32. Terlihat Serasi

692 89 11
                                    

"Berarti, anda sudah sangat lama menekuni dunia sastra, putri?" tanya Bujangga Manik pada Sri Sudewi yang terlihat sedang mengunyah ubi rebus dengan gerakan perlahan.

"Iya, tuan. Mungkin... sejak saya masih berusia tujuh atau delapan tahun," ucap Sri Sudewi sedikit meragu.

"Enam tahun," celetuk Hayam Wuruk yang berhasil membuat pria bertubuh kekar itu menjadi pusat perhatian tiga manusia yang berada di pendopo taman tersebut.

"Benarkah? Bukankah saat saya masih berusia tujuh atau delapan tahun?" tanya Sri Sudewi pada Hayam Wuruk dengan kerutan yang menghiasi dahi mulus wanita itu.

Pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Sri Sudewi memaksa Hayam Wuruk untuk menghentikan pergerakan tangannya yang hendak meraih ubi rebus di hadapannya.

"Enam tahun, Dewi. Kakawin pertama yang kau tulis, kau berikan kepadaku dan sejak tahun itu, kau selalu bergiat menulis kakawin," ucap Hayam Wuruk sembari menatap lekat kedua netra Sri Sudewi.

Dyah Pitaloka sedikit tersentak saat ia mendengar ucapan non-formal yang dilontarkan Hayam Wuruk kepada Sri Sudewi. Namun, Putri Kerajaan Sunda itu tetap memusatkan perhatiannya pada ubi rebus yang berada di piringnya.

"Oh. Berarti sejak saya berusia enam tahun, ya," gumam Sri Sudewi seraya mengalihkan pandangannya dari Hayam Wuruk menuju Bujangga Manik. Sekilas, Sri Sudewi dapat menangkap mimik wajah kurang nyaman milik Dyah Pitaloka.

"Sa—

"Saya dan Putri Sri Sudewi telah menghabiskan banyak waktu bersama, bahkan semenjak Dewi belajar berjalan pun, saya telah berada di sisinya," terang Hayam Wuruk tanpa diminta sembari menatap Sri Sudewi dan Bujangga Manik secara bergantian. Sederet kata demi kata yang baru saja dilontarkan oleh sang Penguasa Majapahit itu berhasil membungkam bibir Sri Sudewi.

"Anda berdua terlihat begitu serasi,"

Deg.

Jantung Sri Sudewi berdegub begitu kencang ketika kedua indra pendengarannya menangkap kata demi kata yang baru saja dilontarkan oleh Bujangga Manik. Sungguh, bangsawan Majapahit itu merasa tak enak hati pada Dyah Pitaloka.

"Sekalipun serasi tetapi, jodoh Paduka Sri Rajasanegara hanyalah Putri Dyah Pitaloka sendiri," sahut Sri Sudewi cepat sembari melemparkan senyuman lebarnya pada Bujangga Manik dan Dyah Pitaloka bergantian. Mati – matian, wanita itu menahan perasaan tak enak yang menyelip di dalam hatinya.

"Anak yang lahir, orang tua yang wafat serta orang muda yang saling melabuhkan hati. Siapa yang dapat memutuskan hal itu selain Sang Khalik sendiri, putri?" ucap Dyah Pitaloka sembari melemparkan senyum lembutnya pada Sri Sudewi.

Glek.

Sri Sudewi menegak ludahnya kasar. Inilah yang membuat wanita itu tak ingin bercengkrama dan saling bertukar topik pembicaraan dengan para bangsawan, mereka selalu tau caranya 'tuk menutup bibir lawan bicara mereka atau... mungkin hanya Sri Sudewi lah yang berpikiran seperti itu karena ketidakaktifan wanita tersebut dalam setiap pertemuan para bangsawan.

Tak ada yang dapat dilakukan oleh Sri Sudewi selain menerima fakta bahwa argumennya telah dipatahkan oleh Dyah Pitaloka. Sepupu Hayam Wuruk itu hanya bisa melemparkan senyuman kikuknya kepada Dyah Pitaloka seraya menyelipkan beberapa anak rambutnya yang sebenarnya telah tertata rapi. Umh, dia melakukan hal tersebut hanya untuk menutupi rasa gugup yang tiba – tiba meluap di dalam dirinya.

"Dewi, tidak 'kah kau ingin kembali ke kamar? Kembali menulis kakawin untuk para brahmana?" celetuk Hayam Wuruk sembari menyentuh singkat punggung tangan Sri Sudewi.

Deg.

Tubuh Sri Sudewi menegang 'tuk seperkian detik. Jika Sri Sudewi tak salah mengartikan pertanyaan tersebut, apakah Hayam Wuruk baru saja hendak mengatakan bahwa ia tak menyukai keberadaan Sri Sudewi disini? Apakah Hayam Wuruk merasa begitu malu dengan cara pandang Sri Sudewi?

