Tatapan Hayam Wuruk tak pernah teralihkan dari sosok wanita berparas cantik yang saat ini tengah duduk tepat di hadapannya. Wanita itu terlihat begitu fokus dengan kegiatannya, bahkan ia terlihat tak mempedulikan Hayam Wuruk yang tengah menatapnya dengan tatapan memuja.
Dengan gerakan hati – hati yang terlihat begitu anggun di kedua netra Hayam Wuruk, Dyah Pitaloka membentuk pola – pola indah di atas sebuah kain polos dengan canting yang berada dalam genggamannya. Sesekali, wanita itu terlihat meniup hasil ukirannya di atas kain polos berwarna putih itu.
Mungkin, Hayam Wuruk berpikir jika Dyah Pitaloka tak terganggu dengan tatapan lekatnya, namun sepertinya apa yang dipikirkan oleh Hayam Wuruk tersebut sangat bertolak belakang dengan apa yang sedang dirasakan oleh Dyah Pitaloka. Wanita itu, Dyah Pitaloka, berusaha mati – matian 'tuk tak merasa gugup dan merusak pola pada kain yang hendak diberikannya kepada sang Penguasa Majapahit.
Deg. Deg. Deg.
Jantung Dyah Pitaloka berpacu dengan begitu cepat. Ah, semua wanita yang ditatap sedemikian lekatnya oleh Hayam Wuruk pun pasti akan merasakan hal yang sama
"Anda terlihat begitu menikmati kegiatan anda, Putri," ucap Hayam Wuruk sembari terkekeh geli ketika ia tak mendapatkan satu lirikan sekalipun dari Dyah Pitaloka.
Glek.
Dyah Pitaloka menegak ludahnya dengan gerakan kasar, hampir saja tangan wanita itu merusak pola indah di atas kain polos yang berada di dalam genggamannya. Dengan gerakan gugup, Dyah Pitaloka mengangkat wajahnya dan memberikan sebuah senyuman kecil kepada Hayam Wuruk.
"Maafkan saya karena saya telah mengabaikan anda, Paduka. Namun... saya ingin menyelesaikan batik sederhana ini dengan cepat, saya tak ingin membuat anda menunggu lebih lama lagi," ucap Dyah Pitaloka dengan suaranya yang terdengar begitu lembut, selembut kain sutra yang sering dikenakan oleh Hayam Wuruk.
Hayam Wuruk menganggukkan kepalanya sembari mengulum sebuah senyuman maklum untuk Dyah Pitaloka. Sekali lagi, wanita itu berhasil menciptakan riak – riak kekaguman di dalam diri Hayam Wuruk.
"Saya sangat menyukai orang yang menghargai waktu seperti anda, Putri," puji Hayam Wuruk sembari menatap Dyah Pitaloka yang saat ini sedang berusaha 'tuk memusatkan kembali perhatiannya kepada kain polos yang berada dalam genggamannya.
"Terimakasih, Paduka," ucap Dyah Pitaloka sembari menatap sekilas Hayam Wuruk dan memberikan senyuman indahnya kepada sang Penguasa Majapahit.
Selepas percakapan singkat itu, Hayam Wuruk mengalihkan pandangannya pada ruangan terbuka yang saat ini tengah diisi oleh dirinya dan Dyah Pitaloka. Sepertinya, dari masuk ke dalam ruangan ini hingga detik ini, Hayam Wuruk belum sempat menganggumi keindahan dari ruangan ini.
Ruangan ini, ruangan kesukaan Dyah Pitaloka, berada tepat di tengah – tengah taman Kerajaan Sunda. Suara gesekan dedaunan dari pohon rindang serta suara air yang mengalir di tengah – tengah taman seoal – olah menjadi alunan lagu yang mengiringi setiap kesibukan Dyah Pitaloka di ruangan ini.
Ruangan kesukaan Dyah Pitaloka ini terasa begitu nyaman, sepertinya Hayam Wuruk harus membuat satu ruangan seperti ini di kerajaannya untuk Sri Sudewi. Tempat terbuka seperti ini sepertinya akan sangat membantu Sri Sudewi dalam menulis berbagai karya sastranya. Hayam Wuruk yakin, pemandangan alam terbuka pasti akan membantu Sri Sudewi 'tuk mencari inspirasi.
"Anda memiliki ruangan yang sangat nyaman, Putri. Tak salah jika anda menjadikan ruangan ini sebagai ruangan kesukaan anda," puji Hayam Wuruk dengan kedua netranya yang terlihat tengah memindai beberapa pedang serta keris yang tersusun rapi di ujung ruangan tersebut.
Ah, sepertinya ruangan ini juga digunakan oleh Dyah Pitaloka sebagai tempat berlatih kekuatannya.
"Terimakasih banyak, Paduka,"
Ucapan Dyah Pitaloka tersebut dijawab dengan sebuah anggukan oleh Hayam Wuruk. Sejurus kemudian, Hayam Wuruk bangkit dari posisi duduknya, pria itu melangkahkan kedua kakinya menuju ke lemari yang menjadi tempat penyimpanan senjata di dalam ruangan itu.
