"Paduka... Tuan Puteri..."
Tubuh Ni Kadek Larasasti membeku hebat ketika ia menemukan wajah dari dua bangsawan Majapahit yang sebenarnya tak ingin dilihatnya, setidaknya untuk saat ini. Tanpa sadar, kedua tangan Ni Kadek Larasasti memegang erat daun pintu kamar Arya.
Disana, tak hanya tubuh Ni Kadek Larasasti saja yang membeku, tubuh Sri Sudewi pun ikut membeku ketika ia mendapati kondisi Ni Kadek Larasasti yang jauh dari kata sopan dan rapi. Surai hitam wanita Bali itu terlihat acak – acakan dengan beberapa bekas kemerahan di kulit leher serta lengannya.
Glek.
Sri Sudewi menegak ludahnya dengan kasar, ia benci dengan pemikirannya yang sudah melalang buana, namun apa yang telah dilakukan Ni Kadek Larasasti dengan kondisi sebegitu kacaunya di kamar Arya?
"Apa yang kau lakukan di kamar tunanganku?" tanya Sri Sudewi dengan suaranya yang sedikit bergetar hebat. Sebisa mungkin, Sri Sudewi menahan dirinya untuk tak larut di dalam perasaan emosional yang tengah bergulung – gulung menghantam dirinya.
"Sa... saya.... saya...."
Lidah Ni Kadek Larasasti terasa begitu kaku, ia tak memiliki keberanian untuk mengucapkan sepatah katapun kepada Sri Sudewi, rasanya begitu menyakitkan 'tuk mengungkapkan pengkhianatan kepada orang yang sangat menghargai dirimu sendiri.
"Katakan dengan jelas!"
Titah Hayam Wuruk memperparah ketakutan di dalam diri Ni Kadek Larasasti. Tubuh wanita Bali itu tersentak kecil ketika ia mendengar suara Hayam Wuruk yang terdengar begitu tak bersahabat.
"Saya... Maafkan saya, Tuan Putri. Saya... Saya tak tau mengapa saya bisa bermalam... bermalam bersama Tuan Arya. Maafkan saya, Tuan Putri," ucap Ni Kadek Larasasti sembari menundukkan kepalanya dalam – dalam.
Deg.
Dalam seperkian detik Sri Sudewi lupa bagaimana caranya 'tuk bernafas dengan baik. Tangan wanita itu terulur 'tuk memegang dadanya yang terasa begitu sesak.
Brugh!
Sri Sudewi masih sibuk mengatur keterkejutannya ketika ia mendapati Hayam Wuruk dengan gerakan kasarnya mendorong tubuh Ni Kadek Larasasti hingga wanita itu tersungkur terjatuh dan pintu kamar Arya terbuka dengan begitu lebarnya.
Tes.
Sebutir kristal bening meluruh dari netra Sri Sudewi ketika ia mendapati tubuh Arya tanpa sehelai benangpun tengah terlentang di atas peraduan pria itu, ia terlihat begitu lelap dengan mimpinya. Ah... apakah ia terlelap karena mimpi atau... atau ia terlelap karena kelelahan?
"Maafkan saya, Tuan Putri! Maafkan saya! Saya tak pernah berkeinginan untuk mengkhianati anda seperti ini!" seru Ni Kadek Larasasti di tengah tangisannya, wanita itu merangkak dan menyentuh kedua ujung kaki Sri Sudewi, memohon pengampunan.
"Saya dijebak, Puteri! Saya tak mungkin tidur bersama dengan tuan saya sendiri!"
Tidur bersama. Tidur bersama. Tidur bersama.
Dua kata itu berdengung di dalam kepala Sri Sudewi.
"Maafkan saya, Tuan Putri, maafkan saya, hiks!"
Ni Kadek Larasasti meletakkan kepalanya tepat di atas punggung kaki Sri Sudewi dan Sri Sudewi bisa merasakan bagaimana air mata wanita itu membasahi punggung kakinya dengan begitu derasnya.
"Pengkhianat," desis Sri Sudewi sembari menatap nanar kepala Ni Kadek Larasasti yang masih tertunduk di bawah kakinya. Kepala wanita itu terlihat menggeleng berulang – ulang saat ia mendengar desisan yang keluar dari bibir Sri Sudewi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bubat
Historical FictionRomansa - Fiksi Sejarah [PERINGATAN : Cerita ini merupakan cerita modifikasi, tidak sepenuhnya dalam cerita ini merupakan sejarah] Wanita, Tahta, Kecantikan, Pria ,dan Cinta, sebuah kesatuan yang dapat merusak sejarah. [Rank] #1 Dyah Pitaloka (15 Ju...