30. Beruntung

679 95 19
                                    

"Saya sangat menyukai Putri Sri Sudewi, Paduka. Putri terlihat begitu sederhana dan apa adanya, sangat jarang sekali menemui tipikal Putri seperti itu saat ini," adu Dyah Pitaloka pada Hayam Wuruk ditengah – tengah permainan catur mereka.

"Benarkah? Saya merasa senang jika Putri memikirkan hal seperti itu tentang Putri Sri Sudewi," ucap Hayam Wuruk sembari memberikan senyumannya kepada Dyah Pitaloka.

"Eumh, Putri Sri Sudewi juga... sepertinya memiliki minat yang sangat luar biasa dalam sastra, Putri benar – benar begitu menganggumkan," puji Dyah Pitaloka yang dibalas dengan sebuah kekehan kecil oleh Hayam Wuruk.

"Sepertinya kalian telah berteman,"

"Belum, Paduka, tapi... kami pasti akan berteman. Rasanya mungkin akan sangat menyenangkan menjadi teman Putri Sri Sudewi," ucap Dyah Pitaloka dengan senyuman indah yang terbentang di wajahnya.

Mendengar penuturan Dyah Pitaloka tersebut, hati Hayam Wuruk terasa lebih ringan. Sepertinya, keputusannya untuk membawa Sri Sudewi ke tempat ini merupakan keputusan yang benar.

Setelah puas bermain catur 'tuk beberapa sesi, Dyah Pitaloka kemudian mengajak Hayam Wuruk dengan sopan untuk berkeliling di sekitar taman Kerajaan Sunda. Kedua manusia berbeda jenis kelamin itu menapaki rerumputan rapi taman Kerajaan Sunda hingga akhirnya Dyah Pitaloka menawarkan Hayam Wuruk 'tuk berhenti di sebuah kolam yang dipenuhi oleh ikan hias berbagai macam warna.

Ketika melihat bebatuan tersusun rapi di tepi kolam itu, entah kenapa, pikiran Hayam Wuruk seketika melayang kepada Sri Sudewi. Sepupunya yang sangat dikasihinya itu sangat suka melempar bebatuan ke perairan yang berada di hadapannya, tak kolam, tak sungai, semua perairan tak pernah luput dari lemparan batuan wanita itu. Sekarang, Hayam Wuruk mulai berpikir – pikir, jika saja saat ini Sri Sudewi ada disini, apakah wanita itu juga akan melempar batu ke dalam kolam yang dipenuhi oleh ikan hias ini?

"Apa anda menyukai kolam, Paduka?"

Hayam Wuruk tersentak ketika ia mendengar pertanyaan yang dibalut dengan suara yang begitu lembut mengalun di kedua telinganya.

"Maaf. Apa anda dapat mengulangi pertanyaannya, Putri?" tanya Hayam Wuruk sembari mengangkat sedikit kedua alis tebalnya yang terlihat begitu rapi.

"Apa anda menyukai kolam, Paduka?" tanya Dyah Pitaloka kembali dengan suaranya yang masih terdengar begitu lembut, seolah – olah wanita itu tak keberatan 'tuk mengulang pertanyaannya.

"Kenapa anda dapat berpikiran seperti itu, Putri?" tanya Hayam Wuruk sembari melemparkan tatapan tertariknya kepada Dyah Pitaloka.

"Hanya sebuah naluri saja, Paduka, karena... saat kita berada disini, anda tak henti – hentinya tersenyum," ucap Dyah Pitaloka dengan senyuman lembut yang menghiasi wajahnya dan ucapannya itu dibalas dengan sebuah anggukkan oleh Hayam Wuruk.

"Saya tak memiliki rasa suka yang berlebihan kepada kolam, hanya saja... kolam dan perairan mengingatkan saya kepada Putri Sri Sudewi. Putri Sri Sudewi sangat suka melemparkan batu ke setiap perairan yang dilihatnya," ucap Hayam Wuruk sembari mengahlihkan pandangannya dari wajah Dyah Pitaloka menuju ke ikan – ikan hias yang berada di dalam kolam.

"Sepertinya, hubungan Paduka dan Putri Sri Sudewi sangat dekat," ucap Dyah Pitaloka sembari mengikuti fokus pandang dari Hayam Wuruk.

"Ya, dapat dikatakan seperti itu. Saya dan Putri Sri Sudewi telah bersama sejak kami masih kecil, kami mengenal satu sama lain dengan baik," ucap Hayam Wuruk dengan senyum kecil yang menghiasi wajahnya.

"Putri Sri Sudewi pasti sangat beruntung karena telah memiliki anda di dalam hidupnya,"

"Tidak, Putri. Kami sama – sama beruntung karena kami memiliki satu sama lain," ucap Hayam Wuruk sembari menerawang beberapa kejadian mengesankan yang telah ia lalui bersama Sri Sudewi.

"Dan... Saya pun akan beruntung jika Putri Dyah Pitaloka bersedia untuk menjadi milik saya," lanjut Hayam Wuruk lagi sembari sedikit memiringkan wajah kokohnya ke samping agar kedua netranya dapat menatap wajah Dyah Pitaloka.

Blush!

