29. Benar - Benar Merindukan

755 92 39
                                    

Kedatangan rombongan kecil Kerajaan Majapahit disambut dengan begitu meriah oleh penguasa Kerajaan Sunda, Prabu Linggabuana. Pria paruh baya itu terlihat berdiri di depan gerbang istana dengan senyum yang merekah di wajahnya yang telah dihiasi oleh kerutan – kerutan tanda penuaan.

Saat Hayam Wuruk turun dari kudanya, Prabu Linggabuana melangkah cepat mendekati Hayam Wuruk. Pria paruh baya itu memutari wajah Hayam Wuruk dengan sebuah piring emas yang diisi oleh lilin menyala serta berbagai bunga, pria paruh baya itu pun melakukan hal yang sama pada Sri Sudewi yang baru saja turun dari kereta kuda.

Prabu Linggabuana menjumput bebungaan segar yang berada di atas piring emas itu dan melemparkannya ke atas kepala Hayam Wuruk dan Sri Sudewi, bibir pria itu tak henti – hentinya memanjatkan rasa syukur kepada Dewa Wisnu karena telah melindungi Hayam Wuruk dan Sri Sudewi selama di perjalanan.

"Anda selalu mengadakan penyambutan luar biasa seperti ini kepada saya, Prabu. Seharusnya anda tidak perlu melakukan ini," ucap Hayam Wuruk ketika Prabu Linggabuana telah menyelesaikan ritual penyambutan.

"Saya akan merasa begitu tak berguna jika saya menyambut seorang penguasa besar tanpa persiapan sedikitpun. Karenanya, janganlah pernah Paduka melarang saya untuk menyambut Paduka dengan penyambutan seperti ini," ucap Prabu Linggabuana sembari melemparkan senyumannya kepada Hayam Wuruk dan Sri Sudewi.

Hayam Wuruk tertawa kecil sebelum pria bertubuh kekar itu memeluk tubuh Prabu Linggabuana yang masih terasa kekar di usianya yang telah menembus setengah abad itu. Ketika Hayam Wuruk memeluk Prabu Linggabuana, kedua netra hitamnya yang tajam itu tanpa sengaja mendapati sosok Dyah Pitaloka yang tengah berdiri tak jauh dari penyambutan itu, menatap Hayam Wuruk dengan tatapan hangat dan sebuah senyum di wajahnya.

Ah, Dyah Pitaloka itu selalu terlihat cantik di kedua netra Hayam Wuruk.

"Jadi, apakah Putri yang manis ini adalah Putri Sri Sudewi?" tanya Prabu Linggabuana ketika pelukannya dengan Hayam Wuruk telah terlepas.

"Iya, Prabu," jawab Sri Sudewi sopan sembari memberikan senyuman terbaiknya dan sedikit membungkukkan tubuhnya.

"Putri benar – benar jauh lebih manis dibandingkan apa yang telah diperbincangkan oleh para bangsawan. Sungguh, jika saja saat itu saya tak sedang memiliki banyak tugas kerajaan, saya pasti akan menghadiri jamuan Majapahit. Saya tak mungkin akan melewatkan tarian anda yang begitu indah, Putri," puji Prabu Linggabuana yang semakin mendorong senyum Sri Sudewi 'tuk merekah dengan sempurna.

"Terimakasih banyak atas pujiannya, Prabu, namun itu terdengar berlebihan," ucap Sri Sudewi dengan senyum yang masih terpatri dengan indahnya di wajah manisnya.

"Tak ada yang berlebihan untuk seseorang yang benar – benar berbakat, Putri," ucap Prabu Linggabuana sembari menatap Sri Sudewi dan Hayam Wuruk secara bergantian.

"Paduka pasti telah kelelahan karena telah melalui perjalanan yang jauh, mari saya antarkan ke tempat persinggahan," lanjut Prabu Linggabuana sambil menatap Hayam Wuruk sebelum pria paruh baya itu memerintahkan para petinggi Kerajaan Sunda 'tuk menunjukkan arah peristirahatan kepada rombongan kecil Kerajaan Majapahit.

Tak disangka – sangka, Dyah Pitaloka lah yang bertugas 'tuk menunjukkan arah persinggahan bagi Sri Sudewi. Di sepanjang perjalanan, hanya ada obrolan tak berarti yang mengisi keheningan di antara Dyah Pitaloka dan Sri Sudewi. Entah Dyah Pitaloka sadar atau tidak, namun di sepanjang perjalanan, Sri Sudewi selalu mencuri – curi pandang pada wajah Dyah Pitaloka.

Cantik. Benar – benar cantik.

Kalimat itulah yang bersarang di dalam kepala Sri Sudewi ketika kedua netranya menatap wajah Dyah Pitaloka. Bahkan wajah wanita itu terlihat jauh lebih cantik dibandingkan lukisan – lukisan yang dipajang oleh Hayam Wuruk di dalam kamarnya. Dengan wajah secantik itu, Dyah Pitaloka tentu saja mampu menyihir pria manapun.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang