"Hayam, aku membawakan makanan untukmu," ucap Sri Sudewi sembari memberikan senyuman terbaiknya kepada Hayam Wuruk dan sesuai yang sudah – sudah, Hayam Wuruk tetap mengabaikan ucapan Sri Sudewi.
Hah.
Sri Sudewi menghela nafasnya pelan, ia lelah, tapi rasanya ia tak sanggup untuk pergi dan meningglkan Hayam Wuruk. Kedua netra Sri Sudewi terpatri pada mangkuk serta piring gerabah berisi makanan yang dibiarkan tak tersentuh oleh Hayam Wuruk.
Dengan perlahan, Sri Sudewi mengambil posisi duduk tepat di atas tempat tidur Hayam Wuruk, disamping Hayam Wuruk.
"Jika kau tetap seperti ini, kau akan sakit, Hayam. Jika kau sakit, lalu siapa yang akan memimpin Majapahit? Kepada siapa rakyat Majapahit akan mengadu jika bukan kepada dirimu, Hayam," ucap Sri Sudewi lamat – lamat sembari menatap wajah Hayam Wuruk yang terlihat begitu datar tanpa semangat hidup.
"Pergi. Aku ingin sendiri," ucap Hayam Wuruk dingin dengan kedua netranya yang masih setia menatap lukisan wajah Dyah Pitaloka yang tergantung indah pada dinding kamar tidurnya itu.
"Kali ini aku tidak akan pergi sebelum kau memakan sesuap nasi ini, Hayam," ucap Sri Sudewi sembari menggunakan menyendok nasi hangat yang berada pada piring gerabah di genggamannya.
"Pergi," ucap Hayam Wuruk lagi seraya menjauhkan wajahnya saat Sri Sudewi mengarahkan sesendok nasi hangat ke hadapan mulutnya.
"Satu suap saja, Hayam," ucap Sri Sudewi kekeuh dengan tetap mempertahankan sendok nasi tersebut.
"Pergi, Sri Sudewi,"
"Satu suap saja dan setelah itu aku akan perg---
Brak!
"Pergi dari sini!"
Hayam Wuruk berteriak keras tepat di depan wajah Sri Sudewi, tangan kekar pria itu menghempaskan kasar tangan kurus Sri Sudewi yang berada tepat di hadapannya. Sendok gerabah yang sedari tadi berada di depan mulut Hayam Wuruk, kini telah membentur dinding kamar dengan begitu kerasnya.
Grap!
Tangan – tangan kekar Hayam Wuruk bergerak mencengkram kuat bahu sempit milik Sri Sudewi, membuat peggangan perempuan itu pada piring gerabah berisi nasi panas terlepas begitu saja. Nasi – nasi panas itu mulai bertengger di paha Sri Sudewi, menghantarkan rasa panas yang tak nyaman.
"Apa kau tidak mengerti bahasa yang aku ucapkan?!" teriak Hayam Wuruk tepat di depan wajah Sri Sudewi, tangan – tangan kekarnya mengguncang keras tubuh Sri Sudewi.
Tubuh Sri Sudewi membeku, kedua netranya berembun dan lidahnya terasa begitu kelu. Semua ini terasa begitu tiba – tiba dan terasa begitu... begitu asing.
"Aku tak akan makan apapun! Biarkan aku mati bersama kekasihku!"
Tes.
Setetes kristal bening yang sedari tadi tertahan di kedua netra Sri Sudewi akhirnya terjatuh juga. Ia takut dan binggung. Sikap Hayam Wuruk ini membawa Sri Sudewi pada ingatan penuh penolakan yang diberikan oleh Ayah dan Ibunya terhadap kehadiran Sri Sudewi di dunia ini.
Luka lama yang begitu menyakitkan Sri Sudewi kini kembali berdarah oleh orang yang dulu mengobati luka tersebut.
"Dewi! Paduka, apa – apaan ini!"
Grep.
Kejadian itu berlangsung begitu cepat, cengkraman yang sebelumnya terasa begitu menyakiti Sri Sudewi kini lenyap, berganti dengan pelukan yang penuh dengan antisipasi. Sri Sudewi menghapus jejak – jejak air matanya ketika ia mendapati dirinya berada di dalam pelukan Arya.
"Aku tidak apa – apa, Arya," ucap Sri Sudewi sembari mendongakkan wajahnya dan memberikan senyumannya kepada Arya. Akan tetapi, Arya menolak ucapan Sri Sudewi tersebut, kepalanya menggeleng dengan begitu tegas dan tatapan permusuhan ia layangkan kepada Hayam Wuruk.
"Paduka, tidak 'kah anda sadar jika apa yang baru saja anda lakukan telah menyakiti Sri Sudewi? Anda telah menyakiti fisik dan hatinya! Kejam sekali, anda!" ucap Arya sembari mengeratkan rahangnya.
"Aku sudah memintanya pergi dan ia tak mau pergi. Jangan salahkan aku jika aku melukainya," ucap Hayam Wuruk datar, seolah - olah ia tak terusik dengan air mata yang masih meluruh dari netra Sri Sudewi.
"Paduka, anda—
"Sssh, Arya. Sudahlah. Ayo kita pergi, Paduka mungkin memang menginginkan waktu sendiri," potong Sri Sudewi sembari menahan tangan – tangan kekar Arya yang sepertinya hendak melayangkan pukulan kepada Hayam Wuruk.
"Tidak Dewi! Aku tak akan pergi sebelum aku berhasil menyadarkan Paduka bahwa hanya kau 'lah satu – satunya orang yang berusaha keras untuk mengembalikan semangat hidupnya, tetapi Paduka malah menyia – nyiakan semua kerja kerasmu!" ucap Arya keras sembari menatap Sri Sudewi dan Hayam Wuruk secara bergantian.
"Sudahlah Arya, ayo kita pergi," ucap Sri Sudewi dengan kepalanya yang menggeleng lemah.
Sekalipun sebelumnya Sri Sudewi merasakan kesedihan yang luar biasa akibat tindakan Hayam Wuruk, tetapi perempuan itu tak ingin menciptakan keributan disini. Ia paham jika Hayam Wuruk butuh waktu sendiri dan ia tak akan marah akan tindakan implusif yang dilakukan Hayam Wuruk kepadanya.
"Paduka, seharusnya anda bersyukur dengan kehadiran Sri Sudewi! Bukannya malah melukainya seperti ini! Bukankah sebelumnya anda sangat menjaga Sri Sudewi, lalu apa ini? Anda membuatnya menangis! Benar – benar pecundang!"
"Arya!"
Sri Sudewi menyentak tangan Arya, memanggil pria itu dengan pekikan penuh keterkejutan. Kedua netranya membola dengan begitu panik saat ia mendengar kalimat terakhir yang terucap dari bibir Arya.
"Ayo kita pergi, Dewi. Kalau perlu, tak usah kembali ke tempat ini!" ucap Arya dengan kemarahan yang masih bersarang dihatinya.
Dengan gerakan sedikit tergesa, Arya merangkul tubuh Sri Sudewi, membawa perempuan itu meninggalkan kamar Hayam Wuruk. Akan tetapi, sesaat sebelum Sri Sudewi benar – benar meninggalkan kamar itu, Sri Sudewi menyempatkan dirinya untuk memalingkan pandangannya menuju Hayam Wuruk dan disana ia melihat tatapan penuh luka memenuhi netra gelap Hayam Wuruk.
Brak!
Pintu kamar Hayam Wuruk ditutup dengan begitu kerasnya, meninggalkan Hayam Wuruk kembali di dalam kesepian yang begitu mencekam.
"Dewiku..."
Gumaman itu keluar dengan begitu lirihnya dari bibir Hayam Wuruk, pria itu menatap nanar piring gerabah yang telah jatuh di atas lantai kamarnya, nasi panas yang sebelumnya terlihat begitu lezat kini tak ubah seperti sebuah pakan ternak.
Kedua netra Hayam Wuruk kemudian bergerak berpindah kepada sepasang tangan kekarnya. Ia menjulurkan tangan – tangan kekarnya, tangan kekar yang sebelumnya mencengkram kuat bahu Sri Sudewi.
Grep!
Hayam Wuruk mengepalkan kuat tangannya, sangat kuat sampai ia merasakan kuku – kukunya mulai menyakiti kulit telapak tangannya sendiri. Namun, rasa sakit itu tak akan pernah mampu menyaingi rasa sakit Sri Sudewi saat Hayam Wuruk mencengkram bahu perempuan lemah itu dengan begitu kuatnya.
"Kau pecundang, Hayam!" desis Hayam Wuruk sembari mengetatkan rahangnya, akan tetapi kedua netra hitamnya berkabut. Rasanya hatinya semakin sakit.
"Kau kembali melukai perempuanmu, Hayam!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...