21. Jawaban Arin

1K 70 0
                                    

Enjoy story

Ungkapan perasaan Gerka mampu didengar orang-orang yang ada di lapangan, meski suaranya tak begitu keras. Setidaknya masih bisa didengar oleh Langit, salah satu dari orang yang duduk di pinggir lapangan.

"Kakak beneran nembak aku?" tanya Arin sekali lagi.

"Iya," jawab Gerka mantap.

"Aku juga harus kasih jawaban?"

"Enggak."

Arin mengerutkan dahinya. "Enggak?" ulang Arin heran.

"Lo pasti nolak gue 'kan?" tanya Gerka pesimis.

Senyum Arin sedikit mengembang. Entah rasa malu itu bersembunyi di mana ketika dia menjadi pusat perhatian seperti ini, yang pasti Arin merasa gemas dengan tingkah seniornya itu.

"Seyakin itu?" tanya Arin memastikan.

"Iya."

"Ya udah," balas Arin sedikit melengos.

"Ya udah apa?" teriak Gerka begitu melihat gestur tubuh Arin berlalu dari hadapannya.

Arin berhenti lalu berbalik badan. Dia melipat kedua tangannya di depan dada memikirkan jawaban apa yang pantas untuk Gerka.

"Ya udah lo gue tolak."

Setelah kalimat itu terucap, Arin berlari meninggalkan lapangan diiringi teriakan heboh dari orang-orang yang menyaksikannya.

"Gila! Gila! Gila! Lo nolak senior di depan umum? udah putus syaraf otak lo!?" pekik Gia tak percaya.

"Ya elah Gi... otak Arin kan masih di bengkel, makanya tebus gih! kasian korbannya," sahut Hanin sama kesalnya dengan apa yang telah dilakukan Arin.

"Emang gue segitu jahatnya ya?" tanya Arin polos.

"Ibaratnya ya, lo tuh kayak baru bunuh kepsek tau gak!?"

"Nah! Bikin jantungan!" sambung Hanin.

"Apaan deh! berlebihan banget tau," elak Arin tak terima.

"Tapi Rin, lo beneran gila!" cetus Gia geleng-geleng kepala.

"Kalau gue gila, gue nggak di sini Gi," ucap Arin.

"Iya lah! lo kan pantesnya di rumah sakit jiwa," sahut Hanin.

Arin terkekeh mendengar jawaban Hanin. Dia merasa apa yang dia lakukan itu benar, karena Arin tidak memiliki perasaan apapun kepada Gerka. Mungkin yang salah itu karena Arin menolak seniornya di depan umum, tapi kan yang memilih tempatnya Gerka sendiri. Jadi, Arin merasa tidak bersalah sama sekali.

"Yakin Rin, setelah ini lo nggak akan ada masalah?" khawatir Gia.

Arin berhenti lalu duduk di kursi koridor diikuti Hanin dan Gia. Suasananya tak begitu ramai sehingga Arin bisa sedikit menenangkan diri.

"Gampang, nanti gue bakal minta maaf," pasrah Arin.

Hanya Hanin dan Gia kepalanya dibuat mendidih akan sikap Arin. Bahkan untuk menceramahi Arin panjang lebar memberitahu mana yang baik dan buruk tidak akan sanggup hanya dengan omongan. Mungkin yang dibutuhkan Arin hanya perlakukan hingga kelak Arin tau yang dilakukan itu salah atau benar.

"Segampang itu?" sergah Hanin dan Gia bersamaan.

Kepala Arin menoleh ke arah kiri dan kanan secara bergantian melihat ekspresi kedua temannya sambil menutup kedua telingannya menggunakan telapak tangan. Arin menghela napas gusar lalu beranjak dari duduknya.

"Udah ya, gue mau ke kelas," pamit Arin tanpa mendapat persetujuan dari Hanin dan Gia berlalu ke arah kelasnya.

Arin tetap akan memikirkan apa yang terjadi setelah ini, karena jika Arin sudah melakukannya berarti dia juga harus menerima risikonnya.

Hampir beberapa menit lagi bel masuk, Arin memilih berdiam diri di dalam kelas yang hanya ada beberapa anak. Mungkin sebagiannya lagi sedang berada di kantin atau entah di mana Arin tidak begitu memikirkannya.

  📖📖📖

(TBC)

LANGIT [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang