19. Soal Matematika

924 71 0
                                    

   Enjoy story

Sedari tadi Hanin memperhatikan fokus Arin menatap lurus ke arah depan tapi dia tidak mencatat materi. Sahabatnya itu terus saja memainkan pulpen tanpa minat menyalin catatan di papan tulis. Hanin  baru ngeh ketika ada seseorang duduk di meja guru. Gadis itu tersenyum.

"Lo liatin Saka ya?" tebak Hanin menyenggol lengan Arin.

"Ngeselin tuh anak," kesal Arin masih menyimpan dendam semalam.

"Karena dia belum minta maaf?" pancing Hanin.

"Mungkin," jawab Arin malas.

Arin merebahkan kepalanya di atas meja. Dia semakin dibuat kesal lagi sama Saka karena pagi tadi cowok itu tidak berangkat bersama dia seperti setiap harinya. Sekarang Arin merasa perhatian Saka sudah berkurang sedikit demi sedikit semenjak Saka berpacaran dengan kakak kelasnya.

Arin tidak cemburu, hanya saja dia merasa kehilangan. Arin terlalu takut pada kesepian yang akan menghampirinya lagi.

"Mau gue bilangin ke Saka?" tawar Hanin kemudian.

"Gak, makasih. Gue mau tidur," tolak Arin lalu memejamkan matanya.

"Rin, habis ini Bu Amel loh! Lo mau tidur beneran?" peringat Hanin.

"Bodo amat!"

Arin tidak peduli jika setelah pergantian jam berikutnya adalah pelajaran matematika yang diampu oleh guru killer. Dia hanya ingin memanjakan tubuhnya sesaat dengan tidur.

"Selamat siang anak-anak."

Suara bariton membuat diam puluhan siswa kecuali Arin dan Hanin. Kini perhatiannya tertuju pada wanita paruh baya yang berdiri di depan kelas.

"Siang," jawab semua siswa bersamaan kecuali dua orang yang duduk paling belakang.

Bu Amel tampak mengarahkan pandangannya sampai tertuju ke arah Arin lalu beliau menghampirinya.

BRAAKKKK!!!

Satu gebrakan meja seketika membuat Arin dan Hanin terbangun lalu menegakkan posisi duduknya. Kedua murid itu terlihat kebingungan atau lebih tepatnya takut. Arin dan Hanin saling bertukar pandang.

Malapetaka.

"Eh, Bu Amel sudah datang?"

Pertanyaan terbodoh itu keluar dari mulut Arin.

"Kamu pikir saya ngapain di sini?" tanya guru matematika dengan nada dingin.

"Ngajar Bu...," jawab Arin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"kamu mau Ibu hajar?"

"E-enggak Bu, saya minta maaf," ucap Arin cepat sembari mengibaskan tangannya.

"Maju ke depan!" perinah Bu Amel tak terbantah.

Arin dan Hanin segera mengikuti perintahnya. Mereka diberi tugas untuk mengerjakan soal matematika tentang Penyelesaian Sistem Pertidaksamaan Linear Dua Variabel yaitu materi Progam Linear. Di sinilah kefatalannya. Arin paling benci dengan pelajaran matematika.

Hampir 15 menit sudah Arin berdiri di depan papan tulis. Gadis itu tak kunjung selesai perang dengan soal matematika padahal Hanun sudah kembali duduk sepuluh menit yang lalu.

"Daerah penyelesaianya mana?" tanya Bu Amel yang mulai jengah melihat muridnya kebingungan.

"Daerah. Pen-nye-le-saian," ulang Reina kembali menghapus dan mencoret-coret di White board.

"Coba kamu tulis titik ujinya." Amel kembali bersuara.

Arin merutuki dirinya dalam hati. Bodoh banget jika dia mengatasi masalah kantuknya dengan tidur malah mendapat masalah dengan gury matematika itu.

"Sudah Bu," kata Arin sopan.

Bu Amel meneliti sebentar lalu mengangguk. Arin merasa lega setelah itu kembali ke bangkunya.

"Lagian matematika nggak di bawa mati harus banget bikin otak gue pecah!" Arin menggerutu sambil membolak-balik lembar bukunya.

"Makanya, Anan tuh dicontoh," ujar Hanin tanpa menoleh ke arah Arin. Dia fokus pada soal matematika di buku paket.

"Anan?"

Arin refleks menoleh ke arah keberadaan Anan yang duduk di bangku nomor dua dari depan.


"Arin," panggil Amel tiba-tiba.

"iya Bu."

"Kamu pindah di sebelah Anan ya, soalnya dia pinter matematika," Peritah Amel berjalan ke arah bangku Anan.

Apa? gue sebangku sama Anan? Cobaan apalagi ya tuhan.

"Apa-apaan ini?" bisik Arin merapatkan giginya meminta penjelasan lebih.

"Udah turuti aja," balas Hanin berbisik. "Ucapan itu adalah do'a."

"Tidak keberatan 'kan?" tanya Amel kepada Anan.

"Keberatan!" seru Arin spontan. Gadis itu langsung membungkam mulutnya sendiri karena kelepasan.

"Eh, maksud saya kenapa enggak sebangku sama Sely saja Bu, dia juga pinter matematika 'kan?" ralat Arin cepat-cepat.

"Tapi masalahnya, kalo semama jenis, pasti banyak ngobrolnya," ucap Amel sekaligus menyindirnya.

Arin melotot tajam ke arah Hanin. "Sialan lo!" maki Arin kesal.

Tak bisa dibantah lagi. Arin hanya mampu menuruti tanpa menolak. Bisa-bisa nanti dia kena hukuman yang lebih parah lagi kan barabe.

Arin mengemas alat tulisnya lalu berjalan ke arah bangku Anan. Dia bahkan tidak menoleh ketika Saka memanggilnya. Arin benci situasi pagi ini. Dia masih kesal angkut pada Saka.

"Selamat datang di surga kelas...," sambut Anan menepuk-nepuk bangku sebelahnya mengisyaratkan Arin agar duduk.

Arin pasang muka masam melihat senyum Anan yang kian melebar.

"Jarak satu meter," ketus Arin.

Anan tak peduli. Dia memberikan sebatang coklat kepada Arin. "Buat lo," katanya.

"Ogah!"

"Dari senior, temennya Langit. Tadi dititipkan ke Sely tapi tadi gue ambil."

"Temennya Langit?"

Anan menyipitkan matanya curiga. "Cie... ngarep banget dari Langit ya," tuduh Anan.

"Enggak!"

"Ya biasa aja kali, gak usah ngegas. Nih! ambil," suruh Anan menyodorkan kepada Arin.

Arin menerimanya. Lalu memikirkan beberapa kemungkinan kenapa ada orang yang memberinya coklat.

    📖📖📖

(TBC)

LANGIT [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang