"Dimana Paduka Sri Rajasanegara?"
Ditengah – tengah tarikan napasnya yang tak beraturan, Sri Sudewi mencecar pengawal yang dijumpainya dengan pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya. Rasa khawatir semakin mendominasi perempuan itu ketika ia mendengar informasi bahwa pemberontakan telah dilakukan oleh Mahapatih Gajah Mada terhadap Hayam Wuruk dan pemberomtakan itu menyebabkan hilangnya nyawa Dyah Pitaloka. Sungguh, Sri Sudewi tak bisa menebak betapa hancurnya perasaan Hayam Wuruk pada saat ini.
"Paduka Sri Rajasanegara mengurung diri di dalam kamarnya, Putri. Sejak kembali dari Pesanggarahan Bubat, beliau mengabaikan semua oran---
Belum sempat pengawal tersebut menyelesaikan kalimatnya, Sri Sudewi langsung bergerak lari menuju kediaman Hayam Wuruk. Perempuan itu mengangkat tinggi – tinggi gaun yang melekat pada tubuhnya, membiarkan para pelayan serta pengawal melihat kulit betisnya yang begitu mulus, sesuatu yang seharusnya tak dilakukan oleh seorang bangsawan.
Drap. Drap. Drap.
Sri Sudewi terus berlari dan berlari hingga akhirny perempuan itu tiba di depan pintu kediaman Hayam Wuruk yang tertutup rapat, para pengawal yang sedang berjaga di sisi – sisi pintu kayu itu langsung menundukkan wajah mereka dalam – dalam.
Hah.
Sri Sudewi menarik nafasnya dalam – dalam kemudian ia mengelurkannya dengan kasar, perempuan itu mengepalkan erat kedua tangannya sesaat sebelum perempuan itu akhirnya memutuskan untuk mendorong pintu kediaman Hayam Wuruk secara perlahan.
Kegelapan menyambut indra penglihatan Sri Sudewi, sungguh, tak pernah Sri Sudewi membayangkan bahwa kesuraman akan melingkupi kamar Hayam Wuruk. Balkon yang biasanya terbuka lebar, kini tertutup rapat – rapat. Lilin – lilin yang biasanya menerangi kamar ini, kini telah raib.
"Paduka," panggil Sri Sudewi lembut ketika ia mendapati Hayam Wuruk tengah duduk termenung di atas tempat tidurnya. Penguasa Majapahit itu seperti telah kehilangan arah hidupnya.
"Paduka Sri Rajasanegara," panggil Sri Sudewi lagi ketika perempuan itu tak mendapati respons apapun atas kalimatnya sebelumnya. Lamat – lamat, Si Sudewi melangkahkan kedua kakinya mendekati tempat tidur Hayam Wuruk.
Sungguh, tak pernah terbesit di dalam kepala Sri Sudewi jika ia akan mendapati Hayam Wuruk di posisi seperti ini. Pria yang selalu kuat menyemangati Sri Sudewi dalam menjalani hidup, kini telah kehilangan semangat hidupnya dan hal tersebut sungguh menyakiti hati Sri Sudewi.
"Hayam Wuruk," panggil Sri Sudewi lirih.
Deg.
Hayam Wuruk menolehkan wajahnya kepada Sri Sudewi, tatapan kosong diberikannya kepada Sri Sudewi. Untuk seperkian detik, tubuh Sri Sudewi membeku, ia tak menemukan binar – binar kehidupan di kedua netra hitam Hayam Wuruk.
Netra Hayam Wuruk dan Sri Sudewi beradu, mereka saling membagi kisah sedih yang sepertinya sangat sulit untuk diutarakan dengan ucapan bibir. Dengan perlahan namun pasti, Sri Sudewi semakin mendekatkan dirinya kepada Hayam Wuruk, hingga akhirnya perempuan itu berdiri tepat di samping tempat tidur Hayam Wuruk dan kedua netra mereka masih saling terkunci.
"Aku ada disini untukmu, Hayam," bisik Sri Sudewi dengan kedua telapak tangannya yang terulur 'tuk menangkup wajah kokoh Hayam Wuruk yang telah kehilangan sinar semangat kehidupan.
"Aku tak akan pernah meninggalkanmu," bisik Sri Sudewi lagi dengan kedua jempolnya yang bergerak mengusap lembut rahang Hayam Wuruk.
Bisikan – bisikan Sri Sudewi mengusik perasaan emosional Hayam Wuruk, ingin rasanya pria itu kembali berteriak dan melampiaskan seluruh amarahnya, namun ia tak bisa melakukannya, tubuhnya terlalu lemah untuk menuruti perasaan emosionalnya tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...