1. Abai

12.1K 476 14
                                    

PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah.



1279 Saka / 1357 M

Burung yang berkicau di langit biru terlihat begitu menenangkan hati siapapun, burung – burung itu menyanyikan sebuah melodi abstrak yang berhasil menghantaskan sebuah ketenangan yang begitu hakiki pada siapapun yang mendengarnya. Namun sayang, kicauan indah tersebut nampaknya tak berhasil memberikan rasa tenang kepada seorang wanita yang tengah duduk di atas ranjangnya dengan kedua kaki yang tertekuk tinggi – tinggi.

Surai hitam nan panjang milik wanita itu jatuh menjuntai menutupi wajah manisnya yang tak diliputi dengan gairah kehidupan. Jika saja ia bisa bertemu dengan Dewa Brahma, tanpa ada sedikitpun rasa keraguan, wanita itu akan menjawab dengan lantang bahwa ia ingin menukar kehidupannya ini dengan kehidupan burung yang selalu terlihat bebas dan bahagia di setiap detik.

Tes.

Kristal bening itu kembali jatuh dari netra hitam wanita itu, sudah tak terhitung berapa kali ia menangis dalam rentang waktu seminggu belakangan ini. Ia lelah, ia tak ingin menangis, namun hati dan kedua matanya selalu mengkhianati dirinya.

"Paduka Sri Rajasanegara memasuki ruangan!"

Kalimat yang diucapkan dengan penuh lantang itu berhasil menyentak wanita bersurai hitam tersebut. Dengan gerakan cepat, wanita itu mengangkat kepalanya, merapikan rambutnya dan menghapus kasar jejak – jejak air mata yang menghiasi wajahnya.

Namun sayang, terlambat sudah.

"Kau menangis lagi, Dewi?"

Deg.

Jantung wanita itu, Sri Sudewi, berpacu begitu cepat ketika kedua indra pendengarannya menangkap sebuah pertanyaan dari bibir saudara sepupunya, dari bibir seorang penguasa yang digadang – gadang sebagai penguasa terbaik dari Kerajaan Majapahit.

Sri Sudewi mengabaikan pertanyaan penguasa termasyur yang dimiliki oleh Majapahit itu, ia tau bahwa ini terdengar tak sopan, namun Sri Sudewi rasanya tak ingin membagi kesedihannya kepada orang lain, walaupun pria yang berada di dalam kamarnya saat ini sudah mengetaui betul apa penyebab air mata kembali menetes dari netra hitam Sri Sudewi.

Sri Sudewi bangkit dari tempat tidurnya, dengan gerakan anggun, wanita itu bersimpuh di atas lantai kamarnya yang terasa begitu menusuk kulit. Sri Sudewi menundukkan kepalanya dalam – dalam, membiarkan helai rambut hitamnya menutupi wajahnya yang masih terlihat begitu sembab.

"Saya menyambut kedatangan Paduka Sri Rajasanegara," ucap Sri Sudewi sembari menguatkan suaranya yang terdengar begitu bergetar.

Ah... Sri Sudewi sangat benci terlihat begitu lemah seperti ini.

Tak ada jawaban dari sang penguasa Majapahit sedang berdiri tepat di hadapan Sri Sudewi itu. Sri Sudewi tetap mempertahankan posisi menunduknya, hingga kedua netra hitam milik wanita itu tanpa sengaja menangkap kedua kaki pria itu yang dibalut dengan jipsin benang emas melangkah mendekati dirinya.

Sri Sudewi menggigit bibir bawahnya, menahan dirinya untuk tidak kembali menangis saat wanita itu dapat merasakan bahwa sang penguasa Majapahit telah berlutut tepat di hadapan Sri Sudewi, mencoba untuk menyamakan tinggi tubuhnya dengan wanita itu.

Tangan kekar milik penguasa Majapahit itu terulur untuk mengangkat dagu Sri Sudewi dengan gerakan yang begitu lembut, Sri Sudewi terlihat begitu kecil dihadapan pria kekar itu, membuat Sri Sudewi tak sanggup untuk menolak sentuhan dari sang penguasa Majapahit.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang