10. Ekspektasi

895 143 13
                                    

Sri Sudewi menatap sosok pria bertubuh kekar yang kini tengah berbaring sembari memejamkan matanya rapat – rapat di atas ranjang kediaman Mahapatih Gajah Mada. Tangan lentik milik Sri Sudewi terulur untuk mengganti sebuah kain polos yang berada di atas dahi pria itu yang terasa begitu panas, nampaknya, pria itu telah sakit selama beberapa hari belakangan ini, namun ia tetap memaksa dirinya untuk menggembara.

Sri Sudewi menatap lekat sosok pria bertubuh kekar itu, sosok yang beberapa hari lalu melarang Sri Sudewi 'tuk merusak keindahan Sungai Berantas. Sejujurnya, Sri Sudewi merasa begitu penasaran dengan kedatangan pria bertubuh kekar itu ke kediaman Mahapatih Gajah Mada, dimana pria itu telah membuat sebuah keributan kecil di dalam kediaman yang telah dijaga ketat oleh Bhayangkara pilihan, keributan kecil yang berhasil mencegah Sri Sudewi 'tuk menaiki tandu dan kembali pulang ke istana. Selain itu, rasa penasaran Sri Sudewi semakin membuncah saat ia melihat Mahapatih Gajah Mada mengajak istrinya berdiskusi serius dan saat Mahapatih Gajah Mada meminta Sri Sudewi dengan khusus untuk menjaga pria bertubuh kekar itu.

"Eungh..."

Sebuah rintihan kecil yang keluar dari bibir pucat milik pria bertubuh kekar itu berhasil menyentak Sri Sudewi. Awalnya, Sri Sudewi mengabaikan satu rintihan itu, namun tak disangka – sangka, satu rintihan berubah menjadi sebuah lenguhan penuh rasa sakit, tubuh pria itu pun bergerak tak nyaman. Mau tak mau, Sri Sudewi mengarahkan tangan lembutnya tepat di atas pipi pria itu, menepuk – nepuknya dengan gerakan sedikit keras.

"Hei... Bangun," ucap Sri Sudewi sembari menatap sebuah kerutan dalam yang menghiasi dahi pria bertubuh kekar itu.

Pria bertubuh kekar itu terlihat begitu mengenaskan dengan kondisinya yang seperti ini. Sudut bibirnya koyak akibat pukulan dari Bhayangkara, tangannya terluka akibat tergesek begitu kasar dengan permukaan tanah, kini, tubuhnya terasa sangat panas.

Plak!

Merasa takut dengan pria itu yang tetap tak mau membuka mata, Sri Sudewi akhirnya memukul pipi pria itu dengan begitu kuat.

Deg.

Jantung Sri Sudewi berpacu dengan begitu cepat saat kedua netra pria itu yang tengah diliputi dengan ketakutan beradu dengan kedua netra hitam milik Sri Sudewi, namun sayang, seperkian detik berikutnya, kedua netra pria itu balik menatap Sri Sudewi dengan tatapan yang begitu tajam.

"Apa yang kau lakukan disini?!" tanya pria bertubuh kekar itu dengan aura permusuhan yang menguar begitu jelas dari wajahnya yang terlihat begitu pucat.

Sri Sudewi mengerjapkan matanya beberapa kali, bahkan disaat telah menyusahkan orang lain seperti ini pun, pria itu masih sanggup menawarkan permusuhan kepada orang yang telah menolongnya.

"Menjaga anda?" jawab Sri Sudewi yang terlihat seperti sebuah pertanyaan di kedua gendang telinga milik pria bertubuh kekar itu.

Pria bertubuh kekar itu mengeram kesal sebelum ia berusaha untuk bangkit dari posisinya, namun sayang, energi tubuhnya yang sepertinya telah menguap entah kemana membuat pria bertubuh kekar itu tak dapat bangkit dari posisinya. Sri Sudewi menatap pria itu dengan tatapan prihatin, sebenarnya, Sri Sudewi ingin tertawa kecil saat ia melihat bagaimana pria itu berusaha keras untuk dapat bangkit dari posisinya, namun ketika Sri Sudewi mengingat bahwa pria itu tengah dalam keadaan sakit, niat Sri Sudewi untuk menertawainya seketika sirna.

"Tubuh anda masih begitu lemah, tuan. Anda tidak perlu memaksakan diri seperti ini," ucap Sri Sudewi lembut seraya menatap lekat kedua netra hitam milik pria bertubuh kekar itu yang tengah dihiasi dengan kilat kekesalan.

Bugh!

Entah karena sengaja atau tidak, namun pria bertubuh kekar itu tiba – tiba menjatuhkan tubuhnya dengan kasar ke atas tempat tidur yang sedari tadi diisi olehnya. Untung saja kerangka kayu tempat tidur itu terbuat dari kayu jati mahal nan berkualitas, jika saja kayu yang menyusun tempat tidur itu hanya terdiri dari kayu pinus, mungkin tempat tidur itu sekarang sudah tak berbentuk lagi.

Untuk seperkian detik, keheningan menyergap Sri Sudewi dan pria bertubuh kekar itu. Kedua netra hitam Sri Sudewi masih menatap lurus pria itu yang sedang menutupi kedua netranya dengan lengannya yang dihiasi dengan otot – otot yang begitu maskulin.

