28. Bujukan

698 97 14
                                    

"Paduka, semua persiapan untuk keberangkatan telah selesai,"

Hayam Wuruk menatap pantulan wajah seorang Bhayangkara yang baru saja memasuki kamarnya. Pria itu hanya menganggukkan kepalanya sebagai bentuk respons akan pemberitahuan yang baru saja diberikan oleh Bhayangkara tersebut.

"Bagaimana dengan keadaan Putri Sri Sudewi?" tanya Hayam Wuruk seraya merentangkan kedua tangannya ketika para pelayan tengah menyampirkan jubah kebesaran milik penguasa Kerajaan Majapahit tersebut.

"Masih sama seperti dua hari yang lalu, Paduka. Putri tak berkeinginan untuk menyentuh makanannya,"

Hah.

Hayam Wuruk menghela nafasnya kasar sembari menutup kedua netra hitamnya. Ketika para pelayan yang sedari tadi membantunya berpakaian telah selesai, tanpa mengatakan apapun, Hayam Wuruk melangkahkan kedua kakinya keluar dari kamarnya. Bukan gerbang istana tujuan pria itu, melainkan kamar sepupunya yang sangat disayanginya.

Tuk. Tuk. Tuk.

Hayam Wuruk menarik langkah tegas yang terkesan sedikit tergesa – gesa. Para penjaga yang tengah berjaga tepat di depan pintu kamar Sri Sudewi lantas langsung memberikan jalan kepada Hayam Wuruk dan membukakan pintu kamar bagi pria itu.

Hayam Wuruk menatap kekacauan di kamar Sri Sudewi dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Kedua netra pria itu mendapati pecahan piring gerabah serta berbagai makanan yang terlempar begitu saja di atas lantai kamar, sepertinya para pelayan belum sempat membersihkan kekacauan itu. Tak hanya itu saja, kedua netra Hayam Wuruk juga mendapati sang pemilik kamar yang tengah bergelung di bawah selimutnya dengan bahunya yang terlihat masih sedikit bergetar.

Baru saja ditinggal dua hari, Sri Sudewi sudah sekacau ini. Sungguh, Hayam Wuruk tak dapat memikirkan bagaimana nasib Sri Sudewi jikalau saja Arya wafat ketika menumpas pemberontakan, apa wanita itu akan memutuskan 'tuk bunuh diri?

Ah... Pria haram itu benar – benar telah merusak pikiran Sri Sudewi.

"Dewi," panggil Hayam Wuruk lembut, namun seperti biasanya, Sri Sudewi mengabaikan panggilan itu.

Hayam Wuruk tak marah, ia mencoba memaklumi perasaan Sri Sudewi, walau ia sama sekali tak mengerti mengapa Sri Sudewi dapat bertindak sejauh ini hanya karena Arya, pria yang baru ditemuinya beberapa bulan belakangan ini.

"Dewi..." panggil Hayam Wuruk lagi dengan nada suaranya yang terdengar lebih lembut. Kini pria itu telah berjongkok tepat di sisi tempat tidur yang tengah diisi oleh Sri Sudewi, tangan kekarnya terulur 'tuk menyisihkan surai hitam milik Sri Sudewi yang telah menutupi wajah sembab wanita itu.

"Kenapa kau tidak memakan makananmu lagi, eumh?" tanya Hayam Wuruk lembut seraya menghapus jejak – jejak air mata di wajah Sri Sudewi dengan jari telunjuknya.

Seperti biasa, Sri Sudewi mengabaikannya. Wanita itu terlihat memiliki dendam kepada Hayam Wuruk karena Hayam Wuruk 'lah yang telah memberikan tugas kepada Arya 'tuk menumpas pemberontakan demi mendapatkan gelar bangsawan. Sungguh, Sri Sudewi tak pernah berpikir jika Hayam Wuruk akan menawarkan hal seperti itu kepada Arya dengan dalih untuk kebahagiaan Sri Sudewi sendiri.

"Jika kau sakit, Arya pasti tak akan suka. Apa kau ingin menambah beban pikiran Arya? Saat ini pria itu pasti sudah kesibukan dengan pemberontakan di---

"Lalu, kenapa kau mengirimnya kesana, hah?" potong Sri Sudewi tajam dengan kedua netranya yang telah terbuka.

Jujur, Sri Sudewi tak memiliki niat untuk memotong ucapan orang nomor satu di Kerajaan Majapahit itu, apalagi mengibarkan bendera permusuhan dengannya, namun entah kenapa... amarah Sri Sudewi seakan – akan kembali meluap ketika ia mendengar nama Arya disebutkan oleh bibir pria itu.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang