13. Cantik

997 130 13
                                    

Deg. Deg. Deg.

Jantung Dyah Pitaloka kembali berdebar dengan begitu kuatnya ketika kedua netra hitam milik wanita itu kembali menatap pintu masuk dari area Candi Penataran. Wanita cantik itu menggigit bibir bawahnya, ia begitu menantikan sosok seorang pria bertubuh kekar memasuki pintu masuk itu.

Sesekali, kedua netra hitam milik Dyah Pitaloka akan melemparkan kode kepada pelayan wanita yang sedang berdiri kaku di sampingnya. Dari kedua netra hitamnya, Dyah Pitaloka selalu bertanya tentang penampilannya di siang hari yang terasa sejuk ini dan tentu saja, pelayan tersebut akan menjawabnya dengan sebuah anggukan serta senyuman manis.

Di pertemuan pertamanya dengan pria kekar itu, Dyah Pitaloka telah menghabiskan waktu berjam – jam agar ia dapat memberikan kesan pertama yang terbaik untuk penguasa Kerajaan Majapahit itu. Tentunya, menjadi satu – satunya Putri Kerajaan yang akan naik menjadi kandidat permaisuri Kerajaan Majapahit secara tidak langsung telah membuat Dyah Pitaloka untuk dituntut agar dapat berpenampilan menarik.

"Paduka Sri Rajasanegara dari Majapahit akan memasuki ruangan!"

Seruan gagah dari seorang prajurit yang berjaga tepat di depan pintu masuk area Candi Penataran itu berhasil membuat kedua netra Dyah Pitaloka membelalak untuk seperkian detik, namun dengan cepat dan anggun, Dyah Pitaloka bangkit dari posisi duduknya. Wanita itu menundukkan punggungnya, memberikan tanda hormatnya kepada penguasa yang hampir menaklukkan seluruh wilayah Nusantara.

"Dyah Pitaloka Citraresmi dari Sunda menyampaikan salamnya kepada Paduka," ucap Dyah Pitaloka sembari mempertahankan posisi membungkuknya.

"Saya menerima salam anda, Putri Dyah Pitaloka,"

Deg.

Dada Dyah Pitaloka berdesir hangat ketika suara yang terdengar begitu maskulin itu masuk ke dalam gendang telinganya. Boleh 'kah Dyah Pitaloka melabeli dirinya sebagai salah satu wanita paling beruntung di Kerajaan Sunda karena telah berhasil mendengar suara dari penguasa Majapahit itu?

"Tak perlu membungkuk terlalu lama, Putri. Saya mungkin tak akan mampu kembali menegakkan punggung anda, nantinya," ucap Hayam Wuruk sembari tersenyum kecil ketika ia mendapati wanita yang telah mencuri hatinya pada pandangan pertama itu masih setia membungkukkan punggungnya.

Blush!

Kedua pipi Dyah Pitaloka terasa begitu panas. Tanpa sadar, Dyah Pitaloka menggigit bibir bawahanya saat wanita itu mulai menegakkan tubuhnya dengan gerakan yang begitu lambat. Dengan sedikit rasa keberanian yang masih tersisa di dalam dirinya, Dyah Pitaloka memberanikan dirinya untuk menatap wajah pria yang telah berhasil membuat pipinya bersemu merah.

Deg.

Sepertinya, Sang Hyang Widhi Wasa sedang tak berpihak pada Dyah Pitaloka. Tepat disaat Dyah Pitaloka mengarahkan pandangannya 'tuk menatap wajah Hayam Wuruk, tak disangka – sangka, pria itu juga ikut menatap kedua netra hitam milik Dyah Pitaloka.

Kedua netra hitam mereka saling beradu seperkian detik, hingga sebuah senyum kecil yang terpatri di wajah tampan nan kokoh milik Hayam Wuruk berhasil menyentak Dyah Pitaloka dari kekagumannya. Lagi, wajah wanita itu semakin bersemu merah.

"Silahkan duduk, Putri," ucap Hayam Wuruk dengan senyum kecil yang masih terpatri di wajahnya.

Salah tingkah, Dyah Pitaloka tak lagi berani mengangkat kepalanya saat ia menghempaskan bokongnya tepat di atas bantalan empuk yang sedari tadi di dudukinya.

Sadar dengan kecanggungan yang tercipta di antara mereka, Hayam Wuruk kemudian berinisiatif memberikan perintah kepada para pelayan yang ada disana untuk menyiapkan makanan serta buah – buahan segar di atas meja kayu yang telah membatasi Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang