23. Tak Merestui

977 151 13
                                    

"Cincin yang indah, Sudewi,"

Sri Sudewi yang terlihat asyik menulis kakawin tampak tersentak ketika ia mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan oleh saudari tirinya. Wanita itu mengangkat kepalanya dan ia mendapati Indudewi yang tengah menatap lekat cincin pemberian Arya yang tersemat di jari manis pada tangan kirinya, sepertinya Indudewi telah menyelesaikan sulamannya.

"Terimakasih," ucap Sri Sudewi sembari memberikan senyuman tipisnya pada Indudewi.

"Aku iri dengan dirimu, Sudewi. Para bangsawan benar – benar mengabaikan keberadaanmu, mereka bahkan tak memiliki keinginan 'tuk menyusun pernikahan politik untukmu,"

Entah itu sebuah pujian atau sebuah olokan, namun Sri Sudewi tetap menanggapinya dengan sebuah anggukan dan senyuman. Ia tak ingin merusak kebahagiaan yang baru saja di dapatkannya beberapa hari yang lalu dari Arya.

"Apakah Paduka telah mengetahui hal ini?"

Deg.

Jantung Sri Sudewi berpacu dua kali lebi cepat ketika ia mendengar pertanyaan yang baru saja diucapkan oleh Indudewi. Tanpa sadar, genggaman tangan wanita itu semakin erat pada pena bulunya. Bagaimana bisa ia melupakan Hayam Wuruk?

"Aku... Aku tak tau," ucap Sri Sudewi lirih yang berhasil mengundang sebuah decakan dari bibir Indudewi.

"Seharusnya kamu memberitahunya, Sudewi. Meskipun kalian tak memiliki hubungan khusus, namun kedekatan kalian sudah melebihi pasangan yang memiliki hubungan khusus. Mungkin juga kalian tak menyadari jika kalian saling mencintai selama ini," ucap Indudewi dengan begitu gamblangnya, seolah – olah ia tak sedang membicarakan sosok nomor satu di Kerajaan Majapahit.

Sri Sudewi mendelik terkejut ketika ia mendengar penuturan Indudewi.

"Apa yang kamu katakan, Indudewi?! Paduka bahkan sudah menetapkan calon permaisurinya, bagaimana bisa kamu mengatakan hal seperti itu tentang paduka?!" ucap Sri Sudewi tak percaya.

"Semua orang yang melihat kedekatan kalian pun akan memikirkan hal yang sama," ucap Indudewi dengan begitu santainya.

Sri Sudewi menghela nafasnya sembari menggelengkan kepalanya pelan, wanita itu berusaha 'tuk mengenyahkan kekesalannya dan kembali memfokuskan dirinya pada kakawin yang hendak diselesaikannya. Namun, baru beberapa huruf, kedua indra pendengaran Sri Sudewi menangkap derap langkah seseorang yang terdengar begitu tergesa – gesa, bolehkan Sri Sudewi menebak siapa pemilik langkah itu?

"Dewi!"

Hayam Wuruk.

Baik Sri Sudewi maupun Indudewi langsung bangkit dari posisi duduk mereka ketika sang penguasa Majapahit melangkahkan kedua kakinya memasuki kamar Sri Sudewi.

"Saya memberikan salam kepada Paduka Sri Rajasanegara," ucap Sri Sudewi dan Indudewi bersamaan sembari membungkukkan tubuh mereka sebagai tanda hormat mereka kepada sang penguasa Majapahit.

Hayam Wuruk tampak menetralkan rasa kekesalannya untuk seperkian detik, sebelum pria itu memberikan perintah kepada Indudewi 'tuk meninggalkan kamar Sri Sudewi. Kini, hanya tinggal Hayam Wuruk dan Sri Sudewi yang berada di dalam kamar itu.

Hayam Wuruk melangkahkan kedua kakinya sembari menatap lekat Sri Sudewi, namun wanita itu tampaknya tak ingin menatap Hayam Wuruk. Ketimbang memperhatikan sang penguasa Majapahit, Sri Sudewi malah mengahlihkan pandangannya menuju ke sebuah lukisan abstrak yang menggantung rapi di dinding kamarnya.

"Mengapa kau menerima Arya? Bukankah sudah 'ku katakan jika aku dapat memberikanmu pria bangsawan yang jauh lebih makmur dibandingkan Arya?"

Deg.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang