2. Semudah Itu

3.1K 250 2
                                    

Suasana pasar tradisional Kerajaan Majapahit di sore itubegitu ramai, para pedagang dengan begitu semangatnya menawarkan barang – barang dagangan mereka kepada siapapun yang melewati kedai kecil mereka. Baik Hayam Wuruk dan Sri Sudewi begitu menikmati keramaian ini, tipe keramaian yang tak akan pernah mereka dapatkan di dalam tembok istana Kerajaan Majapahit.

Selama Hayam Wuruk melangkah di depan Sri Sudewi, kedua netra hitam milik wanita itu tak henti – hentinya bergerak dengan begitu buasnya, menatap segala hal yang tak pernah dijumpainya di dalam istana Kerajaan Majapahit. Mungkin, ini merupakan salah satu dari sekian kekurangan yang didapatkan oleh seorang bangsawan. Para bangsawan memiliki koneksi yang begitu sempit mengenai dunia di luar istana, terlebih jika mereka adalah para putri, dan koneksi sempit itulah yang terkadang membuat mereka tak dapat menikmati hal yang lazim dinikmati oleh rakyat kerajaan pada umumnya.

Kedua netra hitam milik Sri Sudewi kini telah dipenuhi dengan binar kebahagiaan. Untuk sesaat, wanita itu melupakan kesedihan yang sebelumnya sempat menghantam dirinya.

"Jika kau tetap berdiri mematung seperti arca Harihara, mungkin kita tak akan pernah memiliki lukisan bersama,"

Sri Sudewi tersentak kecil ketika ia mendengar suara dalam milik Hayam Wuruk memenuhi gendang telinganya. Dengan gerakan cepat, Sri Sudewi memalingkan perhatiannya dari sosok anak kecil yang tengah membuat arca terakota menuju sosok pria bertubuh kekar yang entah sejak kapan telah berdiri tepat disampingnya.

"Maafkan saya. Saya hanya terkesan dengan keahlian anak itu, dia pasti akan tumbuh menjadi pekerja kerajaan di masa depan nantinya," ucap Sri Sudewi sembari mengulum senyum terbaiknya untuk Hayam Wuruk.

Senyum manis itu menggelitik bibir Hayam Wuruk, membuat pria itu secara naluriah ikut menampilkan sebuah senyum kecil untuk Sri Sudewi, sepupu perempuannya itu.

"Kalau begitu, ayo kita lanjutkan perjalannya, Paduka," ucap Sri Sudewi jahil, namun wanita itu memelankan suaranya saat ia menyebutkan kata paduka, bagaimanapun juga saat ini mereka sedang berada dalam misi penyamaran di tengah – tengah rakyat Kerajaan Majapahit, mereka harus bisa menyembunyikan identitas mereka dengan baik.

Hayam Wuruk hanya menggelengkan kepalanya pelan sembari terkekeh kecil saat ia mendengarkan ucapan jahil yang baru saja terlontar dari bibir Sri Sudewi, sepertinya, membawa wanita itu untuk keluar sejenak dari istana kerajaan merupakan hal yang benar. Tanpa mengatakan apapun lagi, Hayam Wuruk kembali melanjutkan langkahnya, memimpin Sri Sudewi.

Kali ini, Sri Sudewi tak lagi memberhentikan langkahnya. Meski beberapa kali hati wanita itu sempat tergoda untuk melihat kreasi – kreasi terakota buatan para pengrajin, namun wanita itu tetap berhasil menahan dirinya untuk tak memberhentikan langkahnya.

Sri Sudewi tak tau sudah berapa lama mereka berjalan, yang Sri Sudewi tau, mereka telah bergerak menjauhi pusat pasar. Di setiap langkah yang diambil oleh Sri Sudewi, hati wanita itu diliputi dengan berbagai pertanyaan, sungguh... sebelumnya wanita itu berpikir jika dirinya akan dilukis oleh pelukis yang ada di pasar, namun melihat Hayam Wuruk yang telah menuntun jalan menjauhi pusat pasar membuat Sri Sudewi yakin bahwa dirinya tak akan dilukis oleh pelukis pasar.

Setelah berjalan kaki untuk waktu yang cukup lama, akhirnya Sri Sudewi dan Hayam Wuruk memberhentikan langkah mereka di sebuah penginapan kelas menengah. Sebuah kerutan halus menghiasi dahi Sri Sudewi saat Hayam Wuruk memberikan kode kepadanya agar wanita itu mendekati Hayam Wuruk.

"Untuk apa kita mendatangi tempat ini, Paduka? Langit masih begitu cerah, saya yakin jika kita masih dapat kembali tepat waktu ke istana, tak perlu menginap seperti ini," ucap Sri Sudewi di tengah – tengah kebinggungannya.

Hayam Wuruk mengangkat salah satu alisnya tinggi – tinggi, bibir pria itu berkedut menahan senyum. Ah... adik sepupunya itu benar – benar lucu.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang