Drap! Drap! Drap!
Langkah kaki yang terdengar begitu terburu – buru mengisi keheningan hutan belantara yang berada tak jauh dari Pesanggrahan Bubat. Dyah Pitaloka beserta beberapa pelayan wanitanya akhirnya memilih untuk melarikan diri dari perkemahan mereka yang berada di Pesanggrahan Bubat, perkemahan yang kini telah terlihat begitu luluh lantah. Darah manusia tertumpah dimana – mana, api yang begitu panas membakar perkemahan itu.
Brugh!
Tak tau sudah berapa lama mereka berlari, hingga kedua kaki jenjang terasa semakin melemah dan terjatuh tak berdaya di atas tanah kering hutan belantara itu.
"Tuan Putri!" seru para pelayan ketika mereka mendapati sang putri jatuh tak berdaya di hadapan mereka. Dengan sigap, para pelayan itu mencoba untuk membantu Dyah Pitaloka agar bangkit kembali, tetapi ketika mereka menyentuh pundak Sang Putri, mereka menemukan pundak itu bergetar hebat. Sang Putri Sunda kembali menangisi nasibnya.
"Kenapa aku bisa begitu bodoh dan buta? Rasa cintaku kepada Hayam telah membutakanku akan segala pengkhianatan ini. Aku bahkan merelakan harga diriku, aku mendatangi rumah calon suamiku, tetapi bukannya pelukan hangat yang 'ku terima, aku malah menerima darah keluargaku sendiri!" raung Dyah Pitaloka di tengah – tengah tangisannya.
Para pelayan wanita yang menggerubuni Dyah Pitaloka terlihat begitu membisu, akan tetapi kedua netra mereka berkaca – kaca, kesedihan yang luar biasa tengah menghantam Kerajaan Sunda.
"Mengapa ini semua terjadi padaku?! Kesalahan apa yang telah 'ku perbuat?" raung Dyah Pitaloka seraya mendongakkan wajahnya dan menatap langit biru dengan tatapan putus asa. Dyah Pitaloka merasa muak, bahkan langit yang terlihat begitu cerah tersebut seolah – olah sedang mengolok kekalahan Kerajaan Sunda.
"Tuan Putri!" seru salah seorang pelayan sesaat sebelum pelayan tersebut bergerak untuk memeluk tubuh Dyah Pitaloka yang sedari tadi bergetar hebat.
Satu demi satu para pelayan wanita yang berada disana bergerak memeluk tubuh Dyah Pitaloka. Mereka menangis dan meraung bersama, menyesali betapa kejinya takdir yang telah ditorehkan kepada Kerajaan Sunda.
Binatang – binatang liar yang memenuhi hutan belantara itu tampak terganggu dengan raung kesedihan Dyah Pitaloka, mereka berkeluaran dati tempat tinggalnya, namun tak ada satupun binatang liar yang berani mendekati Dyah Pitaloka. Binatang – binatang liar itu juga mengeluarkan suara nyaring mereka, binatang – binatang liar itu seperti sedang bersedih hati di atas kejadian yang tengah menimpa Dyah Pitaloka.
. . . BUBAT . . .
"Nona Larasasti, bisakah kau sedikit menceritakan tentang kondisi Tanah Bali kepadaku?" tanya Sri Sudewi sembari menatap lurus Ni Kadek Larasasti yang sedari tadi duduk tegak di hadapannya.
Ni Kadek Larasasti sempat tersentak, sedikit terkejut, sesaat sebelum seutas senyuman sopan menghiasi wajah perempuan Bali tersebut.
"Tanah Bali... Banyak sekali perantau asing yang mengunjunginya, mereka biasanya menggunakan jalur laut untuk bisa sampai di Tanah Bali," terang Ni Kadek Larasasti.
"Apakah orang asing dan pribumi saling hidup berdampingan?" tanya Sri Sudewi penasaran seraya melemparkan tatapan penuh perhatiannya kepada Ni Kadek Larasasti.
"Beberapa yang berjodoh, mereka akan menikah dan tinggal di Tanah Bali, ada juga yang dibawa ke negeri asing. Namun, mereka yang menikah hanyalah mereka yang memiliki kasta maupun memiliki jabatan penting di pemerintahan," terang Ni Kadek Larasasti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...