36. Dewiku

696 67 2
                                    

"Aku merindukanmu, Arya," ucap Sri Sudewi sembari membenamkan dirinya ke dalam pelukan hangat sang pujaan hati.

"Aku pun merindukanmu, Dewi, sangat sangat merindukanmu," balas Arya sembari mengeratkan pelukannya pada tubuh Sri Sudewi, kedua tangan kekar milik pria itu terulur 'tuk mengelus lembut puncak kepala serta punggung sempit milik Sri Sudewi bergantian.

Untuk seperkian detik, pasangan yang tengah dilanda kerinduan itu saling meluapkan perasaan mereka dalam sebuah pelukan hangat, hingga akhirnya salah satu dari mereka melepaskan pelukan hangat itu.

"Apa kau baik – baik saja, Dewi?" tanya Arya lembut sembari menyampirkan beberapa anak rambut milik Sri Sudewi yang menutupi wajah manis wanita itu.

Sebuah kerutan samar menghiasi dahi Sri Sudewi ketika ia menemukan sesosok wanita berdiri diantara segerombolan prajurit rombongan Arya. Seharusnya, Sri Sudewi mengabaikan wanita itu, tetapi ketika kedua netra hitam milik Sri Sudewi mendapati betapa mencoloknya pakaian yang sedang dipakai oleh wanita itu, rasanya sangat sulit bagi Sri Sudewi untuk mengabaikan eksistensi wanita itu.

Keterbungkaman dan kerutan samar yang menghiasi dahi Sri Sudewi mampu mendorong Arya 'tuk mengalihkan pandangannya pada objek yang tengah menjadi fokus Sri Sudewi. Sekali, pria bertubuh kekar itu menatap Sri Sudewi dan objek yang tengah menjadi fokus Sri Sudewi secara bergantian.

"Kau ingin berkenalan dengannya, Dewi?"

"Eumh?"

Sri Sudewi tersentak dari rasa penasarannya, kedua netranya lantas sedikit membola ketika ia mendengar pertanyaan Arya. Tanpa memerlukan jawaban dari bibir Sri Sudewi, Arya langsung melambaikan tangannya, memanggil sosok wanita berpakaian unik yang sedari tadi menjadi fokus Sri Sudewi.

"Dewi, perkenalkan, nona Larasasti. Ni Kadek Larasasti, salah satu pelayan rombongan kami," jelas Arya ketika wanita yang sedari tadi menjadi fokus Sri Sudewi telah berdiri di dekat dirinya.

"Dan, nona Larasasti. Perkenalkan, Tuan Putri Sri Sudewi, tunangan yang sangat 'ku kasihi," jelas Arya lagi, kali ini dengan seutas senyuman yang terukir di wajah kokohnya.

Blush.

Wajah manis Sri Sudewi memanas, kedua netra hitamnya semakin membola ketika tatapannya beradu dengan tatapan milik Arya.

"Salam, Tuan Putri Sri Sudewi. Perkenalkan, saya Larasasti," ucap Ni Kadek Larasasti seraya menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan membungkukkan tubuhnya dalam – dalam.

"Salam kenal, nona Larasasti," balas Sri Sudewi seraya menganggukkan kepalanya dan menebarkan senyuman ramahnya kepada Ni Kadek Larasasti.

"Ah... Sebelumnya, saya hendak meminta maaf karena telah memandangi anda dengan tatapan tidak sopan. Jujur, saya sangat penasaran dengan pakaian indah yang anda kenakan, nona Larasasti," lanjut Sri Sudewi ketika Ni Kadek Larasasti menegapkan tubuh rampingnya.

"Terimakasih banyak atas pujiannya, Tuan Putri. Pakaian ini berasal dari tanah kelahiran saya, Tanah Bali, Putri," jelas Ni Kadek Larasasti dengan senyum sopan yang menghiasi wajahnya.

Sri Sudewi sedikit tersentak ketika ia mendengarkan nama tempat yang baru saja terlontar dari bibir Ni Kadek Larasasti. Dengan gerakan cepat, Sri Sudewi melemparkan tatapannya kepada Arya dan Arya membalas tatapan itu dengan sebuah anggukan kecil.

"Kalian berasal dari tempat yang sama? Pasti rasanya begitu menyenangkan bisa bersama – sama di tanah orang lain," ucap Sri Sudewi sembari menatap Arya dan Ni Kadek Larasasti secara bergantian.

"Ya, rasanya begitu menyenangkan, Dewi. Akhirnya, aku dapat kembali mencicipi makanan khas tanah kelahiranku. Jika nona Larasasti memiliki waktu luang, dia harus memasak kembali makanan khas Tanah Bali untuk kita. Aku yakin, kau pasti akan menyukainya, Dewi," terang Arya panjang lebar tanpa mengalihkan tatapannya barang sedetikpun dari wajah manis milik Sri Sudewi yang terlihat begitu antusias.

"Benarkah itu, nona Larasasti?" tanya Sri Sudewi sembari menatap wajah Ni Kadek Larasasti dengan kedua netra hitamnya yang telah dipenuhi oleh binar – binar semangat.

"Tuan Arya terlalu memuji saya, Tuan Putri. Saya tidak sehebat itu dalam memasak," ucap Ni Kadek Larasasti dengan senyum sopan yang menghiasi wajahnya.

"Jangan merendahkan diri seperti itu, nona Larasasti," ucap Arya yang hanya dibalas dengan sebuah senyuman oleh Ni Kadek Larasasti.

Selepas percakapan singkat itu, Arya bersama dengan Sri Sudewi mengambil langkah menuju kamar tamu istana Kerajaan Majapahit, kamar yang ditempati oleh Arya selama ia tinggal di istana penuh kebusukan ini.

Sesampainya di dalam kamar, Sri Sudewi langsung bergegas menyeduh teh untuk Arya dan untuk dirinya. Sri Sudewi menggiring pujaan hatinya itu 'tuk duduk pada sebuah kursi kayu yang berada di dalam kamar itu.

"Kau pasti merasa begitu lelah," gumam Sri Sudewi ketika ia mendapati wajah Arya yang terlihat sedikit lesuh.

"Untuk mendapatkanmu, menghabiskan waktu lebih dari seribu hari 'tuk berperang melawan pemberontak pun, aku tak akan pernah lelah, Dewi," ucap Arya dengan senyuman teduh di wajah kokohnya.

"Jangan berucap seperti itu, Arya. Kau membuatku merasa tak berguna. Hanya untuk meminta izin menikahiku, kau telah melanggar prinsip hidupmu sendiri," ucap Sri Sudewi seraya menundukkan wajahnya dan menatap kedua tangan lentiknya yang saling bertaut.

"Dewiku,"

Arya menyebut kepemilkannya pada Sri Sudewi dengan begitu lembut, telapak tangannya yang terasa begitu kasar akibat goretan – goretan pedang terulur 'tuk meraih kedua tangan Sri Sudewi yang saling bertaut. Tangan – tangan itu terasa begitu rapuh, rasanya, Arya mampu menghancurkan tangan – tangan itu dalam satu kali genggaman.

"Dewiku," panggil Arya lagi dan kali ini, Sri Sudewi akhirnya mau mengangkat wajahnya.

Nyut!

Seperti ada sebilah belati tajam tak kasat mata yang menusuk ulu hati Arya, sesak dan perih dirasakan oleh anak kandung Mahapatih Gajah Mada itu ketika ia mendapati kedua netra hitam milik pujaan hatinya telah berembun, belum lagi bibir indah pujaan hatinya yang mulai bergetar hebat.

"Kau, hartaku yang paling berharga. Apapun akan 'ku lakukan untukmu. Sekalipun Sang Hyang Widhi Wasa meminta nyawaku untuk kebahagiaanmu, aku tak akan pernah berpikir dua kali, Dewiku," ucap Arya lamat – lamat dengan tangan kekarnya yang bergerak mengelus lembut jari – jemari lentik milik Sri Sudewi.

"Aku... Aku tak sesempurna itu untuk mendapatkan seluruh pengorbanan... seluruh pengorbananmu, Arya," ucap Sri Sudewi terbata – bata, mati – matian, wanita itu menahan dirinya untuk tak menangis. Namun sayang sekali, kristal – kristal bening yang telah menumpuk di pelupuk mata Sri Sudewi berhasil mengkhianati wanita itu.

Jantung Arya berdegub sakit ketika ia mendapati air mata kembali menghiasi wajah manis milik Sri Sudewi. Dengan gerakan cepat, Arya bangkit dari duduknya, pria itu menarik langkah mendekati kursi kayu yang tengah diduduki oleh Sri Sudewi. Arya sedikit menundukkan tubuhnya, kemudian kedua tangan kekar milik pria itu meraup tubuh bergetar milik Sri Sudewi ke dalam pelukannya.

Pelukan hangat yang ditawarkan oleh Arya sungguh menggoda hati Sri Sudewi yang telah rusak sejak ia masih belia, kedua tangan lentik milik wanita itu bergerak membalas pelukan Arya dengan begitu erat. Tak ada yang dapat dilakukan oleh Arya selain mengusap lembut punggung Sri Sudewi yang tengah bergetar hebat itu. Bibir Arya juga tak henti – hentinya mengucapkan berbagai kalimat penenang untuk Sri Sudewi, kalimat – kalimat yang bercerita tentang betapa beruntungnya Arya mampu memenangkan hati seorang wanita manis seperti Sri Sudewi.

Untuk yang kedua kalinya, Sri Sudewi akhirnya kembali menemukan tempat untuk mengadu.

"Terimakasih... Terimakasih karena sudah mau memperjuangkanku, Arya,"


.


75 vote untuk update yang lebih cepat ya! Semangat, Luvs!

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang