"Atas kejahatan yang telah terjadi di dalam insiden Perang Bubat, maka Kerajaan Majapahit menghentikan tuan Gajah Mada dari posisi Mahapatih Kerajaan. Atas segala dedikasi yang telah diberikan, Paduka Sri Rajasanegara menghadiahkan tanah Madakaripura sebagai kediaman baru tuan Gajah Mada,"
Semua bangsawan serta pemangku kepentingan yang menghadiri sidang terbuka tampak menahan nafas ketika mendengarkan seorang ahli hukum kerajaan membacakan putusan hukuman yang diberikan Hayam Wuruk kepada Gajah Mada.
Tak pernah terlintas di dalam benak mereka jika seorang Mahapatih yang begitu diagung – agungkan di dalam dua periode kepemimpinan Kerajaan Majapahit akan berakhir dengan pencopotan jabatan serta pengasingan secara tak langsung. Ragam komentar yang saling berbisik mengisi kekosongan ruang sidang tersebut.
Mereka mengkritik Gajah Mada yang terlalu terobsesi dengan Sumpah Palapanya sehingga ia mengorbankan nyawa para bangsawan yang jelas – jelas telah bersahabat lama dengan Kerajaan Majapahit, terlebih ia juga telah menyebabkan pujaan hati sang Penguasa Majapahit merenggang nyawa.
Mereka juga mengkritik Hayam Wuruk yang dianggap terlalu dibutakan oleh ego dan cinta sehingga tak mampu memberikan hukuman yang lebih baik untuk Gajah Mada, seorang Mahapatih yang telah membantu Majapahit 'tuk mendapatkan hegemoni luar biasanya.
Bugh.
Gajah Mada menjatuhkan kedua lutut kakinya menyentuh lantai tanah persidangan. Tubuhnya membungkuk dalam, memberikan gestur berterimakasih kepada Hayam Wuruk. Hayak Wuruk yang menerima perlakuan itu hanya diam membisu, ia tak mengatakan sepatah kata apapun untuk membantu Gajah Mada bangkit dari posisi bersimpuhnya. Sebaliknya, penguasa Majapahit itu hanya bisa mengepalkan tangannya keras – keras serta menekan suara hatinya dalam – dalam.
"Dengan ini, Kerajaan Majapahit juga hendak mengumumkan bahwa pesta pernikahan Paduka Sri Rajasanegara akan tetap dilaksanakan bersama dengan Putri Kerajaan Majapahit."
Deg.
Dalam posisi membungkuknya, Gajah Mada mengangkat wajahnya dan ia melemparkan tatapan terkejutnya kepada Hayam Wuruk. Sebagai seorang pria paruh baya, naluri seorang ayah tak bisa hilang dari diri Gajah Mada. Di hadapannya, ia menatap Hayam Wuruk, tengah menatapnya dengan tatapan terluka.
. . . B U B A T . . .
"Ayah, kau tak bisa melakukan ini kepadaku," geram Indudewi sembari melempar tatapan ketidaksetujuannya kepada Wijayarajasa.
"Ayah melakukan ini semua untuk kebaikanmu Indudewi. Kau putriku dan aku selalu menginginkan yang terbaik untuk masa depa---
"Dengan menikahkanku kepada pria yang jelas – jelas tak menyenangi kehadiranku?" potong Indudewi dengan suaranya yang semakin meninggi, bahkan urat – urat menonjol keras di leher jenjang sang Putri Majapahit tersebut.
"Pernikahan itu akan membunuhku ayah! Semua orang akan membenciku karena telah merebut posisi mendiang Putri Sunda! Itu masa depan terbaik yang ayah inginkan?!" lanjut Indudewi lagi.
Wijayarajasa mengatupkan rahangnya kuat – kuat. Pria paruh baya itu tau jika akan lebih sulit menyetir Indudewi ketimbang Sri Sudewi. Namun, Wijayarajasa akan tetap berusaha membujuk Indudewi. Tahta permaisuri harus jatuh ke tangan anak kandungnya yang sah.
"Kau bahkan belum menikah dengan Paduka, bagaimana bisa kau berasumsi seliar it---
"Aku tak perlu menikah untuk membuktikan---
"Kau harus tetap menikah dengan Paduk---
"Tidak! Aku tak mau menikah dengan Paduk---
"Kau harus menikah!"
"Tidak mau! Aku tak ingin menjadi boneka ayah yang harus---
Plak!
Tak sanggup menghadapi Indudewi, dengan ringannya, Wijayarajasa melayangkan sebuah tamparan tepat di atas pipi Indudewi. Tamparan itu begitu keras dan ini bukanlah tamparan pertama yang pernah didapatkan Indudewi.
