27. Jangan Dianggap

1K 80 2
                                    


Arin meringis lebar ketika Langit menatapnya. Anan emang sialan, pasti cowok itu sengaja menjebak dia ke dalam situasi menyebalkan ini. Arin yakin, setelah ini akan ada banyak drama dalam kehidupannya. Karena mau mengelak pun, Arin jelas tadi mengatakan bahwa dia menyukai Langit dan Langit pasti mendengarnya.

Langit tersenyum sinis lalu berucap pelan. "Ternyata yang selama ini keliatan benci bisa suka juga sama gue."

"Lo nggak usah kepedean ya!" Tunjuk Arin mengarah pada Langit.

Detik ini juga Arin ingin sekali melenyapkan muka Langit yang terlihat meremehkannya. Bel selesai istirahat berbunyi, tapi Arin tidak peduli. Keduanya masih berdiri saling berhadapan. Arin sedang berusaha menyusun segala umpatan kasar tepat di depan muka cowok dingin itu.

Langit menurunkan jari telunjuk Arin membuat cewek itu mengerutkan kening lalu menarik tangannya ke belakang akan sentuhan ringan itu. Seharusnya sentuhan itu tidak berefek, tapi entah kenapa Arin malah gemeteran sendiri.

"POKOKNYA GUE NGGAK SUKA SAMA LO!"

"Nggak suka ya udah, ngapain masih di sini?"

"Lo nggak usah PD!" tekan Arin masih berteriak.

"Gue cuma ngomong apa yang gue dengar...."

"Tapi yang lo denger salah," sanggah Arin tetap ngotot.

"Iya," jawab Langit tanpa memperpanjang masalah lantas berjalan pergi meninggalkan Arin menuju ke kelasnya. Arin mencebikkan bibirnya kesal menatap punggung Langit yang kian menjauh dari hadapannya.

"Kak Langit!" panggil Arin berteriak dan berhasil menghentikan langkah Langit. Cowok itu berbalik badan sampai menghadap ke arah Arin membuat cewek itu berlari ke arahnya. Langit mengerutkan kening bingung.

Perlu apa lagi cewek itu manggil gue?

Arin tersenyum lebar entah mendapat motivasi apa bisa tersenyum sedemikian rupa di hadapannya, mengarah padanya, dan Langit yakin, senyum itu memang sengaja ditunjukkan hanya dirinya. Entah kenapa sekarang Langit merasa ada yang aneh dengan senyuman itu. Terasa lebih tulus dan membuat perasaan aneh menjalar di sel-sel otaknya yang membuat Langit berpikiran bahwa senyum itu... Langit ingin melihatnya di hari-hari berikutnya.

Nggak mungkin!

Langit ingin menyuarakan dua kata itu lebih keras untuk menyadarkan dirinya, tapi ia tahan mati-matian saat jarak antara dirinya dan Arin hanya berkisaran satu langkah orang dewasa.

"Kita nggak ada urusan lagi," ujar Langit dingin.

Senyum Arin kini berubah sinis. Pun, sampai nanti akan tetap seperti ini saat menghadapi Langit sampai kedepannya. Walaupun Arin yakin dia tak mungkin berinteraksi lagi dengan ketos menyebalkan ini.

"Iya! kita emang udah nggak ada urusan, karena urusan lo ngebanting mental gue dari OSIS udah berhasil. Harusnya lo seneng 'kan?" sinis Arin tertawa hambar. Tawa yang jelas mengejek kehodohannya menuruti permainan Langit dan menelan keinginannya sendiri. Tidak, harusnya Arin ingat bahwa itu kemauan ibunya dan Arin hanya tak ingin membantah.

Langit termangu melalui sorot matanya yang terlihat tak terbaca. Jelas ucapan Arin barusan tak menyembunyikan nada kebohongan di dalamnya. Cewek itu jujur mengungkapkannya.

"Maksud gue bukan gitu," bela Langit tak ingin salah paham. Pasalnya, Arin selalu membuat persepsi sendiri tanpa tau kenyataannya.

"Terus apa? Lo mau bela diri dengan pencitraan apa? Emang ya, lo tuh orang munafik yang pernah gue kenal."

Senyum Langit tertarik lebar, tapi jelas itu bukan karena senang mendapat pengakuan sedemikian rupa dari Arin. Langit hanya tidak mengerti kenapa Arin selalu berpikiran yang dia sendiri tidak berpikiran ke arah sana.

"Heh! Ini malah ngapain berduaan pacaran di sini?! udah bel masuk. Ayo cepat kalian masuk," seru bu Tia muncul secara tiba-tiba.

"Kita nggak pacaran!" elak Arin dan Langit secara bersamaan membuat bu Tia mendelik dan menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangan. Bisa-bisa nanti gendang telinganya pecah jika tidak dilindungi.

"Mau pacaran atau apa kalian itu masih siswa! Cepetan masuk! kalau enggak ibu potong gaji kalian!" ancam bu Tia.

Arin ternganga lebar sekaligus mengrutkan keningnya lalu menggelengkan kepala tak habis pikir.

"Saya emang masih siswa Bu, bukan tukang kebun pake digaji segala... Ibu jangan aneh."

Muka bu Tia tampak tidak terima mendengar gerutuan Arin tentang dirinya. "Kamu menantang saya? berani sama saya?"

"Eh! kok baper, saya bercanda kali Bu."

"CEPET MASUK KELAS ATAU SAYA HUKUUUMMM....!!!"

Arin lantas lari terburu-buru ke arah kelasnya mendengar perintah gurunya yang sekarang mirip seperti toa berjalan yaitu dengan jurus andalannya saat menghadapi muridnya yang tidak segera melaksanakan perintahnya.

"LANGIT! KELAS KAMU DI MANA...?"

"Eh! iya Bu, maaf...," kata Langit berbalik badan menuju kelasnya. Cowok itu sampai tidak menyadari jika langkahnya sejalan dengan arah jalan Arin.

Gadis itu tersenyum lalu ngakak sejadi-jadinya melihat ekspresi Langit yang tampak gelagepan dan berlari kocar-kacir ke arah kelasnya. Ternyata cowok itu juga bisa merasa ketakutan hanya karena teriakan guru, pikir Arin geli sendiri.

   📖📖📖

(TBC)

LANGIT [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang