"Apakah kau baik – baik saja Dewi?" tanya Arya khawatir sembari menatap Sri Sudewi yang saat ini tengah duduk di atas tempat tidurnya, perempuan itu melemparkan senyuman manisnya kepada Arya dan menganggukkan kepalanya. Akan tetapi, sepertinya Arya tak mempercayai Sri Sudewi.
"Apakah Dewi benar baik – baik saja, Nona Larasasti?" tanya Arya lagi seraya melemparkan tatapannya kepada Ni Kadek Larasasti, perempuan Bali itulah yang sedari tadi mengobati memar di sisi – sisi lengan Sri Sudewi.
Dilontarkan pertanyaan seperti itu, Ni Kadek Larasasti menjadi gelagapan. Perempuan Bali itu binggung, bagaimana caranya ia menjawab pertanyaan Arya ketika perempuan itu tau bahwa Sri Sudewi tak benar – benar dalam kondisi yang baik? Memar di sisi – sisi lengan Sri Sudewi saja sudah memberikan rasa ngilu tersendiri pada Ni Kadek Larasasti.
"Aku baik – baik saja Arya. Tak perlu mengintrogasi Nona Larasasti seperti itu, kau membuatnya takut," ucap Sri Sudewi sembari menyentuh lembut kedua tangan Ni Kadek Larasasti yang sedari tadi saling meremas gusar.
"Baiklah. Anggap saja aku mempercayai ucapanmu," tandas Arya yang berhasil memberikan kelegaan tersendiri kepada Ni Kadek Larasasti.
"Kalau begitu, saya izin pamit undur diri, Tuan, Puteri. Saya masih memiliki beberapa pekerjaan lain," pamit Ni Kadek Larasasti sembari menatap Sri Sudewi dan Arya secara bergantian.
"Eumh, pergilah, Nona Larasasti. Terimakasih untuk obatnya," ucap Sri Sudewi seraya memberikan senyumannya kepada Ni Kadek Larasasti.
Sontak saja, kalimat Sri Sudewi tersebut mendorong Ni Kadek Larasasti untuk menggelengkan kepalanya dengan keras, "Ini sudah menjadi tugas saya, Putri. Anda tak perlu berterimakasih," ucap Ni Kadek Larasasti sembari menundukkan kepalanya dalam – dalam.
Sri Sudewi terkekeh kecil, "Baiklah, baiklah, tetapi aku akan tetap berterimakasih," kekeuh Sri Sudewi.
"Putri!" seru Ni Kadek Larasasti, ia sungguh merasa dirinya tak pantas menerima ucapan terimakasih dari seorang bangsawan seperti Sri Sudewi.
"Dewi, jangan mengusiknya seperti itu," tegur Arya, tetapi Sri Sudewi mengabaikannya, perempuan itu masih saja menatap lekat Ni Kadek Larasasti.
"Nona Larasasti, kau bisa keluar dan kembali melanjutkan tugasmu," lanjut Arya yang dibalas dengan sebuah anggukan patuh oleh Ni Kadek Larasasti.
"Saya permisi, Tuan, Putri," pamit Ni Kadek Larasasti seraya membungkukkan tubuhnya secara bergantian di hadapan Arya dan Sri Sudewi.
Sri Sudewi menatap kepergian Ni Kadek Larasasti dengan sebuah senyuman kecil. Sungguh, tingkah malu – malu Ni Kadek Larasasti sangat menghibur dirinya, andaikan mereka sudah saling mengenal sejak dulu, pastilah kehidupan remaja Sri Sudewi akan terasa lebih berwarna.
"Nona Larasasti merupakan perempuan yang manis," puji Sri Sudewi dengan senyuman yang masih terpatri di wajahnya.
"Jika kita belum bertemu, pastilah kau sudah jatuh cinta kepadanya," lanjut Sri Sudewi lagi seraya melemparkan tatapannya kepada Arya yang kini telah berdiri tepat di hadapannya.
Dahi Arya mengernyit, kepalanya menggeleng pelan, tetapi mulut pria itu tetap terkunci. Kedua tangan kekarnya terulur untuk menyisihkan beberapa helai anak rambut Sri Sudewi.
"Semua pria menyukai perempuan yang manis dan aku terkejut... kenapa kau bisa menyukaiku yang biasa – biasa ini," ucap Sri Sudewi sembari memiringkan sedikit kepalanya.
"Aku menyukaimu karena kau lebih dari manis, Dewi. Hanya dengan mendengar namamu saja, jantungku berdegub kencang," jawab Arya dengan seutas senyum yang terukir di wajah kukuhnya.
Blush!
Wajah Sri Sudewi terasa begitu memanas, dengan cepat Sri Sudewi melarikan pandangannya dari Arya. Sadar jika perempuan yang dicintainya itu tengah merasa malu, sebuah tawa kecil menguar dari bibir Arya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...