Terhitung sudah 7 hari semenjak Hayam Wuruk mengajak Sri Sudewi untuk melukis wajah bersama dan selama 7 hari ini juga, Sri Sudewi tak pernah bertemu dengan Hayam Wuruk. Bukannya Sri Sudewi ingin berbangga diri, namun, diantara seluruh anggota kerajaan yang tinggal di istana, Sri Sudewi lah satu – satunya anggota kerajaan yang sangat sering dikunjungi oleh Hayam Wuruk. Pria itu, Hayam Wuruk, sangat sering mendatangi kamar Sri Sudewi untuk mengajak wanita itu saling bertukar pikiran atau untuk sekedar mengecek keadaan wanita itu.
Namun semenjak kepulangan mereka dari penginapan Sungging Prabangkara, Hayam Wuruk tak pernah mengunjunginya. Hal ini tentu saja memunculkan kegundahan di dalam hati Sri Sudewi, wanita itu mulai memikirkan tentang kesalahan yang mungkin telah dilakukannya pada Hayam Wuruk. Apakah perkataan wanita itu tempo hari telah menyinggung ego Hayam Wuruk? Sungguh, Sri Sudewi sangat penasaran!
Sri Sudewi mengetuk – ngetuk jari telunjuk tangan kanannya pada punggung tangan kirinya, mulai menimbang – nimbang keputusannya untuk keluar dari kamar dan mencari Hayam Wuruk. Perlu diketahui, Sri Sudewi sangat jarang keluar dari kamarnya, wanita itu sangat takut ketika harus berhadapan dengan anggota kerajaan lainnya yang tak jarang memberikan sorot tak suka mereka pada Sri Sudewi.
"Sri Sudewi, kau pasti dapat melakukan ini. Kau hanya perlu keluar kamar, menundukkan kepalamu selama kau melangkah, lalu kau akan memasuki kamar Hayam Wuruk. Semudah itu. Kau tak perlu takut, tak akan ada yang menghinamu," ucap Sri Sudewi pada dirinya sendiri.
Setelah berusaha untuk meyakinkan dirinya, Sri Sudewi akhirnya menghela nafas dan mulai memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Dan benar saja. Saat kedua telapak kaki Sri Sudewi telah menginjak area di luar kamarnya, banyak pasang mata yang menyoroti dirinya dengan begitu terang – terangan.
Rasa cemas dan takut itu kembali menghantam Sri Sudewi. Tanpa disadari, wanita itu telah meremas erat sisi – sisi rok kain linen panjangnya, kedua kaki jenjangnya melangkah dengan begitu cepat, seolah – olah saat ini wanita itu tengah dikejar oleh sosok yang dapat membunuhnya.
Sri Sudewi melangkah, melangkah dan terus melangkah, hingga akhirnya ia menemukan pintu kamar Hayam Wuruk yang tengah dijaga oleh pasukan khusus bhayangkara.
"Saya... saya ingin bertemu dengan Paduka Sri Rajasanegara," ucap Sri Sudewi sembari berusaha untuk tetap menatap wajah datar dari pasukan bhayangkara yang sedang berjaga tepat di depan pintu kamar Hayam Wuruk.
"Tunggu sebentar, Putri," ucap salah satu pasukan bhayangkara itu yang dibalas dengan sebuah anggukan oleh Sri Sudewi. Pasukan bhayangkara itu kemudian masuk ke dalam kamar Hayam Wuruk, menanyakkan kesediaan sang Raja jika Sri Sudewi menganggu waktu senggangnya.
Sri Sudewi mewanti – wanti jawaban dari sang pasukan bhayangkara dan selama ia menunggu, ia merasakan keringat dingin mulai menjalari kedua telapak tangannya. Wanita itu masih dibayang – bayangi oleh tatapan – tatapan hina yang selalu menghujaminya selama ia tinggal di dalam istana.
"Silahkan masuk, Putri," ucap pasukan bhayangkara tadi sesaat setelah pria itu keluar dari kamar Hayam Wuruk.
"Terimakasih," gumam Sri Sudewi kecil sembari melangkahkan kedua kakinya memasuki kamar Hayam Wuruk.
Deg.
Baru beberapa langkah, kini Sri Sudewi telah berdiri mematung di dalam kamar Hayam Wuruk. Kedua netra hitam milik wanita itu terpaku pada sebuah lukisan yang dipajang dalam kamar Hayam Wuruk, lukisan wajah yang begitu cantik, lukisan yang sebelumnya tak pernah Sri Sudewi lihat.
"Bukankah dia terlihat begitu cantik? Lukisannya saja telah berhasil membuatku berdecak kagum," pujian Hayam Wuruk itu menyambut kedatangan Sri Sudewi, menyadarkan wanita itu akan keterpakuannya pada sosok cantik lainnya yang telah merebut kepercayaan dirinya sebagai seorang wanita.
"Ya, sangat cantik," ucap Sri Sudewi tanpa dusta sedikitpun.
