Langit
"Terlalu berharap terkadang membuatku sebodoh itu."
//
Jam setengah tujuh.
Jam weker Arin yang tergeletak di atas nakas terus berbunyi membangunkan gadis cantik yang masih berdestinasi di alam mimpinya. Seseorang dari luar mengetuk pintu kamar Arin.
"Nduk, bangun. Udah siang lho," ucap wanita paruh baya dengan suara medhok khasnya.
Seperti dikembalikan nyawanya di dalam raga, Arin terbangun dan langsung terduduk. Ia menoleh ke samping melihat jam. Matanya membuka lebar.
"Mampus....!" teriak Arin melompat dari kasur berlari menuju kamar mandi.
"Gila! gak ada waktu buat ngerjain PR," sungut Arin kesal setelah mandi membersihkan badannya.
Arin memasukkan beberapa buku dengan asal tanpa melihat jadwal. Ia berlarian keluar kamar menuju ruang makan.
"Bibi uang saku Rin mana?" tanya Arin sambil mencomot roti tawar tanpa selai.
"Itu belum dikasih selai Nduk, hambar."
"Cepetan Bi, ngomong sama Rin-nya nanti pulang sekolah aja. Rin udah telat," sahut Arin sembari memakai sepatunya terburu-buru.
Nana si pembantu rumah Arin yang sudah dianggap Arin seperti ibunya sendiri mendekat. Wanita paruh baya itu menyodorkan uang kepada Arin.
"Makanya kalo dibangunin itu jangan kayak kebo. Bilangnya lima menit akhirnya telat juga to Nduk?" nasehat Nana menyalami Arin.
"Rin berangkat dulu ya Bi," pamit Arin mencium pipi Nina dengan penuh kasih sayang.
"Dasinya dibenerin!" seru Nana melihat punggung Arin kian menjauh.
Arin menutup pintu pagar rumahnya lalu berjalan menuju rumah Saka di depannya yang dipisahkan jalan selebar tiga meter. Arin semakin mempercepat langkahnya ketika melihat Rani menyiram tanaman di depan rumahnya.
"Pagi Ma...," sapa Arin tersenyum manis. "Saka mana?"
"Pagi," jawab Rani lembut kemudian menghentikan aktifitasnya. "Saka bukannya ada rapat OSIS pagi ini? Tadi katanya dia udah chat kamu."
Arin menepuk jidatnya setelah teringat jika ponselnya masih berada di kamarnya.
"Aduh! Gimana dong Ma? Rin udah telat, semalem Rin ketiduran."
"Berarti kamu gak tau kalo Saka berangkat duluan?"
Arin menggelengkan kepalanya. "Ya udah Ma, Arin berangkat dulu. Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam hati-hati."
Arin mengangkat jari jempolnya di udara sambil berlari menyebrang jalan. Dia harus kembali ke rumahnya untuk mengambil ponselnya.
"Arin!" panggil Rina membuat Arin menoleh ketika membuka pintu gerbang. "Bareng Kak Sara pergi sekolahnya."
Arin mangut-mangut sambil tersenyum senang sebelum memasuki rumahnya. Dia segera mengambil ponselnya lalu memasuki sebuah mobil berwarna merah milik kakaknya Saka yang bernama Sara.
"Kebiasaan lo," sembur Sara merasa sebal.
Senyum Arin melebar. "Cuma sekali doang Kak," sanggah Arin membela.
"Ikut gue aja ke mall. Sekolah cuma buat lo setres."
"Serius Kak! Rin udah telat. Pleas...," mohon Arin menangkupkan kedua tangannya si udara.
Sara segera menginjak pedal gas membelah jalanan ibu kota Jakarta. Arin tersenyum senang meskipun peluang tidak terlambatnya hanya sebanyak satu persen.
📖📖📖
"ARINA LABILADE!" teriak Bu Mery mendapati Arin di ambang pintu kelas.
"Iya, saya Bu." Arin maju beberapa langkah menelan ludah.
"Kamu sud-"
"Saya telat sepuluh menit Bu, hukuman apa yang Ibu tega berikan kepada Arina Labilade?" tanya gadis itu dengan spontan dan membuat kepanikan seisi kelas yang memperhatikanya.
Arin tidak berpikir bahwa telat sepuluh menit akan menjadi masalah yang akan melibatkan teman sekelasnya. Seolah yang Arin pikirkan telat sepuluh menit di jam pelajaran bu Mery adalah hal biasa.
"Kamu masih ingat kontrak belajar dengan saya 'kan?" tanya Mery dengan nada tegas.
Arin menoleh ke arah bangku Saka, dia akan memberikan pelajaran untuk Saka meskipun dirinya yang salah. Helaan napas berhasil lolos dari bibirnya.
Kontrak yang disetujui saat pelajaran Mery yaitu ketika terlambat tidak boleh ikut pelajaran dan harus mengerjakan tugas seratus soal yang dikumpulkan dalam waktu seminggu.
"Saya gak ikut pelajaran Ibu kok. Saya cuma mau pamit rapat OSIS."
"Terserah kamu," ucap Mery tidak ambil pusing. Beliau kembali menerangkan pelajaran matematika di papan tulis.
Arin menaruh tasnya di bangkunya kemudian keluar kelas setelah berpamit kepada Mery. Neraka yang lebih kejam kali ini jika Arin ke ruang OSIS pasti dia akan dimarahi habis-habisan. Arin memilih pergi ke kantin lantai dasar.
Arin hanya memesan minuman lalu duduk mengamati formulir pendaftaran calon ketua dan wakil OSIS yang sengaja Arin bawa. Gadis itu ragu apakah dia akan mengisi atau hanya sekedar membaca.
"Rin ayo dong! lo kan udah berusaha keras masuk OSIS dan sekarang lo cuma mengisi pendaftaran jadi ketua OSIS masak gak bisa?" lirih Arin menyemangati dirinya.
Padangan Arin berubah kosong saat pikirannya menerawang akan keadaannya jika Arin tetap nekat mengisi pendaftaran tersebut. Setelah perpikir panjang, Arin rasa dia perlu mencobanya.
"Bagus! lo telat dan gak ikut rapat OSIS mau daftarin diri jadi ketua OSIS?"
Suara itu Arin sangat mengenalnya. Seseorang yang baru saja bicara itu duduk di atas meja sambil melipat kedua tangannya di depan perut dengan pandangan sinis tertuju ke arah Arin.
"Mental aja lo!" tandas cowok itu mengambil formulir pendaftaran milik Arin yang sudah terisi setengahnya.
Cowok itu merobek formulir pendaftaran tersebut dengan kejam tanpa perasaan iba sedikitpun. Seketika mata Arin memanas.
📖📖📖
Wadau! masih mau lanjut gak nin?
Follow ig: Dian_Aziiza
1.) cowok kejam itu kira-kira siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT [OPEN PRE-ORDER]
Novela Juvenil"KOK, SEMALEM GUE MIMPI SAYANG SAMA LO, YA?" ~Arin "Jangan berharap, atau lo malah terluka nantinya." ~Langit Dia Langit. Langit terlalu jauh digapai Arin. Sikapnya yang dingin membuat Arin harus mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan b...