Rona kemerahan mulai menjalari wajah putih pualam Dyah Pitaloka ketika kedua indra pendengarannya menangkap kalimat yang baru saja diucapkan oleh Hayam Wuruk. Putri Kerajaan Sunda itu menggigit bibir bawahnya mati – matian agar sebuah senyuman konyol tak menghiasi wajahnya.

"Tak perlu menahan senyuman anda, Putri, anda akan selalu terlihat cantik di mata saya," ucap Hayam Wuruk dengan sebuah senyum yang sarat akan kejahilan membentang di wajah kokohnya.

"Paduka!" sentak Dyah Pitaloka dengan suara lembutnya.

Bukannya marah, Hayam Wuruk malah tertawa kecil ketika ia mendengar sentakan Dyah Pitaloka tersebut yang lebih mirip seperti sebuah rengekan di kedua telinganya.

"Kakak Putri!"

Atmosfer penuh cinta dan godaan tersebut seketika sirna ketika suara seorang anak lelaki menyapa gendang telinga Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka. Kedua orang tersebut langsung saja mengalihkan pandangan mereka kepada sosok anak lelaki yang tengah berlari menuju mereka.

"Pangeran Niskala, jangan berlari!" ucap Dyah Pitaloka ketika wanita itu merasa begitu khawatir kalau kalau adik lelakinya yang masih berusia sembilan tahun itu terjatuh akibat tersandung bat—

Bugh!

Tak perlu waktu yang panjang, kekhawatiran Dyah Pitaloka seketika menjadi kenyataan saat adik lelakinya, Niskala Wastu Kancana, terjatuh tak jauh dari posisi Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk berdiri. Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk langsung bergegas menuju ke Niskala yang masih menelungkup.

Dengan cekatan, Hayam Wuruk mengangkat tubuh mungil Niskala ke dalam pelukannya. Dyah Pitaloka pun bergerak cepat 'tuk membersihkan pakaian adik lelakinya yang terlihat begitu kotor akibat terkena tanah serta rerumputan.

"Pangeran, seharusnya anda mendengar ucapan kakak anda," nasihat Hayam Wuruk sembari menatap wajah Niskala yang tengah memerah, sepertinya anak lelaki itu tengah menahan tangisannya.

"Maafkan saya kakak, saya berjanji tak akan mengulanginya lagi," ucap Niskala dengan kedua netranya yang terlihat begitu berembun.

Dyah Pitaloka hanya mampu menghela nafas dalam diam ketika ia mendengar janji yang sama kembali diucapkan oleh bibir Niskala. Oke, Niskala mungkin saja seorang anak kecil yang belum paham apa artinya sebuah janji, namun untuk ukuran seseorang yang akan menguasai Kerajaan Sunda di masa depan, seharusnya Niskala sudah paham betul mengenai arti sebuah janji, sekalipun Niskala masih berusia sangat muda.

"Jangan terus berjanji jika kau tak dapat menyanggupinya, Pangeran. Kakakmu pasti sangat bosan karena telah mendengar janji yang sama," ucap Hayam Wuruk sembari melemparkan tatapan singkatnya pada wajah Dyah Pitaloka.

"Maafkan saya Paduka, saya... saya..." ucapan Niskala terhenti begitu saja saat anak lelaki itu tak tau ingin mengucapkan apa lagi kepada Hayam Wuruk.

"Sudahlah Pangeran Niskala, yang terpenting, jangan berlarian lagi," ucap Dyah Pitaloka yang disambut dengan sebuah anggukan oleh Niskala.

"Bagaimana kalau kita memakan manisan? Pangeran Niskala pasti menyukai manisan 'kan?" ajak Hayam Wuruk ketika ia mendapati raut wajah tak menyenangkan mulai menghiasi wajah Dyah Pitaloka.

"Suka, Paduka!" ucap Niskala berapi – api, seolah – olah anak lelaki itu tak lagi merasakan rasa nyeri yang sebelumnya sempat mendera kedua lutut kakinya.

"Kalau begitu, ayo kita makan manisan," ajak Hayam Wuruk dengan sebuah senyuman di wajahnya.

"Ayo!"

Seruan penuh semangat oleh Niskala tersebut disambut oleh tawa kecil dari bibir Dyah Pitaloka. Sekeras apapun Dyah Pitaloka mencoba 'tuk merasa kesal pada adiknya itu, pasti akan selalu ada tindakan lucu dari adiknya itu yang berhasil membakar habis seluruh rasa kesal yang sempat bersarang di dalam diri Dyah Pitaloka.

Baru saja Dyah Pitaloka hendak mengekori langkah Hayam Wuruk, tak disangka – sangka, tangan kekar Hayam Wuruk menggenggam erat tangan lembut Dyah Pitaloka, tangan itu pula yang menuntut Dyah Pitaloka untuk berjalan beriringan di samping Hayam Wuruk.

Wajah Dyah Pitaloka bersemu merah, lagi. Kebahagiaan yang begitu luar biasa membuncah di wajah cantiknya dan kebahagiaan itu membawa kebahagiaan tersendiri bagi setiap orang yang melihatnya. Tak terkecuali seorang Putri Majapahit yang sedari tadi menatap mereka dari kejauhan dengan netra yang berembun.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang