"Om santi santi Om,"
Arya dan Ni Kadek Larasasti bergumam sesaat sebelum mereka menundukkan kepala dalam – dalam dan bergerak pelan meninggalkan kuil yang terletak di dalam istana Kerajaan Majapahit. Arya berjalan mendahului Ni Kadek Larasasti, pria itu hampir saja benar – benar meninggalkan Ni Kadek Larasasti jika indra pendengarannya tak menangkap suara mengadu dari bibir pelayannya itu.
Arya menghentikan langkahnya, ia berbalik dan mendapati Ni Kadek Larasasti terlihat begitu frustasi dalam mengikat tali pada alas kakinya. Kening Arya berkerut, pantas saja Ni Kadek Larasasti frustasi, bagaimanapun caranya perempuan itu mengikat tali tersebut, tali itu tak akan pernah membuat alas kakinya melekat pada telapak kaki perempuan itu. Ya, tali itu telah terlepas dari alas kaki Ni Kadek Larasati.
"Alas kakimu tak akan pernah bisa menempel pada kakimu, Nona Larasasti. Talinya sudah terlepas dari alas kaki itu," ucap Arya pada Ni Kadek Larasasti.
Grit.
Ni Kadek Larasasti memahami betul rentetan kalimat yang diucapkan oleh Arya, tetapi perempuan itu tetap menundukkan tubuhnya, begitu kekeh mengikat tali alas kakinya secara asal agar ia tetap bisa mengenakan alas kaki tersebut. Ni Kadek Larasasti menggigit bibir bawahnya kuat – kuat, melampiaskan segala kekesalan yang sedang terpupuk di dalam dirinya, bisa – bisanya alas kaki yang baru dibelinya beberapa hari lalu, kini sudah terlihat begitu rusak!
Arya berdiri, menatap lekat pergerakan tangan Ni Kadek Larasasti yang terlihat begitu asal dan terburu – buru, pria itu cukup terhibur melihat tingkah Ni Kadek Larasasti yang ternyata pantang menyerah.
"Aku bisa melakukannya!"
Ni Kadek Larasasti berseru dengan begitu bahagia, ia mendongakkan wajahnya dan memberikan senyuman cerahnya kepada Arya. Euforia kebahagiaan sederhana yang mendera perempuan itu membuat ia tak sadar bahwa ia sedang berbicara pada tuannya, seharusnya ia tetap menjaga etika serta bahasa yang formal kepada seseorang yang telah memberikannya makanan.
"Eumh, maafkan saya atas ketidaksopanan sa---
"Kau memang berhasil, tapi jika mengikatnya seperti itu, kakimu akan luka. Kau mengikatnya terlalu keras dan begitu asal," potong Arya.
Deg.
Tubuh Ni Kadek Larasasti membeku, ia tak menyangka jika Arya tak mempersalahkan dirinya atas tindakan tak sopan yang baru saja dilakukan oleh perempuan itu dan hal tersebut cukup menghantarkan gelenyar aneh di dalam diri Ni Kadek Larasasti.
"Arya,"
Atensi Arya yang sedari tadi tertuju pada Ni Kadek Larasasti langsung beralih ketika suara bass yang begitu familiar tersebut menyapa indra pendengarannya. Tepat beberapa langkah dari dirinya, berdiri Mahapatih Gajah Mada.
"Salam Mahapatih Gajah Mada," ucap Arya formal sembari menundukkan kepalanya, Ni Kadek Larasasti pun ikut memberikan salam dan menundukkan kepala.
"Apakah kau memiliki waktu untuk meminum wedang bersamaku?" tanya Mahapatih Gajah Mada.
Aneh sekali. Ingin sekali Arya menolak, tetapi pria itu benar – benar tak memiliki alasan yang logis untuk melakukan penolakan.
"Saya memiliki waktu, Mahapatih,"
"Baiklah. Kita menuju pendopoku," ucap Mahapatih Gajah Mada sembari menarik langkah mendahului Arya.
Setelah kepergian Mahapatih Gajah Mada, tanpa sengaja tatapan Arya kembali bersiobrok dengan tatapan Ni Kadek Larasasti.
"Aku akan pergi bersama Mahapatih, jangan lupa mengabari hal ini kepada Dewi jika ia telah kembali,"
"Baik, tuan," jawab Ni Kadek Larasasti patuh seraya menundukkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...