Selamat Membaca Kisah Langit
*****
"HALO PACAR...! Udah sayang belum nih? Eh! udah makan belum maksudnya," ralat Anan menyapa Arin. Cowok itu terkekeh melihat Arin melotot tidak suka karena ucapannya.
Anan lalu duduk di sebelah Arin dan saling berhadapan dengan Hanin dan Gia yang kini tengah memperhatikan mereka. Bahkan, beberapa anak yang berada di kantin ikut memusatkan atensinya kepada Anan dan Arin membuat Anan tersenyum puas. Sementara Arin sendiri merasa tidak nyaman karena mungkin berita Anan dan Arin berpacaran itu sudah menyebar luas.
"Gak usah ganggu gue," ancam Arin menatap tajam ke arah Anan.
"Jangan marah dong sayang, niat pacar kan baik. Pacar cuma pengen perhatian ke sayang," ucap Anan mengedipkan sebelah matanya.
"SUMPAH YA NAN! LO TUH JIJIK BANGET!" murka Arin menggebrak meja. Tidak peduli dengan sekelilingnya yang sedang memperhatikannya.
"Sayang lagi PMS ya makanya sensi gitu, tenang dong sayang... apa perlu pacar beliin jamu? Pasti perutnya lagi sakit banget ya," ucap Anan ngaco.
"JIWA LO TUH YANG SAKIT! MINGGIR LO!" Arin berdiri dari tempat duduknya hendak meninggalkan kantin.
"Mau dong diperhatiin," ucap Hanin iri yang justru langsung dipelototi Arin sampai bola matanya mau keluar saking kesalnya. Hanin lalu terkekeh.
"Gak jadi deh! Takut aku," lanjut Hanin bergidik ngeri.
"Traktir makan dong Nan! Masak punya pacar baru gak dirayain," ucap Gia penuh arti kepada Anan. "Entar gak langgeng lagi kayak masa pacarannya Hanin sama Kak Gilang."
"Eh! Apaan sih, kok jadi gue sama Kak Gilang," ucap Hanin tidak terima.
"Gue bener kan? Lo aja gak kasih tau kapan jadiannya tiba-tiba udah putus aja."
"Emang apa-apa gue harus laporan sama lo?" tanya Hanin.
"Nah! Ini nih yang namanya teman musiman. Kalau yang senang-senang aja simpan sendiri, giliran susah baru dibagi sama temen. Kualat lo diputusin sama tuh cowok," jawab Gia membuat Hanin diam dan tidak membalas ucapan Gia lagi.
"Lo berdua pesan apa aja deh, entar gue yang bayar," ucap Anan pada akhirnya mau mentraktir Hanin dan Gia.
"BENERAN!?" seru Hanin dan Gia senang. Anan mengangguk lalu mendongak menatap Arin yang masih berdiri.
"Kalau mau buat pacar seneng juga harus buat temennya seneng, iya kan?" tanya Anan kepada Arin.
"ENGGAK!!!" Arin kemudian berjalan keluar kantin diikuti Anan yang terus memanggilnya dari belakang, tapi diabaikan begitu saja oleh Arin. Berurusan dengan Anan memang bukan hal mudah, rasanya Arin ingin pindah sekolah biar jauh-jauh dengan orang nyebelin setipe Anan Andani.
"Bisa gak? Sehari aja gak usah ganggu gue!" kesal Arin saat Anan menahan langkahnya dengan menghadang jalannya.
"Bisa gak? Sehari gak usah marah-marah ke gue!" balas Anan santai.
"Kalau lo gak mulai gue juga gak bakalan gitu," jawab Arin.
"Iya deh! gue minta maaf," ucap Anan mengalah. Nada suaranya terdengar tulus membuat Arin mengerjap sekali. Tidak pernah sekalipun Anan bersikap seperti ini sebelumnya.
"Maaf?" ulang Arin. Anan menganggukkan kepalanya.
"Sampai kapan Nan?" tanya Arin pelan. Kepalanya menunduk ke bawah mengamati sepatunya sendiri. Ia tidak berani menatap Anan.
"Sampai kapan apanya?" balik tanya Anan bingung. Tidak mengerti ke arah mana pembicaraan Arin membuat keningnya terlipat heran.
"Status kita," jawab Arin singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT [OPEN PRE-ORDER]
Dla nastolatków"KOK, SEMALEM GUE MIMPI SAYANG SAMA LO, YA?" ~Arin "Jangan berharap, atau lo malah terluka nantinya." ~Langit Dia Langit. Langit terlalu jauh digapai Arin. Sikapnya yang dingin membuat Arin harus mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan b...