"Oh, benarkah? Anda sungguh mulia sekali, Putri Sri Sudewi. Sangat jarang mendengar para bangsawan menulis kakawin sendiri untuk para brahmana,"

Pujian yang dilontarkan oleh Bujangga Manik seharusnya terasa manis tetapi, sayang sekali, pujian tersebut tak ubah seperti makanan tanpa bumbu. Hambar.

"Terimakasih banyak, tuan," ucap Sri Sudewi sembari berusaha sekuat tenaga memaksakan dirinya 'tuk memberikan senyuman terbaik yang dimilikinya kepada Bujangga Manik.

"Seperti yang telah dikatakan oleh Paduka Sri Rajasanegara sebelumnya, saya pamit undur diri terlebih dahulu. Jika saja saya memiliki lebih banyak waktu luang, saya tak akan pernah merasa ragu untuk tetap berada disini. Namun, sayang sekali, sepertinya saya tak memiliki banyak waktu," lanjut Sri Sudewi sembari menatap Bujangga Manik, Dyah Pitaloka serta Hayam Wuruk secara bergantian.

"Tak apa, putri. Dapat duduk bersama dan berbincang – bincang singkat dengan anda seperti ini, benar – benar telah menjadi sebuah anugerah tersendiri bagi saya," ucap Bujangga Manik sembari melemparkan senyuman hangatnya pada Sri Sudewi.

"Seharusnya saya yang mengucapkan hal tersebut, tuan," balas Sri Sudewi dengan tatapan yang hanya terfokus pada Bujangga Manik. Sungguh, saat ini wanita itu tengah berusaha sekuat tenaga untuk tak terusik dengan tatapan kurang mengenakkan yang ditujukan Hayam Wuruk kepadanya. Sepertinya, orang nomor satu di Kerajaan Majapahit tersebut tak menyukai bagaimana cara Sri Sudewi menyebut dirinya, sebelumnya.

"D---

Baru saja Hayam Wuruk hendak melontarkan sepatah dua kata kepada Sri Sudewi tetapi, pergerakan wanita itu yang bangkit dari duduknya berhasil membungkam Hayam Wuruk.

"Saya pamit undur diri," ucap Sri Sudewi sembari membungkukkan tubuhnya dalam – dalam kepada Hayam Wuruk, Bujangga Manik serta Dyah Pitaloka secara bergantian.

Tanpa menunggu balasan atas salamnya, Sri Sudewi langsung menegakkan tubuhnya dan menarik langkah meninggalkan area tersebut. Terdengar tak sopan memang tetapi, penolakan tersembunyi yang diberikan Hayam Wuruk kepada wanita itu berhasil menggores hatinya.

Seharusnya Sri Sudewi tak merasa sesakit ini. Sri Sudewi seharusnya telah memprediksi hal ini sejak jauh – jauh hari. Sri Sudewi tak lebih dari seorang sepupu wanita bagi Hayam Wuruk, pertalian darah mereka hanya dihubungkan oleh orangtua mereka masing – masing. Penolakan seperti ini... Seharusnya Sri Sudewi sudah mempersiapkan dirinya.

Dengan sediki tergesa – gesa, Sri Sudewi melangkahkan kedua kaki jenjangnya menuju tempat peristirahatan wanita itu selama rombongan Majapahit berada di Kerajaan Sunda.

"Putri!"

Tepat sesaat sebelum Sri Sudewi menggapai pintu tempat peristirahatannya, seruan seorang pelayan yang tampak berlari tergopoh – gopoh ke arah Sri Sudewi berhasil membuat wanita itu mengurungkan niat untuk mendorong pintu kayu yang berada di hadapannya.

"Tak perlu berlarian seperti itu. Saya tak akan pergi kemana – mana," ucap Sri Sudewi dengan kerutan samar yang menghiasi dahi mulusnya.

"Maafkan saya, putri. Saya terlambat menyampaikan surat ini kepada anda," ucap pelayan tersebut sembari menyodorkan sebuah gulungan surat ke hadapan Sri Sudewi dengan badan yang telah sepenuhnya menunduk hormat.

"Surat?" gumam Sri Sudewi dengan tangan lentiknya yang terulur 'tuk meraih gulungan surat yang disodorkan oleh pelayan tersebut kepada dirinya.

"Ya, putri. Pengantar surat mengatakan bahwa surat ini berasal dari Tuan Arya di Desa Bedenter,"


.


Haloo, masih pada baca cerita ini nggak ya? Huhuhu, maaf ngaret lama banget :(

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang