Srekt!
Sepasang netra hitam milik Arya menutup dengan begitu erat saat pedang yang berada di dalam genggaman tangan kekarnya kembali menembus jantung seorang manusia. Pria itu menyebut nama Sang Khalik setiap noda darah terciprat pada tubuhnya.
"Tuan, beberapa pemberontak yang tersisa telah kabur dari desa,"
Kedua netra hitam milik Arya yang sedari tadi terpejam erat lantas terbuka. Dengan gerakan cepat, pria bertubuh kekar itu mengalihkan pandangannya dari mayat manusia yang berada tepat di hadapannya.
"Apa kita sudah dapat kembali ke tenda peristirahatan?" tanya Arya sembari menatap salah seorang pengawal Kerajaan Majapahit yang diangkat menjadi ajudannya dalam menumpas pemberontak di Desa Bedenter ini.
"Tentu, tuan!" seru sang pengawal yang nampaknya telah memahami rasa muak yang selalu menghampiri Arya setiap pria itu menghunuskan pedangnya pada seorang manusia.
Tanpa mengatakan apapun, Arya melemparkan pedang yang berada di dalam genggamannya kepada pengawal tersebut. Dengan langkah yang terkesan terburu – buru, Arya meninggalkan medan pertempuran yang saat ini telah dihiasi dengan keberadaan tubuh tak bernyawa milik para pemberontak.
Sesampainya di dalam tenda peristirahatan, tanpa membuang – buang banyak waktu lagi, Arya langsung membuka baju jirah bernoda darah yang melekat pada tubuh kekarnya serta berbagai penutup tubuh lainnya. Dengan gerakan kasar, Arya melemparkan segala benda yang tampak mengerikan itu.
Kedua kaki kekar milik putra tunggal Mahapatih Gajah Mada tersebut melangkah menuju sebuah bak mandi yang terdapat di dalam tenda peristirahatannya, sebuah bak mandi beraroma susu serta rempah - rempah. Aroma yang diminta khusus oleh Arya agar indra penciuman milik pria itu tak lagi menyium bau anyir darah pada setiap inchi kulitnya.
Dari langit yang masih berwarna oranye hingga rembulan bersinar, Arya menghabiskan seluruh waktunya 'tuk membersihkan diri. Pria itu benar – benar memastikan bau anyir darah tak lagi tercium pada tubuhnya, walaupun pria itu juga tau bahwa saat mentari menyapa di esok hari, ia akan kembali berkubang dalam kubangan darah manusia.
Setelah Arya merasa bahwa bau anyir darah tak lagi tercium pada kulitnya, pria itu langsung menyelesaikan kegiatan berendamnya. Dengan gerakan yang tak lagi terburu – buru, Arya mengenakan sebuah sarung 'tuk menutupi bagian bawah tubuh kekarnya. Namun, pergerakan santai pria itu terhenti saat kedua netranya tanpa sengaja menangkap sebuah cincin yang melingkari jari kekarnya.
Sri Sudewi.
Dua suku kata itu berhasil menciptakan sebuah desiran aneh pada hati Arya. Rasa rindu yang terasa begitu biru mendominasi perasaan pria itu. Jika saja saat ini Arya diberi tawaran 'tuk kembali lebih cepat menuju istana Majapahit, tanpa pikir panjang, Arya pasti akan menerima tawaran tersebut.
Saat ini, kira – kira kegiatan apa yang sedang dilakukan oleh wanita pujaan hati Arya itu? Apakah ia sedang bergelut dengan berbagai kata – kata indah kakawin? Apakah ia sedang melempari batu di sungai? Atau... apakah ia juga sedang merindukan Arya? Seperti Arya sedang merindukan wanita itu?
Sri Sudewi.
Sungguh, tak pernah terlintas di dalam benak Arya jika pria itu harus menyalahi prinsip yang telah dipegangnya dengan teguh dalam hidup hanya karena eksistensi seorang wanita. Mungkin, Arya yang dulu akan menertawai Arya saat ini. Ah... wanita benar – benar makhluk yang begitu luar biasa.
"Tuan Arya,"
Sekelebat wajah Sri Sudewi yang menghiasi akal pikiran Arya seketika memburam saat kedua indra pendengaran milik pria bertubuh kekar itu menangkap suara seorang wanita menyebut namanya dengan begitu ayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...