"Siapa namamu?" tanya pria bertubuh kekar itu tiba – tiba yang berhasil membuat Sri Sudewi mengerjapkan kedua matanya beberapa kali.

"Sri Sudewi, Tuan,"

"Putri ke berapa?"

Baru saja Sri Sudewi hendak membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan itu, namun tiba – tiba Sri Sudewi merasakan lehernya tercekat. Putri ke berapa? Sri Sudewi tidak tau dia berada di posisi ke berapa dalam hierarki para putri bangsawan Kerajaan Majapahit, Sri Sudewi terlalu tak acuh untuk mengetahui informasi itu dan para bangsawan terlalu pelit untuk membagikan informasi itu kepada Sri Sudewi.

"Hei! Bukankah kau seorang bangsawan Majapahit? Putri 'kan?" tanya pria bertubuh kekar itu sembari menarik lengannya yang sedari tadi membatasi pandangannya.

"Eumh... ya," jawab Sri Sudewi sedikit ragu.

Pria bertubuh kekar itu mendengus kasar ketika ia melihat gerak gerik Sri Sudewi yang tak mencerminkan sosok seorang bangsawan, terlebih sosok seorang putri Kerajaan Majapahit. Pria itu menatap sinis Sri Sudewi, nampaknya, saat ini Kerajaan Majapahit benar – benar memanjakan seluruh Putrinya.

"Kenapa kau tidak seperti seorang Putri, heh? Tindakanmu benar – benar telah mencemari keluarga bangsawan Majapahit,"

Deg.

Sri Sudewi termangu ketika ia mendengar ucapan dari pria bertubuh kekar itu, bahkan seseorang yang tak mengenal Sri Sudewi dengan baik dapat mengidentifikasikan Sri Sudewi sebagai sosok pencemar dalam keluarga bangsawan Majapahit, apalahi oleh orang – orang yang sangat mengenal Sri Sudewi.

Kepala Sri Sudewi yang sedari tadi tegak kini mulai menunduk, kedua tangan milik wanita itu yang terasa semakin dingin bergerak saling meremas. Sri Sudewi menggigit bibir bawahnya dalam – dalam, mencoba untuk menahan gelombang kesedihan yang sedang menghantam relung hati wanita itu. Sri Sudewi akui, ia merupakan sosok yang sangat emosional, namun untuk kali ini saja, Sri Sudewi tak ingin kembali menangis di hadapan seseorang yang baru saja mempertanyakan eksistensi Sri Sudewi sebagai seorang putri bangsawan Majapahit.

"Saya... sayaseorang anak selir. Wanita yang melahirkan saya menitipkan saya kepada bangsawan Majapahit yang tak terlalu menyukai keberadaan saya, karena itu... maafkan saya jika saya tak memenuhi ekspektasimu, Tuan," ucap Sri Sudewi dengan suaranya yang terdengar begitu bergetar.

Glek.

Arya menegak ludahnya dengan gerakan yang begitu kasar. Rangkaian kalimat yang sarat akan kefrustasian yang baru saja dilontarkan oleh Sri Sudewi berhasil mengusik hati nurani Arya, pria bertubuh kekar yang sedang berbaring dan menatap sosok Sri Sudewi dengan tatapan lekat. Rasa bersalah semakin mengembang di dalam diri Arya saat ia melihat punggung sempit milik Sri Sudewi telah bergetar dengan hebat. Sri Sudewi tak mengeluarkan suara tangisan, namun Arya tau benar jika wanita itu sedang menangis dengan begitu hebatnya, getaran di tubuh wanita itu tak akan berhasil mengelabui siapapun.

"Hei..." panggil Arya dengan suaranya yang terdengar tak lagi sekeras sebelumnya.

Sri Sudewi mengabaikan panggilan Arya, wanita itu sudah terlanjur berfokus hanya pada fakta bahwa dirinya tak pernah cukup untuk orang lain. Ketimbang mengangkat kepalanya dan menjawab panggilan Arya, Sri Sudewi menggigit bibir bawahnya kuat – kuat, menahan isakannya yang terdengar begitu menjijikan di kedua indra pendengarannya.

"He---

"Putriku!"

Panggilan Arya terpotong begitu saja ketika istri Mahapatih Gajah Mada tiba – tiba memasuki kamar itu dan menatap sosok Sri Sudewi dengan tatapan terkejut. Panggilan itu tampaknya benar – benar memberikan efek yang mujarab bagi Sri Sudewi, hanya dengan satu panggilan saja, Sri Sudewi mengangkat kepalanya.

Deg.

Jantung Arya berdegub dengan begitu kencang ketika kedua netra hitam miliknya beradu dengan kedua netra hitam milik Sri Sudewi yang telah dihiasi dengan kristal – kristal bening. Kedua netra hitam milik sepasang manusia itu beradu untuk seperkian detik hingga Sri Sudewi memutuskan 'tuk mengahlihkan pandangannya dan bangkit dari posisi duduknya.

"Maaf," ucap Sri Sudewi lirih sesaat sebelum wanita itu berlari meninggalkan kamar itu. Berlari meninggalkan Arya yang tengah merasa begitu bersalah, berlari meninggalkan Ken Bebed yang terlihat begitu terluka.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang