24. Melepas Keinginan

973 81 0
                                    


"Lepasin!"

Leo menoleh ke belakang melihat Langit berdiri dari duduknya setelah selesai bersuara. Nada suaranya dingin tanpa ada penekanan, tapi ucapan itu seolah perintah untuk dilaksanakan. Leo segera melepas tangan Arin tanpa banyak kata. Menuruti kemauan Langit.

"Gue ada perlu sama dia," ucap Langit seolah menjelaskan.

"Oh! lo mau beresin dia? Ya udah, gih! Gue sebenarnya juga lagi males," sahut Leo datar lalu kembali ke tempat duduknya semula.

Langit menghampiri Arin lalu menarik keluar dari kantin melalui sorot tatapan matanya. Arin menurut, entah kenapa jika ada hubungannya dengan Langit Arin tak bisa mengelak lagi. Seolah ada kontrol tak kasat mata yang akan mengendalikannya tanpa ada kata mebantah.

"Kenapa lo?" sewot Arin melipat kedua tangannya di depan dada begitu Langit membawanya berhenti di lorong kelas.

Langit hanya meneliti Arin dari atas kepala sampai ujung kaki seolah ingin mengoreksi bagian mana yang salah dalam diri Arin. Seulas senyuman sinis terlihat samar di bibir Langit begitu menemukan jawaban yang ada di pikirannya.

"Serius, tampang dan kepribadian lo gini cocok jadi ketua OSIS?" tanya Langit sinis, "ralat, CALON maksudnya," lanjut Langit menekan kata calon sebagai bentuk ketidaksukaannya.

"Kenapa?" tanya Arin tak mengerti. "Kak Langit mau unjuk rasa supaya aku mengundurkan diri?"

Langit tidak menjawab, dia berdiam diri sebentar lalu menarik langkahnya meninggalkan Arin. Meninggalkan seseorang yang membutuhkan jawaban untuk memaknai harapannya apa akan bisa dipertahankan lagi. Sebab, semesta solah menghalangi apa keinginannya.

"Ngapain diem di situ?"

Arin tersentak begitu mendengar suara seseorang menyusup ke indra pendengarannya. Dia menoleh, melihat seseorang yang tak ingin ditemuinya saat ini juga. Arin lantas berlalu dari hadapannya.

"Masih marah?" tanya Saka lagi.

Arin benar-benar tidak ingin berinteraksi dengan Saka. Dia tidak menjawab dan semakin mempercepat langkahnya menuju kelas.

Sesampainya di kelas, Hanin bertanya, "kok, malah ke kelas? Lo nggak ke ruang OSIS, Rin?"

"Enggak, buat apa?"

"Bukannya ini yang lo mau? Lo kan udah terpilih jadi candidate ketua OSIS, Rin...."

Arin duduk lalu membuka buku di atas meja secara asal. Memikirkan ulang masalah OSIS membuat Arin tak sepenuhnya bersemangat. Arin merasa senang, setidaknya dia terpilih sebagai candidate. Tapi di balik kesenangannya itu juga menjadi bagian ketidaksukaan ibunya yang melarang Arin mengikuti organisasi tersebut.

"Gue mau fokus belajar," jawab Arin formalitas.

Arin tidak mau merasa terbebani meskipun rasa itu mengiringi setiap kali Arin mengingatnya. Mengingat tentang keinginannya sebagai ketua OSIS, tapi ibunya tidak menyetujui dengan alasan hal itu akan membuat fokus belajar Arin berkurang.

****

Bel istirahat berbunyi nyaring. Arin menegakkan posisi duduknya setelah menyandarkan tubuh dan kepalanya di atas meja. Pelajaran kali ini memang membosankan, padahal tadi Arin bilang akan fokus belajar.

"Ke kantin enggak?" tanya Hanin

"Males gue. Lo mau makan lagi, Han?"

"Enggak, gue mau ketemu sama Kak Gilang. Lo kalau mau di kelas gue duluan ya?"

Arin hanya bergumam sebagai jawaban lalu kembali merebahkan kepalanya di atas meja bermaksud untuk tidur selagi menunggu bel masuk berbunyi.

Baru saja Arin memejamkan mata, Gia datang ke kelasnya dengan membawa berita buruk.

"Gawat Rin! Lo disuruh menemui Kak Langit di ruang OSIS," ucap Gia sambik menggebrak meja membuat Arin terkesiap.

"Sekarang?"

Gia mengangguk berulang kali. "Iya, sekarang."

"Mampus," desis Arin lantas berjalan keluar kelas.

Arin berjalan menuju ruang OSIS sendirian sambil memikirkan segala kemungkinan apa yang akan terjadi dan hal apa yang membuatnya harus menemui si ketos sialan itu. Arin hanya ingin melupakan fakta bahwa dia juga tau di mana letak kesalahannya sehingga dia harus ke ruang OSIS.

"Lang, gue cabut dulu ya," ucap salah satu cowok yang berpapasan dengan Arin.

Langit mendongak bersamaan dia melihat Arin baru saja masuk di ruang OSIS. Langit beralih menatap teman cowoknya lalu mengangguk. "Oke, nanti gue tunggu perkembangannya."

Cowok itu mengangkat jari jempolnya sebelum menghilang di balik pintu. Meninggalkan Arin di tempat hanya berduaan dengan Langit, karena anak OSIS yang lain pasti sedang istirahat.

"Kak Langit manggil aku?" tanya Arin formalitas.

Arin memang harus terbiasa menyesuaikan dirinya dengan Langit di waktu dan tempat yang berbeda. Arin menegang begitu melihat Langit berdiri di depannya dengan tatapan marah. Mungkin.

"Gue harap, ini kali terakhirnya lo jejakin kaki lo di ruang OSIS," ucap Langit mengintimidasi tanpa menjawab pertanyaan Arin.

Arin menunduk, merasakan atmosfer mencekam di ruangan ini. Bahkan mendadak Arin merasa seperti uji adrenalin mendengar ucapan Langit barusan. Arin tidak mampu menyangkal jika dia masih pantas berada di ruang OSIS ini setelahnya, karena tadi dia tidak mengikuti rapat.

"Lo tuh! harusnya beruntung rapat pleno kemarin anak-anak bisa milih lo dengan suara terbanyak. Seminggu lagi lo mengikuti kampanye dan tadi lo malah nggak ikut rapat? Jiwa kepemimpinan diri lo itu nggak bisa dipertanggung jawabkan, dan lo masih berharap ini masih lanjut? JANGAN MIMPI!"

Telak. Apa yang diucapkan Langit tidak sepenuhnya salah hingga mengundang sebutir air mata yang bermuara memenuhi mata, tapi hanya tertahan begitu saja. Arin tidak ingin menangis di hadapan Langit.

"OSIS itu bukan tempat eksistansi untuk menunjukkan reputasi diri, Rin. Kalau lo berotak, lo harusnya bisa mikir."

"Gue mengundurkan diri!" Pada akhirnya Arin bersuara setelah ditekan ucapan Langit beberapa detik yang lalu. "Gue akan mengundurkan diri dari candidate ketua OSIS dan mengundurkan diri sebagai anggota OSIS. Itu yang lo mau 'kan? Gue akan lakuin."

Setelah ucapan terakhirnya, Arin langsung berlalu pergi meninggalkan ruang OSIS dengan perasaan setengah tidak rela.

📖📖📖

(TBC)

LANGIT [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang