42. Misi Penaklukan

543 60 5
                                    

"Tuan Putri Sri Sudewi dan Tuan Arya beserta rombongan kecilnya telah berangkat meninggalkan istana, Mahapatih," laporan dari seorang patih yang sedang memacu kudanya tepat di samping Mahapatih Gajah Mada berhasil mengusik sedikit konsentrasi Mahapatih Gajah Mada.

"Bagaimana dengan Paduka?" tanya Mahapatih Gajah Mada dengan kedua tangan kekarnya yang bergerak 'tuk memacu kudanya agar bergerak lebih cepat

"Paduka Sri Rajasanegara tak terlihat dimanapun, Mahapatih. Sepertinya beliau masih beristirahat di kamarnya," jawab patih tersebut, Patih Gowi, salah seorang pemimpin pasukan yang dikenal dengan kemampuan mumpuninya.

Mahapatih Gajah Mada hanya diam membisu dan menganggukan kepalanya dengan samar. Mahappatih Gajah Mada tau jika Hayam Wuruk tak akan sepasif ini, penguasa Majapahit itu tak mungkin masih beristirahat di kamarnya ketika banyak kejadian yang sedang terjadi di dalam daerah kekuasaannya.

Krik!

Tiba – tiba, Mahapatih Gajah Mada menarik kuat tali kekang pada kuda yang sedang dinaikinya, sangat kuat hingga sang kuda meringkik keras seraya menaikkan kedua kakinya tinggi – tinggi. Pergerakan Mahapatih Gajah Mada tersebut mengundang semua pasukan yang ikut dalam rombongannya untuk menghentikan langkah kuda mereka.

Tak ada satupun kata yang terucap dari bibir sang Mahapatih, akan tetapi kedua netranya menyorot sebuah perkemahan yang tak jauh dari jangkauannya dengan sorotan yang sangat sulit diartikan. Perkemahan itu sangat kecil, hanya terdapat beberapa tenda saja dan beberapa prajurit yang berjaga santai di sekeliling kemah.

Grit!

Rahang Mahapatih Gajah Mada mengeras. Kedua tangan kekarnya yang mulai mengeriput mengenggam keras tali kekang yang terdapat di dalam genggamannya.

"Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, dan Jaran Baya,"

Mahapatih Gajah Mada memanggil satu per satu nama pemimpin pasukan kenamaan itu dengan begitu keras, mendorong para pemilik nama untuk mendekat kepada Mahapatih Gajah Mada.

"Misi penaklukan ini, saya serahkan kepada kalian. Di hadapan kita, hanya ada setitik lawan untuk menyempurnakan Kerajaan Majapahit, menyempurnakaan keindahan tempat tinggal kita. Pimpin penyerangan ini hingga Kerajaan Majapahit kembali menunjukkan kekuatannya kepada Nusantara!" perintah Mahapatih Gajah Mada dengan kedua netra yang masih memandang lurus perkemahan yang berada tak jauh dari hadapannya.

"Baik Mahapatih!"

Kalimat itu diserukan bersama – sama, diiringi dengan suara kuda yang meringkik tajam. Tak perlu menunggu waktu lama, rombongan yang sebelumnya mengerumuni Mahapatih Gajah Mada kini telah menghilang, mereka memacu kudanya dengan begitu kuat menuju sebuah perkemahan kecil yang berada tepat di depan mata mereka.

"Untuk kejayaan Kerajaan Majapahit. Jayalah Majapahit!"


. . . BUBAT . . .


"Tuan Putri, hari ini kita akan sampai di istana Kerajaan Majapahit, izinkan saya untuk menata rambut anda dengan bebungaan indah ini, Putri," ucap salah seorang pelayan yang sedang menyisir lembut surai panjang milik Dyah Pitaloka.

Pelayan itu menyodorkan sebuah kotak yang telah diisi bebungaan melati berbau harum ke hadapan Dyah Pitaloka. Aroma bunga melati yang begitu meyengat namun terasa lembut berhasil menggelitik bibir Dyah Pitaloka untuk menarik sebuah senyuman bahagia.

"Tentu saja akan saya izinkan. Bebungaan ini terlihat begitu indah dan beraroma harum," puji Dyah Pitaloka seraya memandang bunga melati tersebut serta para pelayan yang sedang mengerubuninya secara bergantian.

BubatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang