Bub. Bub. Bub.
Suara batu yang beradu dengan air memecah keheningan yang tercipta di kawasan Sungai Berantas. Langit Kerajaan Majapahit yang mulai dihiasi warna jingga, beberapa kawanan burung yang terlihat sedang terbang menuju tempat awalnya, suara gesekan daun pepohonan yang tercipta akibat semilir angin lembut, semua ini benar – benar begitu menenangkan jiwa Sri Sudewi.
Bub.
Batu lainnya dilemparkan oleh Sri Sudewi. Aliran Sungai Berantas yang terlihat begitu tenang itu seketika menciptakan riak saat Sri Sudewi melemparkan batunya. Senyum bahagia terpatri di wajah Sri Sudewi, ia merasa begitu bahagia dan bebas, nampaknya, dinding istana yang terdiri dari bebatuan mahal itu tak cocok untuk jiwa Sri Sudewi.
Dengan senyum bahagia yang terpatri di wajahnya, tangan Sri Sudewi kembali terangkat, menyembunyikan batu kecil di dalam kepalan tangannya dan bersiap untuk melemparkannya, namun sebelum itu terjadi, tangan Sri Sudewi ditahan oleh sebuah tangan kekar.
Deg.
Jantung Sri Sudewi berdegub dengan begitu kencangnya. Secara naluriah, Sri Sudewi menatap sosok yang telah menahan pergerakan tangannya. Wanita itu tersentak kaget ketika ia melihat pria berbadan kekar tengah menatapnya dengan tatapan tak suka.
"Aku tak peduli jika kau anak seorang tuan tanah atau anak Raja sekalipun, namun perbuatanmu ini telah merusak keindahan Sungai Berantas," ucap pria berbadan kekar itu dengan nada kesal yang terselip di dalam setiap kata yang diucapkannya.
Sri Sudewi mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia binggung, tentu saja, ia bahkan sangat sangat binggung. Bagaimana bisa seseorang yang tak mengenalinya malah memarahinya? Setidaknya, sebelum menegur Sri Sudewi, seharusnya pria itu menunjukkan sedikit kesopanannya kepada Sri Sudewi yang notabenenya merupakan seorang wanita.
"Apa kau bisu?"
Kedua netra Sri Sudewi membelalak ketika ia mendengar pertanyaan tak sopan yang keluar dari mulut pria itu. Dengan cepat, Sri Sudewi menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu berbicaralah!" titah pria berbadan kekar itu sembari menatap lurus kedua netra hitam milik Sri Sudewi.
"Eumh... malam?" lirih Sri Sudewi ragu sembari memperhatikan lamat – lamat reaksi dari pria berbadan kekar yang tak memiliki kesopanan itu.
Hah!
Pria berbadan kekar itu menghela nafasnya kasar, dengan tak berperasaannya, pria berbadan kekar itu menghempaskan lengan Sri Sudewi dengan gerakan sedikit kasar. Lagi lagi, Sri Sudewi tersentak kaget akibat perlakuan pria itu.
Sepanjang Sri Sudewi menghembuskan nafasnya di dunia ini, wanita itu tak pernah mendapatkan perlakuan kasar dari siapapun, terutama dari pria. Meskipun Sri Sudewi tau bahwa banyak orang yang tak menyukai keberadaannya, namun mereka tak pernah berani bertindak kasar pada Sri Sudewi.
Bugh!
Pria berbadan kekar itu menjatuhkan tubuhnya tepat disamping Sri Sudewi, ia ikut duduk di atas hamparan rumput – rumput liar, sama seperti yang dilakukan oleh Sri Sudewi sedari tadi.
"Sebelum kau menciptakan suara – suara bodoh itu, aku benar – benar menikmati mimpi indahku, namun seketika kau merusaknya," adu pria berbadan kekar itu tanpa diminta.
Sri Sudewi meringis kecil sembari menatap sekilas wajah pria berbadan kekar yang sedang duduk disampingnya itu.
"Tak ingin meminta maaf, heh?" tanya pria berbadan kekar itu sembari melemparkan tatapan tajamnya kepada Sri Sudewi.
"Maafkan saya. Saya tidak bermaksud untuk merusak keindahan Sungai Berantas dan... saya juga tidak bermaksud untuk menganggu mimpi indah anda, Tuan," ucap Sri Sudewi sembari menatap pria berbadan kekar itu dengan tatapan bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...