"Kenapa kau yang pergi? Bukankah kau pernah berkata bahwa kau tak ingin ikut campur dalam urusan bangsawan?" tanya Sri Sudewi sembari menatap lekat pria yang beberapa hari lalu telah melamarnya.
Disaat matahari bahkan masih enggan 'tuk memunculkan batang hidungnya, pria itu, Arya, malah terlihat begitu rapi dengan pakaian khas bangsawan Majapahit yang sekalipun tak pernah digunakan oleh pria itu. Sungguh, kedatangan pria itu ke kamar Sri Sudewi dengan pakaian khas bangsawan Majapahit telah berhasil menimbulkan kegundahan dalam hati Sri Sudewi.
"Paduka telah memerintahkanku, bagaimana mungkin aku bisa menolaknya?" tanya Arya sembari mengarahkan salah satu tangan kekarnya 'tuk mengelus lembut sisi wajah Sri Sudewi.
"Kenapa kau menerimanya? Bukankah kau selalu menolak perintah Paduka? Ini terlalu mendadak, Arya, apa ada sesuatu yang sedang kau sembunyikan dariku?"
Alih – alih membuka mulutnya dan menjawab pertanyaan itu, Arya malah memfokuskan dirinya 'tuk merapikan rambut Sri Sudewi yang terlihat begitu berantakan.
"Arya... Kau menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Sri Sudewi sembari menahan tangan kekar Arya yang sedang merapikan rambut hitam legamnya yang panjang itu.
"Bukankah kau mencintaiku? Tolong, jangan sembunyikan apapun dariku," ucap Sri Sudewi sembari menggenggam lembut tangan Arya yang terasa begitu kasar, bukti bisu bahwa pria itu telah berjuang begitu keras di dalam kehidupannya.
Arya memejamkan kedua netranya ketika ia mendengar ucapan Sri Sudewi tersebut. Bibirnya sedikit menghela nafas sebelum ia kembali membuka kedua netranya. Wajah sendu yang saat ini diberikan Sri Sudewi kepadanya berhasil membuat pria itu tak tega 'tuk mengabaikan pertanyaan Sri Sudewi.
"Paduka menawarkan sesuatu yang tak bisa kulewatkan, Putri," ucap Arya lamat – lamat.
"Jika aku berhasil menumpas pemberontakan di Desa Bedenter, Paduka akan memberikanku gelar kebangsawanan," lanjut Arya lagi sembari meneliti wajah Sri Sudewi.
Jawaban yang baru saja dilontarkan oleh Arya tersebut berhasil memacu jantung Sri Sudewi 'tuk berdetak dua kali lebih cepat. Kedua tangan lembutnya yang sedari tadi menggenggam tangan Arya seketika terlepas, sorot mata kecewa terlihat begitu ketara di kedua netra wanita itu.
"Tolong, jangan tinggalkan aku, Putri," ucap Arya sembari meraih kembali kedua tangan Sri Sudewi dan mengenggamnya dengan begitu erat.
"Kenapa... kenapa kau mengejar gelar bangsawan Arya?" tanya Sri Sudewi dengan nada suaranya yang terdengar begitu bergetar.
Saat ini, rasa kecewa yang begitu mendalam sedang membumbung tinggi di dalam diri Sri Sudewi. Sunggu, Sri Sudewi pikir jika Arya tak akan mengejar gelar bangsawan Kerajaan Majapahit, pria itu terlalu bersikap tak peduli terhadap seluruh kehidupan bangsawan dan hal itulah yang berhasil mendorong Sri Sudewi 'tuk membukakan hatinya kepada Arya. Namun... apa yang Sri Sudewi dengar berhasil mematahkan segala persepsi yang telah dibangun oleh wanita itu.
"Aku melakukan ini untuk kebaikan kita, Putri. Aku tak ingin Ayahmu dan para bangsawan menggunjing dirimu karena telah menikahi seseorang berkasta rendah sepertiku. Aku tak ingin melihatmu kembali me---
"Tapi tidak harus dengan gelar bangsawan!" potong Sri Sudewi dengan nada suaranya yang telah meningkat satu oktaf.
Dengan gerakan kasar, Sri Sudewi menarik kedua tangannya dari dalam genggaman Arya. Wanita itu kemudian memalingkan wajahnya dari wajah Arya, mati – matian, wanita itu menahan dirinya 'tuk tak meneteskan air mata.
"Jika kau tak ingin melihatku menangis, kau hanya perlu membawaku keluar dari sini. Kita hanya perlu menjauhkan diri dari para bangsawan, bukan semakin masuk ke dalam lingkaran mereka," ucap Sri Sudewi dengan kedua netranya yang terlihat begitu berembun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...