Segala tindakan Hayam Wuruk tak pernah lepas dari tatapan Dyah Pitaloka, bahkan ketika pria itu meraih salah satu pedang kesukaan Dyah Pitaloka dari dalam lemari penyimpanan senjata.
"Pedang itu adalah pedang yang sangat saya sukai, Paduka," ucap Dyah Pitaloka tiba – tiba.
"Anda tak salah pilih, Putri. Pedang ini sangat ringan namun sangat tajam, benar – benar kombinasi yang indah," ucap Hayam Wuruk sembari menatap lekat pedang Dyah Pitaloka yang telah dilepaskannya dari sarung penutup.
Dyah Pitaloka tersenyum bahagia ketika ia mendapati Hayam Wuruk tak pernah merasa bosan ketika bersama dengannya. Berhubungan kain yang sedari tadi dibatiknya baru saja selesai, wanita itu lekas bangkit dari posisi duduknya dan mulai melangkahkan kedua kakinya mendekati Hayam Wuruk.
"Akan menjadi sebuah kehormatan yang sangat besar bagi saya jika Paduka berkenan untuk beradu pedang bersama dengan saya," ucap Dyah Pitaloka sembari menatap lekat wajah Hayam Wuruk dari samping.
"Jika hal tersebut tak menganggu kegiatan Putri sebelumnya, maka tak ada alasan lain lagi bagi saya 'tuk menolak ajakan Putri," ucap Hayam Wuruk sembari memberikan pedang yang berada di tangannya pada Dyah Pitaloka.
Dyah Pitaloka meraih pedang itu dengan senyum yang mengembang di wajah cantiknya, ia membiarkan Hayam Wuruk 'tuk memilih pedang yang akan digunakannya. Setelah pria itu menjatuhkan pilihannya, Dyah Pitaloka langsung mengarahkan jalan bagi Hayam Wuruk menuju ke arena kecil di dekat ruangan terbuka tersebut, arena yang sering digunakan oleh Dyah Pitaloka 'tuk berlatih.
"Jangan menahan diri anda, Paduka. Saat ini, saya benar – benar ingin mengukur kemampuan saya," ucap Dyah Pitaloka sesaat setelah wanita itu memasang kuda – kudanya, untunglah hari ini wanita itu tak menggunakan gaun yang berat dan penuh dengan aksesoris.
Hayam Wuruk terkekeh kecil sembari menganggukkan kepalanya, walaupun dalam hatinya, ia akan tetap menahan kemampuannya. Mana mungkin Hayam Wuruk menggunakan seluruh kekuatannya untuk menghadapi Dyah Pitaloka? Sungguh, pria itu tak memiliki niat sedikitpun untuk merusak kulit lembut Dyah Pitaloka dengan sebuah goresan pedang.
"Saya sudah siap. Apakah anda sudah siap, Paduka?" tanya Dyah Pitaloka sembari menatap lekat Hayam Wuruk.
"Saya selalu siap, Putri,"
Hanya dalam satu kedipan mata, Dyah Pitaloka mulai berlari mendekati Hayam Wuruk dengan pedang yang berada di dalam genggamannya. Hayam Wuruk akui, gerakan wanita itu cukup gesit dan lembut disaat yang bersamaan, tak ada kesan tergesa – gesa sedikitpun, walau wanita itu berlari untuk mengarahkan pedangnya pada Hayam Wuruk.
Ctang!
Suara besi yang saling beradu memecah keheningan di tengah – tengah taman Kerajaan Sunda tersebut.
"Jangan menahan kemampuan anda, Paduka," peringat Dyah Pitaloka yang berhasil menggelitik ujung bibir Hayam Wuruk 'tuk menarik sebuah senyuman kecil.
Ctang!
Dyah Pitaloka menggerakan pedangnya dengan begitu piawai, hingga Hayam Wuruk harus melangkahkan kakinya mundur demi menghindari pedang tajam milik sang Putri Kerajaan Sunda. Pertarungan itu terasa begitu sengit bagi Dyah Pitaloka, namun terasa begitu menyenangkan bagi Hayam Wuruk. Rasanya, sangat jarang menemukan seorang putri cantik yang memiliki kemampuan berpedang yang mumpuni seperti Dyah Pitaloka.
Melihat Hayam Wuruk yang semakin melangkah mundur akibat serangannya, Dyah Pitaloka tak sanggup 'tuk tak tersenyum. Di dalam pikiran wanita itu, kemenangan telah berada tepat di depan matanya, setidaknya, hingga pedangnya tiba – tiba ditangkis dengan begitu kuat oleh Hayam Wuruk. Bahkan karena sangking kuatnya, pedang milik Dyah Pitaloka terpental jauh.
Kedua netra Dyah Pitaloka membola dengan begitu sempurna ketika pedang Hayam Wuruk berada tak jauh dari leher jenjangnya.
"Jangan terlalu cepat larut dalam kebahagiaan yang anda ciptakan sendiri, Putri, karena kita tak dapat menebak, hal buruk apa yang dapat menghancurkan kebahagiaan tersebut,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...