"Kenyataannya aku tak pernah sebodoh ini berhadapan dengan orang bodoh juga."
//
Di saat guru matematikanya sedang menerangkan materi, Arin diam-diam membuka selembar kertas origami berwarna biru muda yang disisipkan di bungkus coklat.
"Tulisannya apa?"
Arin terkejut mendengar suara Anan yang mengintrupsinya. Anan tersenyum lebar, sedangkan Arin melotot tajam.
Arin baru akan membacanya, tapi Anan semakin merapatkan duduknya lalu mengambil selembar kertas itu dengan paksa.
"Anan!" teriak Arin spontan.
Bu Amel menghadap ke belakang diikuti teman sekelasnya. Arin paling benci kalau sudah menjadi pusat perhatian seperti ini.
"Ada apa Arin?" tanya Bu Amel penasaran.
"Dia ketiduran Bu," fitnah Anan, "makanya saya bangunin."
Arin tidak terima, dia hendak menyangkal tapi Anan lebih dulu mencegahnya. "Iya kan Rin? bilang makasih dong," paksa Anan.
Arin mengangguk dengan sangat terpaksa sambil menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman.
"Sialan lo!" seru Arin tertahan merapatkan giginya.
"Baiklah kita lanjutkan," ucap Bu Amel kembali pada kegiatan awal
Anan meringis kesakitan saat Arin menginjak kakinya tanpa ampun. Tapi Anan tak mempedulikan rasa sakit itu, dia lebih tertarik membaca sesuatu itu yang berhasil dia peroleh dari tangan Arin.
"Nanti istirahat lo disuruh nemui Gerka di lapangan basket," beritahu Anan.
"Serius?" tanya Arin merebut surat itu lalu membacanya.
Di dalam kertas itu terdapat sederet kalimat yang baru saja diucapkan Anan. Arin mengerutkan keningnya sebelum tersenyum. Jenis senyum teraneh yang pernah Anan lihat.
"Metode pendekatakan macam apa ini?" geli Arin tersenyum sinis. "Gak ada romantis-romantisnya."
"Ya elah, gak usah kepedean lo! belum tentu dia ngajak lo PDKT 'kan?" sinis Anan.
"Emang ada? gak maksud pendekatan harus pake coklat?" tantang Arin.
"Ada."
"Mana?"
"Ya siapa tau Gerka yang akan lakuin itu."
"Itu opini lo!"
Anan tak peduli. Dia pura-pura tak mendengar Arin dengan mengerjakan soal yang ditulis di papan tulis lalu mengerjakannya membuat Arin mencibirnya diam-diam.
📖📖📖
Lima menit lagi menjelang istirahat. Arin ingin tidak peduli dengan surat dari Gerka dan mengabaikkannya seolah-olah dia tidak menerima titipan itu. Andai Arin bisa, dia akan melakukannya. Tapi sepertinya semesta tidak menginginkannya.
Setelah bel berbunyi Arin didatangi dua seniornya untuk mengajak Arin ke lapangan basket. Awalnya Arin hanya berdiam diri di kelas, tapi beberapa menit kemudian Hanin datang bersama Gia mengatakan hal yang sama seperti dua seniornya sebelumnya.
"Ada apaan sih?" gumam Arin malas.
"Gue yakin, lo pasti ditembak," sahut Hanin percaya diri.
"Ditembak?" ulang Arin tak percaya, "gak mungkinlah masak gak ada basa-basi deketin gue udah main tembak aja. Gak. Enggak! gak mau gue!"
"Udah samperin aja dulu Rin."
"Tapi gue gak mau," tolak Arin.
"Lo harus mau!"
"Kok kalian maksa?" sebal Arin menghentikan langkahnya.
"Udah coba aja dulu Rin, lagian lo udah mengansumsi sesuatu yang belum pasti," ucap Gia.
"Nah, bener tuh!" sahut Hanin.
Tubuh Arin tampak lesu menyanggupi apa yang diinginkan Hanin dan Gia. Arin terpaksa mengikuti kemauan mereka daripada nanti urusannya jadi panjang Arin tidak mau serepot itu.
Tepat sampai di lapangan Arin melihat keberadaan Gerka dan beberapa temannya yang sedang bercanda tawa. Arin juga melihat ada Langit di sana.
"Ada apa Kak?" tanya Arin duluan begitu dia berhenti di depan Gerka.
Cowok berwajah tampan itu menoleh lalu memposisikan tubuhnya sampai berdiri berhadapan dengan Arin. Dia tersenyum senang bisa mendapati Arin di depan matanya. Gerka salah tinggah sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Tadinya sih gak pa-pa. Cuma karena lo sekarang ada si sini. Sekarang pengen ada apa-apa."
Arin langsung menoleh ke arah Hanin dan Gia meminta penjelasan lebih. Keduanya mengangkat kedua bahunya tanda mereka tidak tau. Helaan napas panjang keluar dari mulut Arin.
"Maksudnya Kak?"
"Em... gue suka sama lo Rin," terang Gerka tanpa basa-basi. "Lo mau gak jadi pacar gue?" lanjutnya.
"Pacar?" bisik Hanin dan Gia bersamaan yang masih bisa didengar Arin.
Wajar saja jika kedua temannya terkejut, Arin juga merasa belum siap menghadapi situasi seperti ini. Arin belum terlalu mengenal Gerka, seniornya itu juga belum pernah berinteraksi lebih dengannya kecuali hanya saling bertatap muka.
"Kak Gerka nembak aku?" tanya Arin bodoh.
Gerka terkekeh malu. "Emang gak boleh ya?"
📖📖📖
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT [OPEN PRE-ORDER]
Teen Fiction"KOK, SEMALEM GUE MIMPI SAYANG SAMA LO, YA?" ~Arin "Jangan berharap, atau lo malah terluka nantinya." ~Langit Dia Langit. Langit terlalu jauh digapai Arin. Sikapnya yang dingin membuat Arin harus mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan b...