37. Langit masih sama

888 72 4
                                    

Vote dulu baru baca

Selamat membaca kisah Langit

"Mencintaimu, apakah aku harus sesulit ini hingga tak ada hak untuk mengharapkanmu?"—Arina Labilade.

******

"Sejak kapan lo ikut campur urusan orang?" Dari suaranya, Langit tau bahwa Leo masih tidak terima akan kejadian tadi siang yang menyerangnya secara tiba-tiba.

Setelah bel pulang berbunyi Leo langsung menarik Langit di salah satu lorong buntu dan menyudutkannya. Matanya berkilat marah, Langit dapat melihat ada sorot dendam terpancar di sana. Namun, yang dilakukan Langit hanya diam dan mengalihkan tatapan ke samping seolah dia tak terintimidasi sama sekali. Napasnya pun teratur membuat Leo menarik kerah bajunya

"GUE NGOMONG BANGSAT! LO BUDEK?" Cengkraman Leo lebih kuat dari sebelumnya membuat Langit memandangnya.

Bukan Langit namanya jika gertakan itu membuatnya terpancing. Kendali emosi Langit sangat baik, dia tidak mungkin lepas kendali begitu saja. Justru sikap tenang Langit itu membuat seluruh pompa darah Leo naik semakin cepat hingga emosinya makin mendidih sampai kepala.

"JAWAB ANJING!!! GAGU LO?" Satu pukulan melayang di wajah Langit membuat sudut bibir Langit mengalir darah segar.

Langit mengeraskan rahangnya untuk mencari kekuatan agar tidak lepas kendali. Cowok itu masih diam tanpa perlawanan sama sekali membuat Leo kembali memukulnya. Pukulan demi pukulan Langit terima begitu saja. Hanya terdengar ringisan pelan akibat nyeri yang Langit dapatkan membuat Leo berhenti menyerangnya dan berakhir menendang tembok sebagai pelampiasan terakhirnya.

"Kenapa lo diem!?" Leo berkata lirih dengan nada frustasi.

"SINI LO LAWAN GUE!" Leo semakin murka akan sikap diam Langit. Cowok itu menendang perut Langit sampai jatuh ke lantai dingin dan Langit tetap diam.

Leo berhenti dan mengusap wajahnya. Dipandanginya Langit yang berusaha duduk sambil memegang bagian perutnya. Langit bersandar pada dinding di belakangnya dengan pandangan menunduk membuat Leo mengulurkan tangannya kepada Langit. Sudah cukup, dia cukup keterlaluan memperlakukan Langit. Bagaimanapun Langit itu teman baiknya.

"Bangun lo," kata Leo membuat Langit mendongak dan menerima uluran tangan Leo sehingga Langit bisa berdiri meski sedikit limbung.

Leo mengalihkan tatapan matanya melihat Langit babak belur akibat ulahnya. Sedetik kemudian Leo meninggalkan Langit begitu saja menuju parkiran sekolah. Langit tak masalah dengan apa yang diperbuat Leo kepadanya. Bagi Langit ini adalah hukuman baginya kenapa harus dengan situasi di mana Leo menyerang Hilda dulu dia baru menunjukkan kepedulian kepada Hilda.

Sekolah sudah sangat sepi, hanya ada beberapa anak yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler masih berada di sekolah. Langit berjalan dengan sisa kekuatannya menuju wastafel di depan koridor untuk membersihkan bagian wajahnya.

Seseorang berdiri tidak jauh dari keberadaan Langit terus memperhatikannya. Sesekali ia ikut meringis melihat Langit membersihkan lukanya dengan air menimbulkan rasa perih membuat Langit memejamkan matanya.

"Sakit banget ya?" ucap seseorang itu.

Langit mendongak dan mendapati Arin sedang memandangnya. Kemudian Langit menutup keran di wastafel dan berjalan melewati Arin lalu duduk di bangku yang tersedia di depan kelas. Arin menghampiri dan ikut duduk di sebelah Langit.

"Berantem sama  siapa?" tanya Arin. Langit diam tidak menjawab sambil memandang Arin membuat Arin mengalihkan pandangannya dengan gelisah.

"Lukanya gak bakalan sembuh kalau cuma disiram air. UKS pasti udah tutup, mending Kak Langit langsung pulang terus diobati lukanya sebelum nanti malah infeksi," kata Arin.

"Lo peduli sama gue?" balas Langit tidak mengalihkan pandangannya sama sekali membuat Arin meneguk ludahnya. "Kenapa?" tanyanya lagi.

Arin menunduk dan meremas rok putih abu-abunya hingga kusut. Bibirnya kaku mendengar Langit bertanya demikian. Hal yang tidak Arin sangka Langit mengambil satu tangannya dan membawanya ke pangkuan Langit membuat Arin menoleh dengan gerakan lambat. Matanya mengerjap dengan mulut sedikit terbuka.

"Lo salah peduli ke orang," ucap Langit lalu mengangkat tangan Arin dan memainkannya.

"Tangan ini, untuk pertama kalinya gue ditampar seorang cewek dan itu dengan tangan lo, Rin." Arin menarik tangannya dari genggaman Langit dan memunggunginya.

Ada begitu banyak sorot luka di kedua mata Langit. Arin tidak sanggup melihatnya lebih lama. Arin tidak tau sedalam apa masalah Langit hingga Arin dapat merasakan apa yang Langit rasakan meski cowok itu menyembunyikannya dengan sangat baik. Langit begitu menarik perhatiannya untuk terus memperhatikannya.

"Gue nggak tau perasaan lo ke gue itu seperti apa. Gue cuma mau ngomong, kalaupun lo emang ada perasaan ke gue seperti yang pernah gue denger mesti lo terpaksa atau nggak serius, gue minta simpan baik-baik perasaan itu. Gue lebih berharap kalau lo emang nggak ada perasaan sama gue," kata Langit serius.

"Kenapa Kak Langit ngomong gitu?" Arin bertanya dengan nada serak menahan agar tidak menangis di depan Langit. "Karena aku gak boleh berharap, karena aku bakal terluka nantinya?"

Arin masih menghapal betul kalimat Langit itu untuk dirinya. Bahkan barusan Arin mengubah kata 'gue' menjadi 'aku' membuat Langit memandangnya.

"Gue nggak mau lo kecewa," tutup Langit kemudian beranjak berdiri lalu pergi dari hadapan Arin dan hanya menyisakan punggungnya yang semakin jauh dari pandangan Arin.

Selalu seperti itu, selalu pergi meninggalkannya begitu saja dengan sederet kalimat yang tak ingin Arin dengar.

📖📖📖📖

T
B
C

See you next part

Komen next kalau perlu

LANGIT [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang