25. Saka yang tak biasa

961 78 0
                                        






Arin berdiri di antara lautan siswa yang mengikuti kegiatan upacara di bawah teriknya sinar matahari yang mulai terasa panas. Bedanya, dia lebih menonjol untuk dijadikan tontonan karena berdiri menghadap ratusan siswa yang tertib dan tidak melanggar aturan, seperti dirinya yang telat.

"Sekali lagi bapak umumkan bagi yang merasa tidak tertib agar maju ke depan!"

Suara bass pak Danang tentu saja mengundang bisik-bisik siswa dan terus mendominasi karena tidak ada satupun yang maju ke depan.

"Bapak hitung, satu! dua...!"

Satu per satu siswa yang melanggar aturan akhirnya mau tidak mau maju ke depan jika tidak ingin kegep saat diperiksa lalu diberi hukuman tambah. Arin menyipitkan mata ketika melihat Saka ikut berjalan maju dan berkumpul di barisan siswa yang tidak tertib.

"Gue gak marah sama lo, dan lo jangan marah sama gue."

Arin menoleh sekilas ke arah belakang hanya untuk memastikan jika itu memang suara Saka. Ini kelemahan Arin, jiwa nano-nano pada diri Saka membuatnya merespons berbeda. Terkadang dia terhanyut euforia dan membawanya ke arus perasaan.

"Gue gak bisa marah sama lo."

Untuk alasan apalagi Arin harus menahan dirinya. Dia mencoba bersikap biasa saja tanpa perlu menjawab ucapan Saka. Arin memejamkan mata sejenak sambil mengatur napasnya.

"Kebiasaan sih! makanya besok lagi jangan telat lagi Rin, apalagi hari senin. Capek 'kan?" omel Hanin mengkhawatirkan keadaan Arin yang wajahnya pucat pasi.

"Iya Han... ini yang terakhir," ucap Arin kemudian meneguk air mineral yang diberikan oleh Hanin. Tadi setelah upacara selesai, Arin mendapat hukuman lari lapangan sebanyak tiga kali dan menyanyikan indonesia raya sambil hormat.

"Gue pindah depan ya, hari ini Arni gak masuk."

Arin mengangguk lalu menutup botol yang masih tersisa setengahnya. Dia mengibaskan tangannya ke samping lehernya yang dibanjiri keringat, kemudian angin itu semakin terasa ketika Saka mengipasinya menggunakan buku.

"Dasi lo tadi gak dipakai, sekarang ada," komentar Arin ketika matanya menelusuri penampilan Saka.

Cowok itu duduk di sebelah Arin yang memang kosong karena Hanin--teman sebangkunya duduk di meja paling depan. "Lo gak peka sih," ucapnya.

Arin tidak menjawab, dia terdiam seribu bahasa seolah-olah tak ada kosa-kata yang diingat untuk menanggapi ucapan Saka.

"Ngomong kek, sariawan? dari tadi diem aja."

"Ka, gue gak mau diganggu," jawab Arin malas.

"Tapi gue yang keganggu kalau sikap lo kayak gini terus."

Arin meluruskan tatapannya ke arah Saka. "Maksud lo?"

Saka diam tidak menjawab dan itu membuat Arin penasaran. Memangnya dia menganggu seperti apa? Toh, dia tidak pernah mengganggu Saka yang selalu mengusilinya.

"Rin, gue mau ngomong sama lo."

Kening Arin terlihat mengerut bingung. "Apa?" Nggak biasanya Saka ngomong izin dulu.

"Gue mau putus dari Sely. Menurut lo gimana?"

Untuk waktu yang lama Arin terdiam. "Gue gak tau maksud dari ucapan lo itu apa. Gue bukan siapa-siapa lo, Ka... gue bukan orang yang berhak buat mutusin setiap lo minta saran dari semenjak lo mau jadian sama Sely. Itu sepenuhnya hak lo!"

Saka dibuat bungkam dengan kalimat panjang itu. Dia lantas mengangguk paham sebelum berpindah duduk di bangku paling depan. Sama sekali tidak mengelak atau memberi opini dari ucapan Arin.

   📖📖📖

(TBC)

LANGIT [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang