Tuk!
Hayam Wuruk melemparkan tombaknya untuk yang kesekian kalinya dan lagi – lagi, ujung tombak itu berhasil mengenai seekor ikan gemuk. Sri Sudewi bertepuk tangan sembari tertawa riang.
"Tangkap," ucap Hayam Wuruk sembari melemparkan ikan yang baru saja didapatkannya kepada Sri Sudewi.
Dengan sigap, Sri Sudewi yang berada di tepi Sungai Berantas menangkap ikan yang dilemparkan oleh Hayam Wuruk. Wanita itu kemudian menyatukan ikan itu ke dalam sebuah keranjang yang telah diisi oleh banyak ikan.
"Hayam, ini sudah lebih dari cukup. Lebih baik kau naik, jangan terlalu lama di dalam air," ucap Sri Sudewi saat wanita itu menangkap pergerakan Hayam Wuruk yang sedang membidik ikan.
Ucapan Sri Sudewi tersebut berhasil mendorong Hayam Wuruk untuk menegakkan tubuhnya. Tanpa mengatakan apapun, Hayam Wuruk kemudian melangkahkan kedua kakinya menuju ke tepi Sungai Berantas. Sesampainya di tepi, dengan sigap, Sri Sudewi menundukkan tubuhnya, tangan lentik wanita iu bergerak 'tuk mengeringkan kedua kaki Hayam Wuruk, wanita itu juga menurunkan celana kain Hayam Wuruk yang sedari tadi digulung oleh pria itu.
"Terimakasih, Dewi," ucap Hayam Wuruk sembari menepuk pelan puncak kepala Sri Sudewi.
"Hamba juga sangat berterimakasih atas tangkapan ikan anda yang begitu luar biasa, Paduka," goda Sri Sudewi yang berhasil mengundang gelak tawa dari bibir Hayam Wuruk.
Saat Sri Sudewi bangkit dari posisinya, wanita itu langsung bergerak 'tuk mengambil sebuah keranjang yang terbuat dari anyaman bambu, keranjang yang telah diisi oleh ikan hasil tangkapan Hayam Wuruk. Dengan senyum yang menghiasi wajahnya, Hayam Wuruk merangkul bahu sempit Sri Sudewi, pria itu membawa Sri Sudewi menuju pondok yang sedari tadi mereka huni.
Baik Hayam Wuruk dan Sri Sudewi saling berbagi tugas 'tuk mengolah ikan mentah tersebut menjadi ikan yang layak dikonsumsi. Tawa selalu menghiasi kesibukan sepasang manusia tersebut.
"Sepertinya, hanya kau Dewi, satu – satunya rakyat Majapahit yang berani meminta Raja untuk meniup kayu bakar," ucap Hayam Wuruk yang dibalas dengan sebuah tawa bahagia oleh Sri Sudewi.
"Kapan lagi aku dapat memerintah seorang Raja?" ucap Sri Sudewi yang dibalas dengan sebuah gelengan kecil oleh Hayam Wuruk.
Dengan gerakan cekatan, Sri Sudewi mulai memanggang ikan hasil tangkapan Hayam Wuruk. Bermodalkan bumbu seadanya, Sri Sudewi mengolesi ikan yang telah dibersihkannya itu.
"Eumh... Ini sangat harum, bahkan aromanya telah mengalahkan masakan para juru masak kerajaan," puji Hayam Wuruk sembari memejamkan kedua netranya dan menghirup aroma khas yang keluar dari ikan bakar tersebut. Pujian Hayam Wuruk itu dibalas dengan sebuah kekehan oleh Sri Sudewi.
"Berhenti membual, Hayam. Kau hanya membuatku merasa kecil,"
Kedua netra Hayam Wuruk yang sedari tadi tertutup seketika terbuka, kedua netra itu menatap lekat Sri Sudewi yang terlihat begitu asyik membaluri ikan hasil tangkapannya dengan bumbu yang telah diulek sendiri oleh wanita itu.
"Aku tak pernah membual jika hal itu menyangkut dirimu, Dewi," ucap Hayam Wuruk dengan keteguhan yang memancar di kedua netra hitamnya, namun sayang... Sri Sudewi tak menatap keteguhan itu.
"Ya, ya, ya. Anggap saja aku mempercayaimu," ucap Sri Sudewi sembari tertawa kecil, mengabaikan Hayam Wuruk yang tengah menatapnya dengan lekat.
"Eh, Hayam, apinya hendak mati!" ucap Sri Sudewi heboh.
Keteguhan yang tadi sempat menghiasi kedua netra Hayam Wuruk seketika digantikan oleh binar – binar kepanikan. Dengan sekuat tenaganya, Hayam Wuruk mengipas bara api yang berada di hadapannya, sesekali, pria itu meniup bara api tersebut, entah apa tujuannya. Setelah beberapa drama menghebohkan yang begitu menggelitik perut, akhirnya Hayam Wuruk dan Sri Sudewi dapat menikmati ikan bakar mereka.
"Kenapa kau makan seperti anak kecil,eumh?" ucap Hayam Wuruk sembari mengusap pelan ujung bibir Sri Sudewi dengan jari jempolnya. Ucapan Hayam Wuruk tersebut dibalas dengan sebuah tawa kecil dari bibir Sri Sudewi.
"Kapan lagi aku dapat makan sebebas ini, Hayam? Jika nanti kita kembali ke istana, aku harus makan sembari duduk tegak dan tak boleh membuat keributan sedikitpun, itu sangat melelahkan," adu Sri Sudewi sembari sedikit mengerucutkan bibirnya.
