"LO PIKIR GUE BAKAL KASIAN SAMA LO KARENA GUE TAU LO ADIK TIRI GUE? JANGAN NGAREP LO!" Leo sedikit mendorong lengan Hilda dengan kasar membuat cewek itu meringis.

"LO TUH CUMA SAMPAH!!!"

"NGEMIS KAN LO KEMARIN DATANG KE RUMAH GUE? NGAKU LO!!!"

Mata Hilda berkaca-kaca saat Leo membentak tepat di depan wajahnya dengan kata-kata kasar yang begitu menyakitinya. Apa salahnya dia mendatangi Ayahnya sendiri selama bertahun-tahun? Hilda hanya merindukannya. Apakah itu salah? Apakah dia memang pantas mendapatkan makian kasar dari kakak tirinya? Hilda hanya mampu menangis dalam diam.

"SEGITU AJA CENGENG LO! DAPET UANG BERAPA LO KEMARIN NGEMIS!???"

PLAKKK!!! Satu tamparan melayang ringan di pipi Leo. Rahang cowok itu mengeras. Entah untuk ke berapa kalinya dia harus ditampar seorang cewek karena mulutnya. Tapi kali ini Leo tampak begitu emosi sehingga menarik kerah Hilda sampai cewek itu tercekik.

"BERANI LO SAMA GUE!!!?" Cowok itu semakin menguatkan cengkraman kerah baju Hilda membuat Hilda kesulitan bernapas.

"KALAU CARA LO KAYAK GITU BISA MATI DIA LE!" Alan berusaha menarik tangan Leo, tapi Leo segera menepisnya sampai Alan terdorong ke belakang. Untung saja ada Gilang di belakangnya menahan tubuh Alan agar tidak jatuh.

"JAWAB LO! BISU?"

"Leph-pas." Hilda berbicara dengan susah payah. Tenggorokannya terasa tercekat, dia kehilangan banyak oksigen.

"Lepasin Le!" Itu suara Langit yang baru saja datang. Matanya tidak berani memandang Hilda, tapi dalam hati cewek itu tersenyum karena Langit masih menunjukkan kepeduliannya.

"Ini bukan masalah biasa Lang! Lo nggak usah ikut campur!"

Hilda sudah setengah tidak sadar, wajahnya pucat pasi. Sisa tenaganya sudah tidak mampu mendengarkan perdebatan yang terjadi antara Langit dan Leo. Deru napasnya mulai tersengal-sengal membuat Langit menoleh ke arahnya.

"LEPASIN GUE BILANG ANJING!"

Langit memberi satu bogeman mentah tepat di rahang Leo membuat sudut bibir Leo berdarah. Cowok itu memandang Langit dengan pandangan tidak percaya. Sementara Hilda yang terlepas dari cengkeraman Leo tubuhnya jatuh begitu saja. Cewek itu sudah tidak sadarkan diri.

"Hilda!" teriak Langit dan Saka secara bersamaan. Saka baru aja muncul melihat kejadian itu lalu bergerak menggendong Hilda.

📖📖📖📖

Thanks udah baca sampai bagian ini

Pokoknya tetep dukung oke?

Komen perlu

Vote oke?

Menurut kalian?

1.) Apa yang terjadi dengan Langit?

Kepo kan ya

Makanya sering-sering komen lah oke, oke, oke?

TBC

LANGIT [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang