Shussh...
Suara semilir angin yang menerpa wajah kokoh Hayam Wuruk mengisi kekosongan pagi di kamar sang penguasa Majapahit tersebut. Dengan tubuh kekarnya yang berdiri menjulang, kedua netra hitam legamnya menatap lurus sang surya yang sedang terbit dari balik jendela kamarnya.
Saat ini, banyak rasa aneh yang menghantam hati Hayam Wuruk, membuat pria itu binggung 'tuk mendeskripsikan perasaannya saat ini. Apakah ia marah? Apakah ia sedih? Tidak, Hayam Wuruk tidak tau apa yang ia rasakan saat ini.
Drap. Drap. Drap.
Kepala Hayam Wuruk sedikit tertoleh ketika kedua indra pendengarannya menangkap suara jejak kaki. Alam bawah sadar Hayam Wuruk sudah dapat menebak siapa pemilik suara jejak kaki itu, tetapi bibirnya tak ingin berucap apapun.
"Hayam!"
Ah... Sri Sudewi.
"Hayam, maaf karena menganggumu pagi buta seperti ini," ucap Sri Sudewi ketika kedua netra hitam legam wanita itu mendapati tubuh kekar Hayam Wuruk yang dilapisi jubah sutera tipis tengah berdiri dengan kokoh tepat di hadapan jendela.
Drap. Drap. Drap.
Sri Sudewi terus melangkah mendekati Hayam Wuruk. Kini, hanya suara langkah kaki Sri Sudewi yang menemani suara semilir angina di dalam kamar itu. Dahi Sri Sudewi mengerut tipis ketika ia mendapati keterdiaman Hayam Wuruk, rasa khawatir kembali menerjang wanita itu.
Oh, jangan katakan jika Hayam Wuruk telah kembali kehilangan semangat hidupnya? Tidak, jangan! Jika hal ini terus terjadi, Sri Sudewi tak akan pernah memiliki kesempatan 'tuk pergi dari Majapahit dan memulai kehidupan barunya bersama pria yang ia kasihi, Arya.
"Hayam,"
Salah satu tangan lentik Sri Sudewi menyentuh lembut sisi lengan kekar Hayam Wuruk. Bibir wanita itu kembali menyebutkan nama sang Penguasa Majapahit. Namun lagi lagi, hanyalah kebisuan yang ia dapatkan.
"Hayam, apa kau baik – baik saja?: tanya Sri Sudewi seraya menelisik wajah Hayam Wuruk yang terlihat datar namun tak menunjukkan hal yang begitu mengkhawatirkan.
"Bukan 'kah sang surya terlihat begitu menyedihkan di pagi hari ini, Putri Sri Sudewi?"
Deg.
Jantung Sri Sudewi berdegub kencang ketika kedua indra pendengarannya mendengar Hayam Wuruk menyebut namanya dengan begitu formal. Dengan gerakan cepat, Sri Sudewi menarik tangannya dari sisi lengan Hayam Wuruk.
Kedua tangan Sri Sudewi terkepal erat, netranya yang sebelumnya menatap wajah kokoh Hayam Wuruk kini telah beralih pada matahari yang berusaha 'tuk muncul di tengah gelapnya langit pagi.
"Bagaimana, Putri Sri Sudewi?"
"Sang surya tak pernah terlihat begitu menyedihkan, Paduka. Malah di pagi hari ini, sang surya terlihat begitu luar biasa, karena ia berupaya keras untuk menyinari langit walau awan gelap telah terlebih dahulu memenuhi langit," ucap Sri Sudewi lancar.
Hayam Wuruk tersenyum sangat tipis. Wanita itu mengikuti permainannya.
Lagi – lagi kesunyian menyergap Hayam Wuruk dan Sri Sudewi, sungguh Sri Sudewi tak menyukai keadaan seperti ini. Saat ini, dirinya memang tengah berdiri tepat disamping Hayam Wuruk, tetapi ia merasakan terdapat sebuah tembok yang begitu tebal diantara mereka.
"Paduka, apakah anda baik – baik saja?" tanya Sri Sudewi khawatir, kali ini dengan kalimat formalnya.
Setelah berupaya menahan diri 'tuk tak melihat wajah Sri Sudewi, akhirnya Hayam Wuruk mengalah. Pria nomor satu di Kerajaan Majapahit itu mengalihkan pandangannya dari langit gelap menuju wajah Sri Sudewi, kedua netra hitam legam milik Sri Sudewi yang sedang menatapnya dengan begitu khawatir, berhasil menyedot habis seluruh atensi Hayam Wuruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...