5. Cantik

1.4K 156 4
                                    

Seharusnya, saat ini Sri Sudewi dapat merasakan sejuknya angin pagi yang menyusup dari balik jendela kayu kamarnya, namun sayang, keberadaan seorang wanita yang usianya tak jauh dari Sri Sudewi berhasil merusak ketenangan Sri Sudewi.

Sri Sudewi mencoba untuk tetap fokus dalam kegiatannya, menulis kakawin untuk para brahmana, namun nampaknya, apa yang dilakukan oleh Sri Sudewi itu sia – sia. Saudari tiri Sri Sudewi, Indudewi, nampak tak begitu memikirkan Sri Sudewi yang sedang berusaha keras untuk merangkai kata – kata indah, wanita itu terlihat begitu bahagia memainkan guzhengnya.

Meski Sri Sudewi termasuk ke dalam tipe individu yang sangat jarang membicarakan orang lain, namun Sri Sudewi tidak begitu tak acuh, samar – samar, wanita itu juga sering mendengar berita panas yang sedang diperbincangkan oleh para pelayan yang sedang membersihkan pekarangan taman istana Kerajaan Majapahit.

Sri Sudewi tau, guzheng yang tengah dimainkan oleh Indudewi itu merupakan hadiah pemberian utusan Kaisar Hongwu dari Dinasti Ming. Sejujurnya, Sri Sudewi tak tau apa motif dibalik pemberian hadiah itu kepada Indudewi karena setau Sri Sudewi, Indudewi tak pernah memberikan kontribusi yang berarti dalam hubungan antara Majapahit dan Tiongkok, ya... kecuali jika menari di hadapan para utusan Dinasti Ming merupakan sebuah kontribusi penting, maka Indudewi memang pantas mendapatkan guzheng bertali emas itu.

"Sudewi, sudah sepatutnya kamu mempelajari cara memainkan alat musik. Minimal, satu alat musik,"

Rangkaian kalimat yang diucapkan oleh Indudewi berhasil mendorong Sri Sudewi untuk mendongakkan kepalanya. Kedua netra hitam milik Sri Sudewi langsung tertuju pada sosok saudari tirinya yang tengah memainkan guzheng dengan tangan – tangan lentiknya, kedua netranya terpejam rapat namun bibirnya menarik sebuah senyuman.

Cantik. Benar – benar cantik.

Jika dibandingkan dengan Indudewi, mungkin Sri Sudewi lebih cocok menjadi dayang wanita itu. Kecantikan yang dimiliki oleh Sri Sudewi memang tak ditawar – tawar lagi, bahkan banyak kerajaan yang telah mengakui kecantikannya.

"Sebagai seorang wanita, kita harus dapat memberikan hiburan yang terbaik kepada pria. Pria tak menyukai kakawin yang memiliki makna tersirat, mereka lebih menyukai alunan musik dengan seorang wanita yang menari mengikutinya," ucap Indudewi masih dengan kedua netranya yang terpejam rapat.

"Wanita tak diberikan kewajiban untuk memberikan hiburan kepada pria," ucap Sri Sudewi sembari menatap wajah cantik Indudewi dengan kedua netra hitamnya yang telah dipenuhi binar – binar protes.

"Tau apa kamu tentang itu Sudewi?"

Deg.

Jantung Sri Sudewi berdegub begitu kencang ketika kedua netra hitamnya bertubrukkan dengan kedua netra hitam milik Indudewi yang kini telah terbuka lebar. Indudewi menatapnya dengan tatapan dingin, tatapan yang memang selalu ditujukan oleh wanita itu kepada siapapun.

"Sepertinya kamu harus lebih banyak mengikuti acara kerajaan dan disaat itulah mungkin kamu akan sadar bagaimana posisi wanita di depan pria,"

Tubuh Sri Sudewi membeku ketika ia mendengar nada keseriusan yang terselip di dalam setiap kata yang diucapkan oleh Indudewi. Kali ini, Sri Sudewi tak ingin menyangkal ucapan Indudewi, karena memang kenyataannya, Sri Sudewi tak mengetahui apapun tentang acara kerajaan dan posisi wanita di depan pria.

"Aku tak ingin menakut – nakuti dirimu Sri Sudewi, namun kita adalah putri kerajaan. Takdir kita telah digariskan, kita harus menikah dengan pria yang tidak kita cintai hanya untuk kepentingan kerajaan dan disaat itu... yang kita punya hanya bagaimana cara bertahan di dalam harem tanpa cinta dari suami kita sendiri," ucap Indudewi dengan sebuah senyum kecil di wajahnya.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang