41. Kebahagiaan (?)

570 70 6
                                    

"Untuk sementara waktu, kita akan bermukim di Pesanggrahan Bubat," teriakan lantang dari salah seorang patih Kerajaan Sunda berhasil menghentikan langkah rombongan Kerajaan Sunda yang telah berjalan tanpa henti menuju tanah Majapahit.

Seruan penuh kelegaan menyambut teriakan lantang patih Kerajaan Sunda tersebut, para bangsawan pria meloncat turun dari kuda kebanggaan mereka, para bangsawan wanita turun dari kereta kudanya dengan begitu perlahan, para prajurit bergerak dengan begitu cepat untuk membangun kawasan perkemahaman di tanah Majapahit itu.

"Tuan Putri, akhirnya kita menginjak tanah rumah calon suamimu," godaan yang terdengar begitu manis terucap dari bibir salah seorang pelayan wanita yang tengah membantu Dyah Pitaloka untuk turun dari kereta kudanya.

Tak ada satupun kata yang mampu menggambarkan betapa bahagianya perasaan Dyah Pitaloka saat ini. Dyah Pitaloka telah menantikan momen ini begitu lama, setiap malam, Putri Kerajaan Sunda itu selalu memimpikan hari – hari indah yang akan ia lukis bersama sang pujaan hati, Hayam Wuruk.

"Wah,"

Decak penuh kekaguman terucap dari bibir Dyah Pitaloka kala kedua netra hitam milik perempuan itu menatap langit Kerajaan Majapahit yang berwarna oranye, begitu indah. Ah, rasanya semua tentang Kerajaan Majapahit akan selalu diasosiasian dengan keindahan.

"Kita sudah berada di bagian utara Trowulan. Besok, kita akan sampai di Trowulan, rumah pujaan hatimu, putriku,"

Lagi, lagi, luapan kebahagiaan memenuhi relung hati Dyah Pitaloka, terutama ketika perempuan itu menemukan sang ayahanda terlihat begitu bahagia dan bangga dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh pria paruh baya itu.

Para pelayan wanita yang sebelumnya mengelilingi Dyah Pitaloka sembari menggoda lembut perempuan itu akhirnya memilih untuk meninggalkan Dyah Pitaloka bersama dengan Prabu Linggabuana, sang ayahanda.

"Bagaimana perasaanmu, putriku?" tanya Prabu Linggabuana seraya melemparkan senyuman tipisnya kepada Dyah Pitaloka

"Bahagia. Sangat bahagia, ayah," jawab Dyah Pitaloka tanpa sedikitpun keraguan di dalam jawabannya.

"Ayah bahagia melihatmu bahagia seperti ini, putriku," ucap Prabu Linggabuana dengan telapak tangannya yang terulur 'tuk mengelus lembut puncak kepala Dyah Pitaloka.

"Setelah menikah dan bergabung dengan keluarga Kerajaan Majapahit nanti, jangan sungkan untuk kembali ke Kerajaan Sunda, ya putriku. Ayah akan selalu memastikan kamarmu selalu siap untuk kau tempati kapanpun," lanjut Prabu Linggabuana sembari menatap lekat kedua netra hitam milik Dyah Pitaloka.

Rangkaian kalimat yang baru saja diucapkan oleh Prabu Linggabuana tersebut berhasil menggelitik bibir Dyah Pitaloka untuk menyuarakan sebuah tawa kecil.

"Ayah, aku pasti tak akan pernah sungkan untuk kembali ke Kerajaan Sunda. Sekalipun aku menikah dan bergabung dengan Kerajaan Majapahit, tapi aku tetaplah Putri Kerajaan Sunda. Aku lahir dan besar di Kerajaan Sunda, aku tak akan pernah mau melepaskan Kerajaan Sunda," ucap Dyah Pitaloka sembari memberikan senyumannya kepada Prabu Linggabuana.

Senyuman itu terlihat begitu meneduhkan, akan tetapi rasanya senyuman itu tak mampu menghalau badai keresahan yang tiba – tiba menyusup ke dalam diri Prabu Linggabuana. Entah kenapa, tiba – tiba Sang Penguasa Kerajaan Sunda itu merasa begitu berat untuk menyerahkan putrinya sebagai pengantin Kerajaan Majapahit.

Seperti terdapat sesuatu yang mengganjal hatinya dan hal tersebut terasa sangat menyiksa dirinya. Bagaimana bisa seorang ayah tak bahagia di atas kebahagiaan putrinya sendiri?

"Ayah? Apa ayah baik – baik saja?" tanya Dyah Pitaloka khawatir saat perempuan itu menemukan binar – binar keresahan tersembunyi di balik kedua ntera sang ayahanda.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang