Selamat membaca kisah Langit
***
Arin tidak pernah melihat Anan sekalut ini selama mengenalnya. Cowok itu semakin menambah kecepatan laju motornya membelah jalan ibu kota yang mulai ramai. Suara klakson terus bersuara saat beberapa motor dan mobil menghalangi jalannya.
"ANAN JANGAN NGEBUT! LO TENANG DULU JANGAN KAYAK GINI NANTI BISA BAHAYA NAN!" Arin semakin mengeratkan pegangannya.
Anan tidak peduli. Cowok itu melajukan motornya seperti kesetanan membuat Arin berkali-kali teriak tapi diabaikan begitu saja. Beberapa menit kemudian mereka sampai di halaman parkiran rumah sakit membuat Arin bernapas lega karena sampai di tempat tujuan dengan selamat.
"Anan, siapa yang sakit kenapa lo gak jawab?" Arin bertanya sambil melepas helmnya.
"Lo bisa diem dulu gak? Kalau gak lo pulang aja kenapa sih?" kata Anan. Arin terkesiap mendengarnya.
Sikap Anan hari ini memang di luar pemikirannya. Mulai pagi-pagi sekali menjemputnya, merendahkan dirinya hingga membentak-bentak seperti ini membuat Arin tidak mengenal Anan yang sesungguhnya siapa cowok itu sebenarnya.
"Udah ayo ikut gue," ajak Anan menggenggam tangan Arin menuju gedung rumah sakit.
Arin hanya pasrah mengikutinya dari belakang. Rasanya aneh Anan bersikap seperti ini padanya, rasanya tidak rela padahal Arin tau Anan itu bukan siapa-siapanya. Anan hanya memperalat Arin, cowok tidak mungkin menaruh perasaan padanya. Tapi bagaimana dengan perasaan Arin? Ah! entahlah.
"Hilda?" bisik Arin terkejut melihat siapa yang didatangi Anan. Mengingat cowok itu hampir setengah gila mendengar kabar dari sambungan telepon tadi. Jadi untuk Hilda?
"Lo tunggu di sini bentar ya," ucap Anan. Arin mengangguk.
Tidak lama, karena setelahnya Anan datang memapah Hilda dalam rangkulannya membuat Arin berdiri dari tempat duduknya. Masih tidak mengerti dengan situasi yang terjadi. Cewek itu menghampiri Anan.
"Gue minta tolong jagain Hilda mau? Kalian naik taxi nanti gue yang nyusul dari belakang," kata Anan. Arin mengangguk lagi.
Arin dan Hilda duduk di dalam taxi yang akan membawanya ke rumah Anan sesuai instruksi cowok itu. Sedangkan Anan sendiri mengikutinya dari belakang seperti apa yang tadi ia bilang. Arin menoleh ke samping.
"Tadi gimana kronologinya bisa jatuh?" tanya Arin membuka topik pembicaraan. Cewek di sampingnya itu menoleh dan melihat luka lecet di bagian lututnya.
"Tadi kak Leo dorong aku, tapi Kak Arin jangan bilang ke Anan ya?" Cewek itu terlihat khawatir juga ketakutan membuat Arin memandang sebentar lalu mengangguk.
"Jangan bilang beneran ya?" mohon Hilda membuat Arin menjawab, "Iya kamu tenang aja, aku gak bakal bilang sama Anan."
"Makasih Kak Arin baik," ucap Hilda kepada Arin.
Setelah itu keduanya hanya saling diam di sepanjang perjalanan. Beberapa menit kemudian mereka sampai di depan gerbang rumah Anan yang besar dan cukup luas.
****
Gerka masuk ke dalam kamar kost Langit dengan rusuh. Cowok itu tidur terlentang di atas kasur Langit sambil menatap Langit. Gerka sudah memanggil-manggil Langit tapi tidak ada sahutan sama sekali membuat Gaksan duduk dan memperhatikan Langit. Cowok itu sedang duduk di atas lantai dan bersandar pada dinding di belakangnya.
"Tumben nggak belajar. Biasanya juga pacaran terus sama buku sampe temennya ngomong aja nggak digubris," celetuk Gerka membuka topik bicara.
Langit diam tidak menyahut. Bahkan untuk menoleh pun enggan membuat Gerka berdecak sebal. Benar-benar tidak digubris.
"Mulut lo ada lem tikus apa gimana Lang?" tanya Gerka.
"Lo bego apa gimana? Kalo gue ngelem udah pasti gue mabok," jawab Gerka sendiri.
Langit menatap Gerka dengan pandangan aneh. Kesal juga dengan kelakuan absurt Gerka yang nggak pernah sembuh-sembuh. Gerka cengengesan mendapat tatapan seperti itu dari Langi.
"Lang, gue mau ngomong serius nih!" ujar Gerka. Raut wajahnya tiba-tiba berubah serius. Langit menunggu Gerka berbicara tanpa menjawab.
"Lo nggak ada niatan mau pulang Lang? udah hampir tiga bulan lo kost di sini tapi lo nggak pernah pulang sama sekali. Lo nggak kangen sama orang tua lo gitu?"
"Nggak penting," jawab Langit singkat, cuek dan terkesan tidak peduli.
Orang tua Langit sudah bercerai sejak Langit sekolah SMP. Langit memilih tinggal bersama ayahnya daripada sama ibunya yang berkhianat. Namun saat Langit kelas 11 ayahnya meminta izin untuk menikah lagi, tapi Langit menolak. Dia tidak mau memiliki ibu tiri yang jahat seperti yang ada di sinetron-sinetron itu. Langit kemudian tinggal sendiri di kost meski ayahnya tidak jadi menikah karena penolakannya.
"Nggak penting gimana Lang? Dia itu orang tua lo. Kualat lo ngomong kayak gitu," ceramah Gerka.
"Kalau ada masalah itu diselesaikan jangan malah diperpanjang. Masalah lo nggak akan selesai kalau cuma dibiarin dan didiemin aja," kata Gerka bijak. "Hidup emang gitu Lang, akan selalu ada masalah biar lo bisa tau gimana caranya bangkit. Masalah itu cuma jalan supaya hidup lo bener, biar hidup lo ada tujuan dan capaian. Itu sebabnya kenapa lo harus belajar matematika. Sesulit-sulitnya soal, pasti ada jawaban asal lo mau berusaha aja."
Ucapan Gerka itu mampu membuat Langit terdiam cukup lama. Juga memikirkan kesalahan-kesalahan yang dia perbuat selama ini. Keegoisannya yang sudah melekat erat pada dirinya itu hanya membuat Langit hidup tanpa arti dan makna.
"Lo dengerin gue ngomong enggak sih Lang? Capek gue ngomong sama lo!" Gerka sebal sendiri karena tidak direspon.
"Gue tau," jawab Langit. Lagi-lagi singkat kayak nggak punya kosa kata di kepalanya.
"Tau apa?" pancing Gerka.
"Omongan lo."
"Emang apa yang gue omongin?" Gerka bertanya dengan gaya menantang.
"Lo bisa diem nggak sih?! Keluar aja dari kamar gue!"
"Astaghfirullah... Gini amat punya temen. Sekali ngomong kayak temennya nggak punya kuping aja. Santai dong," protes Gerka lalu bangkit berdiri dari kasur Langit. "Pergi ajalah gue. Males ngomong sama tembok."
Langit menatap Gerka sampai cowok itu pergi dari kamarnya dan menutup pintu. Memang kehidupan Langit akan seperti itu, ditinggal oleh orang-orang terdekatnya.
📖📖📖
VOTE DAN KOMENNYA SANGAT MEMBANTU
MOHON BERI DUKUNGANNYA.See you next part
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT [OPEN PRE-ORDER]
Teen Fiction"KOK, SEMALEM GUE MIMPI SAYANG SAMA LO, YA?" ~Arin "Jangan berharap, atau lo malah terluka nantinya." ~Langit Dia Langit. Langit terlalu jauh digapai Arin. Sikapnya yang dingin membuat Arin harus mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengatakan b...