Kedua netra hitam milik Sri Sudewi terpaku pada sosok cantik yang berada di lukisan itu. Dulu, Sri Sudewi mengira bahwa saudari tirinya, Indudewi, merupakan wanita tercantik diantara seluruh wanita yang ada di tanah Nusantara, namun, setelah Sri Sudewi menatap lukisan di kamar Hayam Wuruk tersebut, Sri Sudewi sadar bahwa masih ada lagi sosok wanita yang lebih cantik dari Indudewi.
Oh, Dewa... mengapa kau selalu mempertemukanku yang buruk rupa ini dengan orang – orang berparas luar biasa? Apa kau hendak melihat diriku jatuh ke dalam lubang ketidakpercayaan diri?
"Ada apa gerangan kau mendatangi kamarku Dewi? Biasanya, kau lebih suka mengurung diri di dalam kamarmu sembari membaca kakawin,"
Rangkaian kalimat yang dilontarkan oleh Hayam Wuruk tersebut berhasil mengahlihkan fokus Sri Sudewi yang sedari tadi terkunci pada sosok lukisan cantik yang berada di hadapannya.
"Saya ingin mengambil lukisan kita, Paduka. Saya ingin memajangnya di dalam kamar saya," ucap Sri Sudewi sembari menatap Hayam Wuruk yang terlihat begitu santai tanpa pernak – pernik emas yang menempel di pakaiannya.
"Jika hanya itu saja, seharusnya kau menyuruh pelayanmu untuk mengambilnya, Dewi. Jika kau tak menyukai dunia luar, kau tak perlu memaksakan diri untuk masuk ke dalamnya," ucap Hayam Wuruk sesaat sebelum pria itu melangkahkan kedua kakinya menuju ke sebuah lemari kayu besar yang berada di dalam kamar pria itu.
"Saya juga ingin mencari udara segar, Paduka. Saya tak memaksakan diri saya untuk keluar dari kamar, ini semua murni dari keinginan saya sendiri," dusta Sri Sudewi untuk membela diri.
"Tak perlu berbohong, Dewi," ucap Hayam Wuruk tanpa berniat untuk menatap Sri Sudewi yang sedari tadi menatap punggung kekar milik pria itu.
Sri Sudewi menghela nafasnya pelan ketika ia mendengar ucapan Hayam Wuruk tersebut, sungguh... pria itu terlalu mengenal dirinya dan Sri Sudewi merasa begitu takut.
"Ini lukisan kita. Jaga baik – baik Dewi, karena mungkin kita tak akan pernah lagi dapat dilukis oleh Sungging Prabangkara," ucap Hayam Wuruk sembari melangkahkan kakinya mendekati Sri Sudewi, kini, tangan pria itu yang sebelumnya kosong melompong telah dihiasi dengan sebuah kotak kayu yang terlihat begitu indah.
"Terimakasih banyak, Paduka. Saya pasti akan menjaganya dengan sangat baik," ucap Sri Sudewi dengan senyum bahagia yang telah mengembang di wajah manisnya.
Sri Sudewi menyambut kotak kayu indah itu dengan perasaaan senang yang begitu luar biasa. Disamping karena kotak kayu itu diisi dengan lukisan karya Sungging Prabangkara, fakta bahwa lukisan di dalam kotak kayu itu adalah lukisan pertama Sri Sudewi setelah menginjak usia dewasa semakin membuat Sri Sudewi bahagia.
Kebahagiaan Sri Sudewi itu tak luput dari perhatian Hayam Wuruk, pria bertubuh kekar itu tersenyum kecil saat ia menyadari bahwa kebahagiaan Sri Sudewi ternyata telah menjadi kebutuhan primer untuk dirinya.
Tanpa bisa ditahan, salah satu tangan kekar milik Hayam Wuruk jatuh tepat di puncak kepala Sri Sudewi. Permukaan tangan Hayam Wuruk yang terasa sedikit lebih kasar dibandingkan para anggota bangsawan pada umumnya itu bergerak mengusap lembut surai hitam milik Sri Sudewi. Sontak saja tindakan Hayam Wuruk itu berhasil membuat Sri Sudewi mengahlihkan tatapannya dari kotak kayu yang ada di pelukannya menuju wajah Hayam Wuruk yang berada tepat di depannya.
"Apa kau bahagia, Dewi?" tanya Hayam Wuruk sembari menatap intens kedua netra hitam milik Sri Sudewi.
"Ya. Aku bahagia," jawab Sri Sudewi sembari menampilkan senyum indahnya kepada Hayam Wuruk, senyum yang berhasil menggelitik bibir Hayam Wuruk untuk menciptakan sebuah lengkungan yang sama indahnya. Tak hanya itu, fakta bahwa Sri Sudewi baru saja berbicara non-formal pada Hayam Wuruk semakin membuat pria itu bahagia.
"Terimakasih karena telah memberikan diriku kebahagiaan yang mungkin tak pernah kudapatkan sebelumnya, Hayam Wuruk,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...