"Aku selalu memberikan yang terbaik untukmu dan ini balasan atas semua hal baik yang telah 'ku berikan kepadamu? 'Ku kira, lahir dari rahim wanita bangsawan akan membuatmu lebih baik daripada saudari tirimu. Namun nyatanya, kau tak lebih buruk dari saudari tirimu," desiis Wijayarajasa dengan dada yang bergemuruh hebat.
Indudewi menggigit bibir bawahnya kuat – kuat, ia menahan diri untuk tak meneteskan air matanya di depan wajah Wijayarajasa.
"Kalau begitu, nikahkan saja Hayam Wuruk dengan Sri Sudewi. Mengapa hal sesederhana itu saja tak bisa kau mengerti?" ucap Indudewi dengan suaranya yang terdengar bergetar dengan begitu hebatnya.
"Aku tak akan pernah menikahkan Paduka dengan Sri Sudewi! Paduka tak pantas menikah dengan seorang anak haram!"
"Seseorang yang kau sebut anak haram itu adalah anakmu sendiri, ayah. Dia hadir karena dirimu. Kenapa kau harus sejahat ini kepada Sri Sudewi?" tanya Indudewi dengan kedua ntera yang telah berembun.
Wijayarajasa kehilangan kata – katanya, ia benar – benar tak menyangka jika Indudewi akan sepemberontak ini hanya karena permasalahan pernikahan politik yang seharusnya sudah lumrah di dalam pergaulan para bangsawan.
"Ayah, kau bisa menjadikanku bonekamu selama ini, Namun untuk urusan pernikahan, aku akan memilih jalanku sendiri," ucap Indudewi dengan tegas sesaat sebelum wanita itu menarik langkah cepat 'tuk keluar dari ruang kerja Wijayarajasa.
Saat ini tujuan Indudewi hanya satu, Sri Sudewi.
. . . B U B A T . . .
Prang!
Suara cangkir yang terjatuh menyentak Ni Kadek Larasasti dari tidur ayamnya. Perempuan Tanah Bali yang terlihat begitu urak – urakan tersebut menegakkan tubuhnya dan menajamkan penglihatannya. Tak jauh dari tempatnya tengah bersandar, ia bisa melihat betapa frustasinya Arya 'tuk meraih cangkir berisi air.
Untuk sesaat Ni Kadek Larasasti hanya berdiam diri. Ia sungguh menyesali pertemuannya dengan Arya, pertemuan yang telah membuatnya menjadi kambing hitam dari peristiwa yang dirinya sendiri tak kehendaki. Namun, hati nurani perempuan itu lebih besar ketimbang suara egonya.
Ni Kadek Larasasti tak sanggup melihat kefrustasian Arya, bagaimanapun juga mereka sama – sama korban dari tindakan keji ini. Tak ada gunanya 'tuk saling menyalahkan.
Dengan sisa rasa kenuranian di dalam hatinya, Ni Kadek Larasasti bangkit dari posisinya. Perempuan itu melangkah mendekati Arya, mengambil cangkr dan menuangkan air ke dalam cangkir tersebut.
"Minumnya.... Tuan," lirih Ni Kadek Larasasti sembari menyodorkan cangkir berisi air tersebut tepat ke depan tangan Arya yang masih setia diborgol.
Inilah yang membedakan kondisi Ni Kadek Larasasti dan Arya saat ini, mereka sama – sama terlihat buruk, namun setikdanya Ni Kadek Larasasti masih dapat berjalan dan bergerak bebas di dalam gudang penyekapan ini karena kedua tangan dan kakinya tak diborgol seperti Arya. Mungkin, karena Arya terlalu beringas 'tuk memaksa keluar dari gudang, akhirnya para penjaga memutuskan untuk memborgol Arya.
"Terimakasih," gumam Arya sembari menerima air tersebut dari Ni Kadek Larasasti.
Setelah dua hari dikurung bersama – sama di dalam gudang penyekapan, rasanya baru kali ini Ni Kadek Larasasti berada begitu dekat dengan Arya. Biasanya, perempuan Bali itu lebih suka menyendiri di pojok ruangan sembari melemparkan tatapan berkecamuknya kepada Arya.
"Apa kita bisa keluar dari sini, Tuan?" tanya Ni Kadek Larasasti hati – hati ketika ia mendapati Arya telah menegak habis air yang sebelumnya disodorkan oleh perempuan itu.
Arya membisu dan menegak ludahnya dengan kasar. Rasa bersalah menggerogoti Arya ketika kedua netranya tanpa sengaja bersiobrok dengan kedua netra Ni Kadek Larasasti yang sepertinya telah kehilangan cahaya pengharapan.
"Aku... aku merindukan rumahku, Tuan," ucap Ni Kadek Larasasti sembari memberikan senyuman tipisnya kepada Arya, namun hal itu sangat kontras dengan suaranya yang terdengar bergetar hebat seolah – olah tengah menahan isak tangis.
"Kita pasti bisa keluar dari sini, Laras. Kita akan keluar dan pulang bersama – sama,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...