Kali ini, Hayam Wuruk yang tertawa kecil ketika ia mendengar aduan Sri Sudewi tersebut.
"Mungkin... kehidupanku akan jauh lebih baik jika aku tak terlahir sebagai seorang bangsawan. Terkadang, aku iri dengan kehidupan Arya. Arya selalu menceritakan hal – hal menarik yang sering dilakukannya bersama dengan penduduk di desanya. Mereka terdengar begitu bebas dan bahagia," ucap Sri Sudewi dengan senyuman kecil yang menghiasi wajahnya.
"Karena itu, kau tak ragu 'tuk menerima pinangannya?" tanya Hayam Wuruk sembari melemparkan tatapan lekatnya pada Sri Sudewi.
"Eumh," jawab Sri Sudewi sembari menganggukkan kepalanya, "Aku berharap jika aku juga dapat merasakan kehidupan yang sama seperti kehidupan yang dirasakan oleh Arya," lanjut Sri Sudewi lagi sebelum kembali mencuil ikan bakar yang berada di hadapannya.
Untuk beberapa saat, keheningan membelenggu Hayam Wuruk dan Sri Sudewi. Pria itu tetap diam dalam posisinya ketika ia mendapati Sri Sudewi tengah berusaha 'tuk membersihkan kekacauan yang baru saja mereka perbuat, tak hanya itu, Hayam Wuruk juga tetap diam ketika Sri Sudewi membasuh tangan kekarnya dengan gerakan yang begitu lembut.
Disaat – saat seperti ini, entah kenapa, kepala Hayam Wuruk mulai memikirkan masa depannya yang mungkin tak akan seindah saat ini ketika Sri Sudewi memutuskan 'tuk menikahi Arya. Ketika saat itu tiba, Sri Sudewi pasti tak akan memiliki banyak waktu lagi untuk Hayam Wuruk. Ah... memikirkan hal itu membuat rasa egois kembali meronta – ronta di dalam diri Hayam Wuruk, ingin rasanya pria itu menjauhkan Sri Sudewi dari siapapun yang dapat merebut wanita itu dari Hayam Wuruk.
"Ah... aku sangat kenyang," adu Sri Sudewi sembari merebahkan tubuhnya tepat ke atas rerumputan yang sedari tadi didudukinya.
Sri Sudewi menutup matanya, seutas senyum bahagia menghiasi wajah manis itu. Wanita itu baru membuka kedua netranya ketika ia mendapati tangan kekar milik Hayam Wuruk mengelus lembut puncak kepalanya.
"Aku sangat suka ketika kau mengelus kepalaku. Aku... aku merasa seperti disayangi," ucap Sri Sudewi sembari menatap kedua netra hitam Hayam Wuruk dalam – dalam.
"Terimakasih banyak untuk segalanya, Hayam. Aku tak tau apakah aku masih bisa bertahan hidup jika kau tak pernah berada di sisiku," lanjut Sri Sudewi lagi yang dibalas dengan sebuah anggukan dan senyuman oleh Hayam Wuruk.
"Rasanya, seperti baru beberapa hari yang lalu kau menangis sendirian karena kuda kesukaanmu menghilang, namun sekarang... kau akan menikah dan meninggalkanku. Hah. Waktu benar – benar hal yang sangat mengerikan," ucap Hayam Wuruk sembari membalas tatapan dalam Sri Sudewi dengan tatapan yang tak kalah dalamnya.
"Aku tak akan pernah meninggalkanmu. Kau akan selalu menjadi pria yang memiliki tempat di dalam hatiku," ucap Sri Sudewi sembari menahan tangan Hayam Wuruk yang berada di kepalanya. Wanita itu kemudian mengenggam tangan kekar itu dan membawa tangan itu ke atas pipinya.
"Apakah kita akan kesempatan seperti ini lagi?" tanya Hayam Wuruk sembari menatap sendu wajah Sri Sudewi yang dibalas dengan sebuah senyuman kecil oleh Sri Sudewi.
"Aku tak ingin melepaskanmu, Dewi. Tolong bantu aku 'tuk melepaskanmu," pinta Hayam Wuruk dengan kedua netra hitamnya yang mulai berembun.
Senyuman kecil yang tadi sempat menghiasi wajah Sri Sudewi langsung menghilang. Sri Sudewi menatap Hayam Wuruk seperkian detik, hingga Hayam Wuruk memalingkan wajahnya dari tatapanSri Sudewi. Tindakan Hayam Wuruk tersebut lantas mendorong Sri Sudewi 'tuk bangkit dari posisi terlentangnya dan tanpa mengatakan apapun, wanita itu memeluk tubuh Hayam Wuruk.
Pelukan itu terasa begitu sarat akan perasaan kehilangan. Hayam Wuruk membalas pelukan Sri Sudewi dengan sangat erat, pria itu bahkan menyembunyikan wajahnya diantara ceruk leher Sri Sudewi. Mati – matian, pria itu menahan dirinya 'tuk tak menangis.
Kedua tangan lentik Sri Sudewi bergerak memberikan rasa nyaman pada Hayam Wuruk dengan elusan lembut pada punggung serta puncak kepala pria itu.
"Aku akan sangat merindukanmu, aku akan sangat merindukan waktu yang kita habiskan bersama – sama," adu Hayam Wuruk dengan suaranya yang terdengar begitu bergetar.
"Aku juga akan sangat merindukanmu, Hayam. Akan sangat sangat merindukanmu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...