40. Oh, Adikku!

581 58 4
                                    

Surai hitam legam milik Sri Sudewi tampak terlihat begitu indah dengan hiasan beberapa bunga melati di hamparan surai itu. Seutas senyum penuh kebahagiaan tak pernah menghilang dari wajah Sri Sudewi, beberapa hari lagi, wanita itu merasa bahwa dirinya akan menjadi wanita yang paling berbahagia di seluruh tanah Nusantara.

"Putri, anda terlihat menganggumkan," ucap Ni Kadek Larasasti sembari memandang pantulan wajah bersahaja milik Sri Sudewi lewat cermin yang berada tepat di hadapan mereka.

"Dan sepertinya aku harus sangat berterimakasih padamu, Larasasti... karena kamu telah menyiapkan semua ini dengan begitu menganggumkan pula," ucap Sri Sudewi dengan senyum bahagia yang terpatri di wajahnya, senyum yang kemudian tergantikan dengan sebuah gelak tawa kecil ketika kedua netra hitam legam miliki Sang Putri Majapahit itu menemukan rona – rona merah di kedua pipi kuning langsat milik Larasasti.

"Anda... anda terlalu memuji saya, putri! Saya tak pantas mendapatkan pujian setinggi itu," ucap Ni Kadek Larasasti sembari melarikan pandangannya dari Sri Sudewi.

"Kamu pantas, Larasasti. Siapapun pantas mendapatkan pujian atas kerja kerasnya," terang Sri Sudewi seraya menyentuh lembut punggung tangan Ni Kadek Larasasti yang sedang bertengger di atas pundak sempitnya.

Deg. Deg. Deg.

Jantung Ni Kadek Larasasti bertalu – talu, sepanjang hidupnya, tak pernah sekalipun wanita Bali itu mendapatkan pujian yang begitu tulus dari seoranng bangsawan. Sungguh, bagi Ni Kadek Larasasti, bertemu dan melayani Sri Sudewi merupakan sebuah keberkahan yang akan selalu disyukurinya di sepanjang jalan hidupnya.

"Sekarang duduk lah, Larasasti. Biarkan aku juga menghiasi rambutmu!"

Deg!

"Putri! Saya tak pantas untuk ---

Belum sempat Ni Kadek Larasasti menyelesaikan kalimatnya, tangan Sri Sudewi telah terulur 'tuk menarik tangan Ni Kadek Larasasti dengan kekuatan lebih, hingga Wanita Bali itu sempat kehilangan keseimbangannya.

"Aku akan sangat marah jika kau tak mau mengikuti perintahku, Larasasti," ancam Sri Sudewi dengan wajahnya yang dibuat seserius mungkin, namun entah kenapa, ancaman tersebut tak terdengar seperti sebuah ancaman di kedua indra pendengaran Ni Kadek Larasasti.

"Putri," ucap Ni Kadek Larasasti dengan suaranya yang terdengar memelas, memohon agar Sang Putri Majapahit tak mengotori tangannya dengan memegang surai Ni Kadek Larasasti.

"Ni Kadek Larasasti," balas Sri Sudewi, namun dengan sedikit senyuman yang terpatri di wajahnya.

Ni Kadek Larasasti dan Sri Sudewi sempat saling bertukar pandangan selama beberapa detik, hingga akhirnya Ni Kadek Larasasti memutuskan untuk mengalah. Wanita Bali itu kemudian menghempaskan bokongnya tepat di atas lantai dingin yang berada di depan kursi Sri Sudewi.

"Jika sedari tadi kamu langsung menurutiku, kita tak akan berdebat sia – sia, Larasasti," ucap Sri Sudewi dengan senyuman puas.

"Sungguh, saya merasa tidak pantas, putri," ucap Ni Kadek Larasasti ketika wanita itu merasakan tangan – tangan lembut milik Sri Sudewi mulai menjelajahi surainya. Ia merasa takut jika surainya tersebut akan mengotori tangan indah Sang Putri, bahkan yang lebih parah, mungkin saja surainya itu akan menyebabkan tangan indah Sang Putri dipenuhi dengan rasa gatal!

"Kamu memiliki rambut yang halus, Larasasti," ucap Sri Sudewi tanpa menghiraukan kalimat yang sebelumnya diucapkan oleh Ni Kadek Larasasti.

Setelahhnya, keadaan menjadi senyap. Hanya terdapat suara dari sisir Sri Sudewi yang beradu dengan rambut halus milik Ni Kadek Larasasti. Dengan penuh perhatian, Sri Sudewi menyelipkan beberapa bunga melati yang tersisa di mejanya pada rambut halus milik Ni Kadek Larasasti.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang