03. Puncak MOS

1.9K 123 2
                                        

Langit
"Kamu begitu mengagumkan, bahkan ketika menatapku tanpa sedikit senyuman."
________

"Gue gak tau Ka!" bentak Arin mencoba meyakinkan Saka untuk tidak menuduhnya menghilangkan kunci motor.

"Atau kalau enggak, kuncinya sengaja lo umpetin?" tanya Saka curiga.

"Astaga... demi sianida yang ada di laboratorium, sumpah! gue berani minum kalau gue emang beneran umpetin kunci motor lo!"

"Ya terus mana... lo mau pulang jalan kaki?"

Arin memanyunkan bibirnya beberapa centimeter. Jelas saja Arin tidak mau jika dia pulang jalan kaki. Apa kata orang-orang nanti? Mending, Arin pulang bareng Hanin.

"Kalau Lo tetep marahin gue kayak gini besok gue gak mau lagi berangkat sama Lo," ancam Arin sambil berpangku tangan.

"Heh! yang ada gue gak mau lagi jadi tukang ojek Lo Arina Labilan...!"

"Arina Labilade!" ralat Arin membentak.

"Nama Lo aneh."

"Protes aja sama mama."

Saka memutar bola matanya ke arah Arin, kemudian tangannya merogoh saku celananya mengambil ponselnya. Saka menyentuh touchscreen beberapa saat kemudian mendekatkan ponselnya di depan telinganya.

"Halo mama.... "

"Mama?" beo Arin mulutnya ternganga. Dia memperhatikan saka yang tengah berkomunikasi lewat sambungan telepon dan menghindar beberapa langkah dari posisi Arin.

"Iya soalnya tadi kunci motornya dibuang sama Rin," kata Saka lagi dan nada suaranya masih bisa didengar Arin.

"Dibuang?" Kali ini Arin berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya lalu memutar tubuh Saka hingga 180 derajat sampai berhadapan dengannya.

"Lo ngadu?"

"Ngadu apaan? Lo pikir gue anak kecil?"

"Lo pasti ngadu 'kan?"

Suara deheman dari belakang membuat Saka diam tidak membalas ucapan Arin. Arin itu sejenis manusia keras kepala yang memiliki hobi berdebat, dia akan mempertahankan opininya dan harus menang. Dia paling benci jika dikalahkan lawannya dan saat ini Saka hanya bisa mengalah.

"Lo tetep mau ribut dan gak mau mengikuti rapat OSIS?"

"Gak!" jawab Arin dan Saka secara bersamaan.

"Yakin?" Suara yang semakin terdengar jelas itu membuat Arin melebarkan matanya.

"Kak Langit?" desisnya pelan kemudian menundukkan padangannya. Arin merasa salah menyikapi satu senior itu.

"Cerewet banget lo jadi cowok!" sungut Saka kesal lalu menarik pergelangan tangan Arin menuju ruang sekertariatan OSIS. Arin tidak keberatan kalau Saka menggenggam tangannya. Hal ini sudah biasa untuk Arin yang tadinya pernah mengira bahwa Saka menaruh perasaan padanya.

Mereka itu selalu begitu, meskipun selalu berbebat saling menyalahkan satu sama lain mereka akan kembali baikan secepat mungkit. Bahkan cepatnya melebihi kecepatan sinar cahaya.

Jadi, dua anak dari kelas IPS yang bermimpi menjadi ketua OSIS adalah mereka yang berjalan di depannya. Lihat saja kelakuan mereka seperti apa, lalu bagaimana caranya mereka akan memimpin sebagai ketua OSIS kelak?

"Gue ke tolet dulu, bentar," pamit Saka yang dibalas Anggukan kecil dari Arin. Kemudian Saka melajukan jalannya ke arah toilet.

"Rin," panggil Langit pelan. Sangat pelan, bahkan hanya terdengar seperti desisan.

LANGIT [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang