51. Telah Kembali

573 77 8
                                    

"Tuan, Tuan Putri, Paduka baru saja terlihat sedang berjalan – jalan di taman istana!"

Uhuk!

Sri Sudewi yang sedari tadi menikmati tehnya bersama Arya, tak sanggup untuk menahan keterkejutan. Air manis yang seharusnya masuk ke dalam kerongkongannya malah masuk ke dalam tenggorokan perempuan itu, membuat ia tak mampu bernafas dengan benar.

Puk. Puk. Puk.

"Pelan – pelan Dewi," ucap Arya khawatir sembari menepuk – nepuk punggung Sri Sudewi. Pria itu sedikit meringis ketika ia melihat kondisi Sri Sudewi yang baru saja tersedak, rasanya pasti sangat tak mengenakkan!

Ketika Arya mendapati Sri Sudewi tak lagi batuk, pria itu menyodorkan air tawar tepat di hadapan Sri Sudewi dan tentu saja, Sri Sudewi menegak habis air tawar itu. Sungguh, tenggorokannya terasa sedikit terbakar, salahkan dirinya yang sebelumnya meminum teh yang masih terasa panas itu!

"Bagaimana? Sudah terasa lebih baik?" tanya Arya khawatir yang dibalas dengan sebuah anggukan oleh Sri Sudewi.

"Sudah lebih baik, Arya. Terimakasih," ucap Sri Sudewi sembari memberikan senyuman kecilnya kepada Arya sesaat sebelum pandangannya beralih pada Ni Kadek Larasasti yang sedang berdiri tak jauh dari dirinya, perempuan Bali itu menunduk dalam, sepertinya merasa bersalah karena sudah mengakibatkan Nonanya tersedak.

"Darimana kau mendapatkan berita itu Nona Larasasti? Kapan Paduka keluar dari kamarnya? Bukankah selama beberapa hari ini, Paduka selalu menolak untuk keluar dari kamar?" tanya Sri Sudewi beruntun.

"Saya baru saja mendapatkan informasi tersebut dari pelayan yang biasanya mengantarkan makanan pagi untuk Paduka, Putri. Tadi pagi, ketika pelayan itu mengantarkan makanan, Paduka tak berada di kamarnya dan para pengawal berkata bahwa Paduka terlihat sudah keluar pagi – pagi sekali dari kamarnya dan menghabiskan waktu berjalan – jalan di taman istana," jelas Ni Kadek Larasasti dengan begitu lancarnya.

Kedua netra Sri Sudewi berbinar – binar ketika indra pendengarannya mendengarkan penjelasan dari Ni Kadek Larasasti tersebut. Dengan gerakan cepat, Sri Sudewi kembali menatap Arya dengan senyuman yang lebih merekah di wajahnya. Senyum Sri Sudewi begitu manis dan memabukkan, rasanya akan sangat rugi jika Arya tak tergoda untuk ikut tersenyum bersama perempuan itu.

"Kau berhasil, Dewi," ucap Arya yang begitu bahagia dengan kebahagiaan Sri Sudewi.

"Pergilah, temui dan temani Paduka," lanjut Arya lagi seakan – akan pria itu tau betul apa yang hendak ingin dilakukan oleh Sri Sudewi saat ini.

"Terimakasih! Kita akan kembali bertemu sore nanti, Arya," ucap Sri Sudewi menggebu – gebu.

Dengan senyum yang masih terpatri di wajah kokohnya, Arya menganggukan kepalanya. Hanya butuh seperkian detik bagi Arya untuk mendapati Sri Sudewi bangkit dari posisi duduknya dan pergi sedikit berlari meninggalkannya. Ya... meninggalkannya.

Kedua netra Arya tepaku pada tubuh Sri Sudewi yang semakin lama hilang dari pandangannya, tetapi senyuman kecil masih terpatri di wajah pria itu.

"Nona Larasasti," panggil Arya seraya menolehkan pandangannya pada Ni Kadek Larasasti yang setia menundukkan wajahnya.

"Ya, Tuan?" jawab Ni Kadek Larasasti seraya mendongakkan wajahnya, menatap wajah tampan tuannya.

"Duduklah disni bersamaku dan temani aku menghabiskan teh ini," ajak Arya seraya sedikit menggerakkan kepalanya.

"Maaf, saya tidak bisa, Tuan. Saya hanyalah seorang pelayan, tak sopan untuk duduk bersant---

"Ini perintah," potong Arya sembari melemparkan tatapan datarnya kepada Ni Kadek Larasasti.

Deg. Deg. Deg.

Jantung Ni Kadek Larasasti berdegub dengan begitu kencang, tanpa bisa dikontrol, perempuan itu menggigit pipi dalamnya sembari memilin kedua tangannya. Ia takut dan gugup disaat yang bersamaan.

"Oh? Kau hendak melawan Tuanmu, Nona Larasasti?" tantang Arya seraya menyipitkan kedua netranya.

"Tidak! Tentu saja tidak, Tuan! Saya tidak berani," jawab Ni Kadek Larasasti.

"Kalau begitu...," Arya sengaja menggantung kalimatnya dan pria itu mulai mengalihkan pandangannya dari wajah Ni Kadek Larasasti menuju seteko teh yang masih terisi penuh di meja pekarangan kediaman Sri Sudewi itu.

Drap. Drap. Drap.

Tanpa mengatakan apapun, Ni Kadek Larasasti melangkahkan kedua kakinya dengan sedikit tergesa – gesa menuju Arya. Perempuan Bali itu juga menduduki kursi kayu yang sebelumnya diduduki Sri Sudewi dengan gerakan yang tak kalah tergesa.

Ah... tidak'kah Ni Kadek Larasasti menyadari bahwa tindakannya itu berhasil menggelitik sebuah senyum kecil di wajah kokoh Arya?


. . . BUBAT . . .


Drap. Drap. Drap.

Langkah kaki Sri Sudewi yang sebelumnya terdengar tergesa – gesa, kini nampak memelan. Sungguh, netra perempuan itu terasa begitu berkabut dan memanas saat ia mendapati Hayam Wuruk tengah melemparkan pakan ikan pada kolam yang berada di taman pekarangan istana Majapahit.

Di bawah sinar mentari yang mulai membakar kulit, Hayam Wuruk berdiri gagah dan tampak begitu memukau. Postur tubuhnya yang beberapa hari ini terlihat begitu lesuh, kini terlihat begitu kokoh. Senyum yang tak pernah terpatri di wajahnya, kini mulai kembali lagi.

Apakah ini nyata? Hayam Wuruk telah benar – benar kembali? Hayam Wuruknya Dewi telah kembali?!

"Dewi, apakah kau tak berniat untuk membantuku memberi makan ikan – ikan ini?"

Deg.

Jantung Sri Sudewi berdegub kencang. Hayam Wuruk berhasil merasakan keberadaannya? Bukankah Sri Sudewi sudah berdiri sejauh mungkin dari Hayam Wuruk?

"Dewi, kau tak kasian melihatku bekerja sendirian?"

Kali ini Hayam Wuruk melontarkan pertanyaannya sembari meleparkan tatapannya kepada Sri Sudewi yang masih berdiri bergeming di tempatnya. Pria itu memberikan senyuman terbaiknya kepada perempuan yang telah berhasil membantunya untuk kembali bangkit.

"Dewi... Dewiku,"

Nama itu mengalun dengan lembut dari bibir Hayam Wuruk, memaksa alam sadar Sri Sudewi untuk berlari menuju pria itu dan...

Brugh!

Sri Sudewi menabrakkan dirinya tepat di hadapan Hayam Wuruk, merengkuh tubuh kekar pria itu dengan begitu rakusnya, membawa sang pria menguarkan tawa renyah.

"Hahaha! Aku tak akan kemana – mana, Dewi! Tak perlu memelukku sekencang ini!" adu Hayam Wuruk ditengah – tengah tawa gelinya, tetapi salah satu tangan kekar pria itu yang masih bebas bergerak untuk mmbalas pelukan Sri Sudewi dengan tak kalah eratnya.

"Aku perlu memelukmu sekencang ini Hayam! Jika tidak, Hayam murung akan kembali dan aku akan sendiri lagi!" adu Sri Sudewi seraya mendongakkan wajahnya menatap Hayam Wuruk, bibir perempuan itu sedikit mengerucut kesal.

"Aku tidak akan meninggalkanmu lagi, Dewi. Hayammu sudah kembali," ucap Hayam Wuruk dengan sebuah kekehan geli di akhir kalimatnya, ia begitu terhibur melihat wajah kesal dari Sri Sudewi. Kini, perempuan itu semakin ekspresif, sepertinya bergaul dengan Arya membuat Sri Sudewi lebih lepas dalam berekspresi dan Hayam Wuruk sangat menyukai hal tersebut.

"Benarkah, Hayamku sudah kembali?" tanya Sri Sudewi seraya sedikit memiringkan kepalanya.

"Ya! Hayammu sudah kembali! Hayamnya Dewi telah kembali!"


.


.


Luvs, jangan lupa untuk terus dukung cerita ini ya! Thankiess!

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang